Kamis, 27 Agustus 2020

THROWBACK 3

...

Kekalahan itu juga berlaku di cermin ini. Entah mendapat motivasi dari mana, yang jelas saat itu aku terus bersyukur. Senang. Ceritaku yang tidak menang itu, dimuat dalam kumpulan cermin yang diterbitkan oleh penyelenggaranya. Meskipun hanya sebuah cermin yang tidak lebih dari 10.000 karakter, cerita yang kubawa benar nyata. Aku menceritakan bagaimana rasa kehilangan kami alami saat kehilangan sahabat terbaik untuk selamanya. Kisah tentang Ristin, telah tercetak pada lembar buku yang harusnya sudah dibaca banyak orang. Dan, semoga, terlimpah doa di antaranya.

...

Tambahku buru-buru merasa pertanyaanku kurang jelas. Pesan-pesan itu centang satu selama sepersekian detik sebelum keduanya sama-sama centang dua. Masih abu-abu, tulisan ‘online’ muncul di bawah namanya. Tak menunggu lagi, aku keluar dari aplikasi itu. Menyesali apa yang baru saja kulakukan. Sebodoh apa aku hingga tidak tahu jika giliran kami ya memang Rabu depan. Karena itu kan, tugas-tugas segera diselesaikan.

Iya, Lit.

Pesan masuk terbaca di layar notifikasi. Dia membalasnya. Dengan gamang aku membuka aplikasi hijau itu. Ah, centangnya biru. Aku kembali meratapi kebodohanku dan kulanjutkannya dengan menuju layar status WhatsApp.

...

Aku ingin bertanya. Apa kalian bosan dengan kisahnya? Jujur, aku sendiri bosan. Berkutat di masa lalu yang kelabu memang menyesakkan. Tapi, fakta jika dia pernah singgah dan berbagi nama di ingatan tak bisa hilang. Cerita tentangnya masih banyak. Sangat. Mungkin tidak penting bagi kalian—ya memang sedari awal ada yang penting? Tapi bagiku, yang memiliki ingatan pendek ini, setiap detail potongan kisah sangat bermakna. Setidaknya, untuk kisah asmara, boleh ya kamu sedikit menjadi kenangan. Tidak di pikiran, melainkan di perasaan.

Apa? Mau cerita apa? Tentang bapak? Hm sebenarnya, kami juga bertemu di bulan maret itu. Tepatnya tanggal 18, siang hari. Aku benar-benar lupa seperti apa pertemuan kami saat itu. Apakah itu ketika bapak datang bersama Om Pan dan Om To? Atau ketika bapak yang menghampiriku ke portal depan gang kos? Aku lupa. Sudah kubilang kan ingatanku pendek. Yang jelas, obrolan di pesan teksku dan bapak, kami janjian bertemu di depan pintu keluar kampus di jalan Jawa. Faktanya, aku lupa.

Ada lagi?

Ada.

Tentang apa?

Bermacam-macam.

Yang jelas dong!

Baiklah. Aku akan bercerita tentang dia.

Lagi?

Ya.

Oh, shit.

...

Keyakinanku tentang cuaca di hari Jumat yang akan selalu panas terpatahkan dengan keadaan siang itu. Sudah sejak adzan duhur berkumandang, langit kota Jember masih mendung. Hampir pukul satu, hujan malah turun dengan derasnya. Aku tak henti-hentinya menghela napas. Untung aku sudah memerintahkan anak-anak untuk membawa mantel.

...

Kuusap layar gelap itu. Ah, hanya facebook. Kukira apa.  

Briyani Eka Anggraini berulang tahun hari ini. Sampaikan sesuatu kepadanya!

Aku bangkit. Berpikir dua kali. Apa aku harus mengucapkan ulang tahun ke Briyani? Lewat apa? Inbox facebook atau ke berandanya? Sejak SMP kami rutin saling mengirim ucapan. Tanggal lahir kami berdekatan. Briyani 25 Maret, aku 26 Maret, besok. 

...

 

 

Selasa, 25 Agustus 2020

THROWBACK 2

 ...

Jika libur semester dua kemarin aku menyibukan diri dengan menjadi bagian dari pentas Teater Akbar yang diadakan teman-teman Himpunan Mahasiswa Jurusan atau HMJ. Maka libur semseter tiga ini kegiatanku masih tidak jauh beda. Masih dengan rangkaian rapat. Dulu sih memang hanya coba-coba. Bertaruh dengan takdir untuk sekedar melihat bagaimana jalan cerita. Ah, jika sekarang, aku benar-benar harus fokus. Hm apa ya? Sepertinya aku telah bermuara. Tekad dengan bekal nekat. Wara-wiri dari Banyuwangi kulalui. Untung ada Fikoh, jadi aku tidak sendiri atau merasa sendiri.

Pertengahan Februari aku kembali bergelut dengan liku jalan Gumitir. Sebenarnya jika menunggu beberapa hari saja, aku bisa ke Jember bersama bapak. Nebeng seperti yang lalu-lalu. Kebetulan bapak mengantar para mahasiswa yang telah lulus Universitas Terbuka ke kampusku untuk wisuda. Apalagi karena setelah itu perkuliahan aktif kembali, banyak sekali barang yang harus kubawa. Tapi, karena sudah terlanjur janjian dengan Fikoh, aku memilih berangkat bersamanya.

Hal pertama yang kulakukan di Jember ya rapat. Untungnya sedikit pertemuan dengan adik sepupu di hari Jumat yang lalu, ketika kami sama-sama sedang pulang kampung, membuat stok kesenangan masih tersisa. Hahaha, padahal hanya wara-wiri kesana kemari. Tapi, obrolan kami yang tertahan setahun terakhir membuat waktu-waktu bersama sangat menyengankan. Sejak kecil kami tumbuh bersama. Berbagi banyak hal, banyak cerita.

Sore hari di tanggal 20 Februari, aku melihat ke luar ruang sekret. Langit mulai mendung. Bapak sudah sampai di Jember sejak pagi. Siang harinya, beliau berkata sedang menunggu para penumpang di depan gedung Sutardjo. Ah, tempat itu tidak jauh dari fakultasku. Tapi sayang aku sedang rapat. Setelah selesai kutanyai lewat pesan teks, bapak bilang beliau masih di sana. Aku bergegas menemuinya. Sebenarnya bisa saja aku berjalan ke sana, tapi mengingat barang-barangku yang kutitipkan bapak, tidak mungkin aku membawa sebuah kardus berat sepanjang jalan Jawa dan Kalimantan sambil berjalan. Akhirnya aku meminjam motor mbak Warda. Bersama Fikoh, aku menemui bapak.

Halaman depan Sutardjo dipenuhi banyak kendaraan. Juga halaman stadion kampus yang bersebrangan dengan Sutardjo. Sepertinya tidak hanya di sana. Sepanjang double way, juga dipenuhi bis-bis dan kendaraan lainnya. Dari jauh aku melihat minibus elf bapak terparkir bersebelahan dengan mobil elf-elf lainnya. Dua di antaranya aku tahu. Milik Mas Imam, teman sekaligus bos bapak. Beliau juga turut mengantar penumpang bersama seorang supir lainnya.

Aku memarkir motor di jalan kecil, jalan yang mengarah ke Sutradjo. Fikoh mengikuti aku menghampiri bapak. Aku mencium punggung tangannya seperti biasanya saat kami bertemu. Juga teman-teman bapak yang lain. Tidak banyak yang kami obrolkan. Bapak mengangkat kardus yang sudah beliau siapkan ke atas motor mbak Warda. Aku menawari bapak untuk mampir di kos. “Tidak usah. Bentar lagi acara selesai. Masa bapak nggak ada di tempat?”

Hampir maghrib, aku baru pulang dari kampus. Segera kubongkar kardus dari bapak. Kugunting bundelan lakban yang berlapis-lapis perlahan. Tapi rasanya, aku menggunting sesuatu yang lebih kasar. Gunting kutarik dan kubuka paksa kardus itu sebisaku. Astaga, baju yang baru dikirim kakak sepupu ikut tergunting. Oh, bodoh!

...

 

Minggu, 09 Agustus 2020

Pwisiee


Tentang Mereka yang Tak Bisa Kusebut Namanya

Sebenarnya kaum-kaum itu adalah sama. Hanya saja, kelahiran mereka berpindah dari beragam sisi kehidupan ke lingkup yang lebih spesial. Sebuah jalan memutar yang panjang. Mempertemukan air dan api. Memadu dengan beradu. Kisah dan masalah, tertulis manis menjadi harap.

Kemudian, lepas. Lagi dan lagi. Beberapa kembali ke habitat mereka. Sedangkan aku dengan segala kepayahanku masih menahan diri. Hidup di kumpulan orang-orang tersayang, kadang senang, kadang menyakitkan.   

Aku hanya berpikir ingin meninggalkan dunia yang carut marut itu. Memalingkan jalan ke tujuan awal. Meninggalkan harap pada kepayahan yang tak berujung. Lalu, ada yang bertanya tentang dunia yang itu. Yang kusebut-sebut sebagai cinta. Bagaimana?

Aku mengurung diri. Menutup pintu-pintu hati agar tak terpengaruh pada yang telah runtuh. Membatasi diri agar yang sepuh juga tak ikut rapuh. Hingga saat mata bertemu mata, tak ada kata selain luka. Mereka menjadi sia yang membunuh asa. Menyesakkan!

Aku selesai, aku hanya ingin selesai. “Sudah, cukup!” teriakan yang hanya sebatas angan. Aku terbelenggu pada perangkapku.

Waktu ya waktu. Diam bukan jawaban.

Kukira setelah sedikit waktu, angin lama yang berhembus menyesakkan, tidak pernah ada. Ternyata, itu hanya bagian tersulit dalam rangka menghapus luka-luka. Membuka kembali narasi api dalam ingatan hanya semakin menyatakan, aku tidak baik-baik saja. Dan tidak pernah baik-baik saja.

Batas dan kelas kembali menyapa. Saatnya pulang ke peradaban. Setidaknya hari ini, saat ini. Peluh keluh kan terbunuh. Oh, simalakama. Aku rindu mereka.