Tentang Mereka yang Tak Bisa Kusebut Namanya
Sebenarnya kaum-kaum itu adalah sama. Hanya saja, kelahiran mereka berpindah dari beragam sisi kehidupan ke lingkup yang lebih spesial. Sebuah jalan memutar yang panjang. Mempertemukan air dan api. Memadu dengan beradu. Kisah dan masalah, tertulis manis menjadi harap.
Kemudian, lepas. Lagi dan lagi. Beberapa kembali ke habitat mereka. Sedangkan aku dengan segala kepayahanku masih menahan diri. Hidup di kumpulan orang-orang tersayang, kadang senang, kadang menyakitkan.
Aku hanya berpikir ingin meninggalkan dunia yang carut marut itu. Memalingkan jalan ke tujuan awal. Meninggalkan harap pada kepayahan yang tak berujung. Lalu, ada yang bertanya tentang dunia yang itu. Yang kusebut-sebut sebagai cinta. Bagaimana?
Aku mengurung diri. Menutup pintu-pintu hati agar tak terpengaruh pada yang telah runtuh. Membatasi diri agar yang sepuh juga tak ikut rapuh. Hingga saat mata bertemu mata, tak ada kata selain luka. Mereka menjadi sia yang membunuh asa. Menyesakkan!
Aku selesai, aku hanya ingin selesai. “Sudah, cukup!” teriakan yang hanya sebatas angan. Aku terbelenggu pada perangkapku.
Waktu ya waktu. Diam bukan jawaban.
Kukira setelah sedikit waktu, angin lama yang berhembus menyesakkan, tidak pernah ada. Ternyata, itu hanya bagian tersulit dalam rangka menghapus luka-luka. Membuka kembali narasi api dalam ingatan hanya semakin menyatakan, aku tidak baik-baik saja. Dan tidak pernah baik-baik saja.
Batas dan kelas kembali menyapa. Saatnya pulang ke peradaban. Setidaknya hari ini, saat ini. Peluh keluh kan terbunuh. Oh, simalakama. Aku rindu mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar