Selasa, 25 Agustus 2020

THROWBACK 2

 ...

Jika libur semester dua kemarin aku menyibukan diri dengan menjadi bagian dari pentas Teater Akbar yang diadakan teman-teman Himpunan Mahasiswa Jurusan atau HMJ. Maka libur semseter tiga ini kegiatanku masih tidak jauh beda. Masih dengan rangkaian rapat. Dulu sih memang hanya coba-coba. Bertaruh dengan takdir untuk sekedar melihat bagaimana jalan cerita. Ah, jika sekarang, aku benar-benar harus fokus. Hm apa ya? Sepertinya aku telah bermuara. Tekad dengan bekal nekat. Wara-wiri dari Banyuwangi kulalui. Untung ada Fikoh, jadi aku tidak sendiri atau merasa sendiri.

Pertengahan Februari aku kembali bergelut dengan liku jalan Gumitir. Sebenarnya jika menunggu beberapa hari saja, aku bisa ke Jember bersama bapak. Nebeng seperti yang lalu-lalu. Kebetulan bapak mengantar para mahasiswa yang telah lulus Universitas Terbuka ke kampusku untuk wisuda. Apalagi karena setelah itu perkuliahan aktif kembali, banyak sekali barang yang harus kubawa. Tapi, karena sudah terlanjur janjian dengan Fikoh, aku memilih berangkat bersamanya.

Hal pertama yang kulakukan di Jember ya rapat. Untungnya sedikit pertemuan dengan adik sepupu di hari Jumat yang lalu, ketika kami sama-sama sedang pulang kampung, membuat stok kesenangan masih tersisa. Hahaha, padahal hanya wara-wiri kesana kemari. Tapi, obrolan kami yang tertahan setahun terakhir membuat waktu-waktu bersama sangat menyengankan. Sejak kecil kami tumbuh bersama. Berbagi banyak hal, banyak cerita.

Sore hari di tanggal 20 Februari, aku melihat ke luar ruang sekret. Langit mulai mendung. Bapak sudah sampai di Jember sejak pagi. Siang harinya, beliau berkata sedang menunggu para penumpang di depan gedung Sutardjo. Ah, tempat itu tidak jauh dari fakultasku. Tapi sayang aku sedang rapat. Setelah selesai kutanyai lewat pesan teks, bapak bilang beliau masih di sana. Aku bergegas menemuinya. Sebenarnya bisa saja aku berjalan ke sana, tapi mengingat barang-barangku yang kutitipkan bapak, tidak mungkin aku membawa sebuah kardus berat sepanjang jalan Jawa dan Kalimantan sambil berjalan. Akhirnya aku meminjam motor mbak Warda. Bersama Fikoh, aku menemui bapak.

Halaman depan Sutardjo dipenuhi banyak kendaraan. Juga halaman stadion kampus yang bersebrangan dengan Sutardjo. Sepertinya tidak hanya di sana. Sepanjang double way, juga dipenuhi bis-bis dan kendaraan lainnya. Dari jauh aku melihat minibus elf bapak terparkir bersebelahan dengan mobil elf-elf lainnya. Dua di antaranya aku tahu. Milik Mas Imam, teman sekaligus bos bapak. Beliau juga turut mengantar penumpang bersama seorang supir lainnya.

Aku memarkir motor di jalan kecil, jalan yang mengarah ke Sutradjo. Fikoh mengikuti aku menghampiri bapak. Aku mencium punggung tangannya seperti biasanya saat kami bertemu. Juga teman-teman bapak yang lain. Tidak banyak yang kami obrolkan. Bapak mengangkat kardus yang sudah beliau siapkan ke atas motor mbak Warda. Aku menawari bapak untuk mampir di kos. “Tidak usah. Bentar lagi acara selesai. Masa bapak nggak ada di tempat?”

Hampir maghrib, aku baru pulang dari kampus. Segera kubongkar kardus dari bapak. Kugunting bundelan lakban yang berlapis-lapis perlahan. Tapi rasanya, aku menggunting sesuatu yang lebih kasar. Gunting kutarik dan kubuka paksa kardus itu sebisaku. Astaga, baju yang baru dikirim kakak sepupu ikut tergunting. Oh, bodoh!

...

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar