Selasa, 29 Maret 2022

Tiga Tiga

Part 2

Sepanjang ingatan yang masih tersisa di kepala, kali pertama aku menyaksikan akad nikah, air mata tak hentinya mengalir. Deras dan penuh isak. Aku yang duduk di pojok ruang belakang KUA, merasa sangat-sangat kehilangan. 

Februari 2017. Mataku sembab behari-hari. Peluh keringat berupa ponsel yang kubeli akhir bulan Desember tahun sebelumnya hilang. Ya, aku ceroboh dan sial. Mengantongkannya begitu saja di saku depan ransel biruku. Melanjutkan perjalanan dari warung bakso langganan saat SMP ke rumah teman yang sedang kubonceng, lalu ke rumahku. Di jalan, saat perjalanan ke rumah, aku meraba saku ranselku. Benda berbentuk kotak tipis dan lebar terasa. Ah, dia baik-baik saja. Sampai ketika aku menyadari jika itu adalah flashdisk mini yang... sudah terlambat. 

Aku dan kakak pertamaku yang kebetulan ada di rumah mencari sepanjang jalan yang kulewati. Aku berusaha menelpon, mengirim SMS, menghubungi lewat WhatsApp, Line, BBM, dan sosial media lain yang tertaut di sana. Namun, sampai petang datang, hasilnya nihil. Keponakanku yang mahfum denan dunia ponsel--dan yang mengantarku membeli ponsel itu, mengatakan jika lokasi terakhir ponsel itu ada di warung bakso tadi. Sial, saat aku ke sana untuk kedua kalinya orang-orang di sana tak ada yang mengaku. Firasatku berkata jika ponsel itu jatuh saat aku memasukkan ponsel ke saku ransel tanpa melepaskannya dari punggung. Sial. Aku juga merutuki kemalasanku pergi ke rumah keponakanku untuk mensetting pola sandi dan segala macam hal yang berhubungan dengan keamanan ponsel. Sial sial. 

Aku menangisinya selama berhari-hari. Menyalahkan kakakku yang menyarankan untuk membeli ponsel mahal itu. Pada tahun itu, harga ponsel itu memang tak lebih mahal dari tipe dan merk lain. Namun, itu hampir setara gaji tiga bulanku. Tujuan utamaku bekerja. Ponsel. Punya smartphone pribadi untuk menunjang wawasan serta jangkauanku ke dunia luar, terutama menulis. Dan yang lebih parah, aku sudah membayangkan mendokumentasi seluruh rangkaian acara pernikahan kakak yang digelar kecil-kecilan. Bayangan itu, hilang seketika. 

Bapak hanya membuka tutup pintu kamar, menenangkanku dengan berbagai kata manisnya yang tetap saja membuatku tak bisa berhenti berkabung. Ikhlas? Nggak bisa! Di sana, sedikit kenangan yang kami buat dua bulan terakhir tersimpan. Tulisan-tulisan pendek dan berbegai draft cerita yang kutulis saat istirahat bekerja terkubur di sana. Aku hampir-hampir gila. 

"Nduk, kalau kamu nangis terus Bapak yang sedih. Kenapa? Karena Bapak kasihan melihat kamu kerja keras buat beli hape terus hilang. Andai hape itu dibeli pakai uang Bapak, Bapak enggak sesedih ini. Karena itu payah kamu, bapak semakin sedih ngelihat kamu galau terus-terusan." 

Kalimat itu, tentu saja disampaikan bapak dengan bahasa Jawa. Suara menggelegarnya, bernada rendah semua. Dia tak mendekat ke diriku yang meringkuk di kasur. Hanya menatap dari balik pintu merah muda yang kululis bunga di sisi dalam. Maaf, Pak. Aku tak mampu menghindar dari rasa kehilangan. Terbelenggu sakit dan penyesalan. 

Keesokan harinya, giliran kakak pertamaku yang angkat bicara. Saat itu, aku sudah beranjak dari kasur ke meja belajar. Menyalakan lampu meja dan membuka notebook yang lama kutinggalkan karena sibuk dengan hape baru. Kutancapkan headphone ke lubang di sisi kanan dan menyetel lagu OST dari playlist. Menahan isak dan tangis yang hanyut pada melodi bahkan tanpa kuketahui artinya. Setidaknya, aku bisa bertatap muka dengan penyebab masalah. Saat kamera menyala, diriku di layar monitor terlihat mengerikan. Rambut acak dengan mata sembab. Saat kutatap mata yang merah itu, aliran air mengalir. Lagu beralih ke melodi lain yang terus menyayat. Sial, bagaimana aku bisa ikut menyanyi kalau sesenggukan begini?

Aku mulai bersuara. Merutuki dia yang sedang menangis di depan kamera. Berceloteh dengan bahasa Inggris campur Indonesia. Tentu aku tak peduli tatanan bahasa yang terucap. Hanya kesedihan yang... shit sakit untuk diingat. Aku berceloteh sambil sesekali mengikuti lirik yang kuhapal di luar kepala. Sial, beberapa lirik lagu yang kuhapal itu, telah kuubah ke bahasa Indonesia. Jadi, kutahu betul apa artinya. Tentang kehilangan. 

Hari demi hari, kulalui di kamar gelap dengan penerangan dari lampu meja saja. Hingga suatu saat, aku lupa mengunci pintu. Kakak pertamaku yang melihatku memegang notebook berkomentar. "Nah itu masih punya laptop. Nggak usah sedih lagi, mainan laptop aja." Aku hanya diam. Tak menjawab hanya memasang wajah dingin. Namun, air mata turun lagi. Aku lelah menangis, tapi kehilangan benar-benar menyengsarakan. 

Aku tak tahu apa yang dilakukan ibuk untuk menenangkanku. Aku tak peduli sekitar. Aku bahkan lupa ada adegan makan di saat-saat berkabung itu. Mungkin, ibuk hanya menyuruh ikhlas. Belum rejeki. Bakal ada gantinya. Cobaan. Mungkin, mungkin saja jika dugaanku tak salah. Hal-hal klise yang justru membuatku semakin marah. Seminggu sebelumnya, aku menemukan ponsel baru yang jauh lebih bagus dari milikku. Aku tak berniat mengambilnya sama sekali. Memanggil orang lain untuk menyaksikan secara bersama-sama jika hape itu sedang disembunyikan oleh si pencuri. Benar, salah seorang yang kehilangan mengklaim jika itu miliknya. Bukannya pamrih, aku hanya kesal dengan pemilik ponsel itu. Setidaknya jika tak bisa bilang terima kasih, jangan berlaku jahat kepadaku. Jadi, apakah kejadian yang menimpaku adalah sebuah cobaan?

"Ya. Ini cobaan." Kata kakak yang baru kulihat batang hidungnya setelah seminggu lebih aku meringkuk di kamar. Saat itu, dia sedang mempersiapkan pernikahannya di rumah calon istrinya. Aku menangis melihat kedatangannya. Ia tak masuk ke kamar dan mengelus kepalaku seperti kakak pertamaku. Hanya berbicara dari dekat pintu. Aku sudah mempersiapkan segala kata-kata kejam untuk membagi rasa sakit akibat ulahnya, karena ia menyarankan membeli yang termahal dari merk itu dulu. "Ini cobaan buat yang nemu hapemu. Kalau dia balikin hape itu, berarti dia bisa melewati cobaannya. Kayak kamu yang nemu hape itu. Kamu ngelewatin cobaan itu." Aku diam. Entah mengapa, orang yang tak pernah bisa serius seperti dia bisa memunculkan kalimat itu. 

Rasanya agak lega. Aku bisa bernapas meski masih ada sedikit sesak. Kembali menggunakan smartphone kakak yang nggak smart-smart amat. Meski masih berharap si penemu mau mengembalikan itu, aku tak berkutat pada nilainya lagi. Sedikit sedih jika ingat salah satu akun Wattpad-ku tertinggal di sana bersama draft-draft di dalamnya. Mencoba menguatkan pundak untuk meneruskan pekerjaan, karena aku harus mengumpukan uang UKT awal kuliah jika lolos SBM nanti. Rencana untuk daftar bimbel hilang. Tak ada waktu, tak ada uang. 

Aku yang duduk di pojok KUA masih menangis. Seluruh keluarga berbahagia. Adik keponakanku tadi, memfoto mempelai dari depan. Keluarga lainnya berduyun-duyun mendekat saat kakakku mulai berikrar. Aku tak minat menyaksikannya. Mendengarnya saja, hatiku sedih. Alibiku, mungkin sekedar tak punya hape yang proper untuk mengabadikan momen itu. Tapi kenyataan jika aku akan kehilangan sosok kakak, semakin dekat. 

Selama dia berpacaran dengan pacarnya itu, aku selalu jadi nomor dua. Kalau hal mendesak lainnya terjadi di keluarga perempuannya itu, aku bakal jadi nomor ke sekian bersama ibuk. Pacar pertama kakakku itu--sekaligus istrinya sekarang, merupakan anak pertama dan punya dua adik perempuan. Adik pertamanya teman SMPku. Dengan riwayat kisah SMP yang tidak menyenagkan, bisa dibayangkan bagaimana kecemburuan yang kurasakan? 

Rasa kehilangan sosok kakak, pendamping, cinta kedua, muncul lewat pernikahan. Saat-saat aku berpikir seperti itu, bapak menenangkan jika aku masih punya beliau. Kakak iparku seorang yatim sejak SD. Ditinggal ibunya kerja di luar negeri dan hanya tinggal bersama nenek yang baru meninggal. Bapak maklum dengan pilihan kakakku. Mau tak mau, aku juga. Saat itu, kakak pertamaku masih di rumah kami. Masih ada yang mengantar jemput kerja kalau aku sif malam dan bapak sedang di luar kota. Kamar kakak, juga dipakai kakak pertamaku. Namun, tetap saja. Kakak pertamaku itu, bukan kakak yang tumbuh bersamaku di sini. Meski aku lebih nyaman jalan-jalan keluar bersama bapak, namun kakakku itu serupa laki-laki yang bisa kuandalkan. Aku tak perlu dekat dengan laki-laki manapun karena aku punya dia. Dan yah... hari itu kebanggaanku pergi.

Panjang ya ceritanya? Hahaha aku tak menduga sepanjang ini. Memang saat berkisah masa lalu, narasi yang muncul selalu panjang. Dan apa hubungannya dengan tiga? Aku rasa tidak ada jika mengacu ke apa yang sudah kutulis. Namun, rencana awalku bukan hanya itu. Tiga. Sepanjang ingatanku tadi, ada tiga akad yang kusaksikan. 

Akad kedua yang kusaksikan berada di rumah, bukan KUA. Mempelai perempuannya kerabatku. Berumur setahun lebih tua--atau lebih, namun aku memanggilnya 'Bik' karena silsilah dalam keluarga kami. Dia seorang yatim sejak balita. Saat bapakku meninggal, dia mencoba menenangkanku dengan membandingkan dirinya dan diriku. Persetan! Aku turut berduka dengan keadaannya. Namun maaf, menandingkan kesengsaraan kami bukan hal yang benar. 

Kesedihanku tak berkurang sedikit pun. Justru tangisku pecah karena turut membanding-bandingkan diriku dan dirinya dalam hati. "Mending kehilangan Bapak saat kecil, saat balita, agar tak ada kenangan yang bisa dikenang." Namun, aku tahu itu salah. Sangat. Aku hanya diam memendam kesal dan sedih yang semakin dalam. 

Saat akad nikah kerabatku itu, tangis pecah di banyak orang, termasuk aku. Aku sendiri sudah berusaha sekuat mungkin menahan lelehan air dari mata. Namun, membayangkan jika diriku kelak sama dengan dirinya, tak ditemani bapak, membuatku tak bisa membendung kesedihan. Benar-benar sesak rasanya. Bikku itu bukan perempuan kalem atau yang dikenal berprilaku bagus. Justru sebaiknya. Sejak kecil dia dilabeli sebaliknya. Banyak orang tak suka dengan tingkahnya. Meski demikian, orang-orang bersimpati.

Peristiwa itu terjadi belum genap dua bulan setelah bapakku meninggal. Saat itu aku tak memikirkan siapa yang akan mendampingiku kelak sebagai wali. Apakah kakak pertamaku, atau kakak yang tinggal dan tumbuh bersamaku sejak kecil? Keduanya dan satu kakak laki-laki lainnya sama-sama anak kandung bapak. Namun, ibu kami berbeda. Ibukku tak sama dengan mereka bertiga. Aku tak tahu dan mencari tahu apakah mereka masih bisa menjadi waliku, dan mana yang lebih utama. Aku tak mampu mengandai saudara laki-laki bapak karena tinggal satu adik laki-lakinya yang masih hidup. 

Ah, aku jadi ingat ada akad lain dari tiga akad yang kuceritakan di sini. Aku tak benar-benar menyaksikan dari awal. Jadi, pantas jika sebelumnya tak terbersit di ingatan. Saat sepupuku menikah, harusnya bapak yang jadi wali karena dia anak tertua. Adiknya, ayah sepupuku itu, meninggal secara mendadak tiga tahun sebelumnya. Saat itu, dia dan aku sama-sama baru lulus SMA. Aku sedang menunggu pengumuman SBMPTN saat bertakziah ke rumahnya, sedangkan dia... berduka. 

Saat pernikahan sepupuku itu, ada kemungkinan bapak sengaja telat agar tak jadi wali. Entah, pikiran koyol yang terlintas begitu saja. Kami bersiap di rumah kakak pertama sejak subuh. Namun, rombongan keluargaku harus antri di satu kamar mandi. Belum lagi perjalanan yang lumayan jauh. Dari Jombang ke Kediri. Sampai di rumah sepupuku itu, adiknya yang masih SMP telah menemani kakaknya sebagai wali. Tangis pecah, namun aku hanya mendengarnya cerita itu dari tempat parkir bersama ketiga kakakku. Aku tidak membayangkan jika ketiga laki-laki itu kelak akan menggantikan posisi bapak. 

Haish, kenapa bercerita tentang itu? Kembali ke akad Bikku tadi. Dia pingsan setelah mempelai prianya berhasil menyuarakan akad. Semua orang berduyun-duyun menopang lalu bubar karena pengantin pindah ke kamarnya. Setengah siuman, ia terisak. Ia rindu bapaknya. Ia ingin bapaknya melihat dia menikah. Ia ingin bapaknya ada di sana. Aku menjauh dari sana. Tak ingin terbelenggu kesedihan yang bagai bom waktu ini. 

Berlanjut ke akad ketiga yang sangat jelas kusaksikan. Berlangsung beberapa hari yang lalu, di kediaman temanku. Rumah yang lebih dari sepuluh tahun tak kukunjungi. Seorang teman dari masa lalu, yang hidup di masa kemarin, dan memanggil di masa sekarang. Kisah lebih lanjutnya, bakal kulanjut di bagian selanjutnya saja ya. Sudah super-super panjang part ini. Sampai jumpa.









Sabtu, 26 Maret 2022

Tiga Tiga

Part 1

Klise jika mengatakan tiga adalah angka yang spesial. Dilihat dari sudut pandang manapun, angka tiga punya ceritanya sendiri, yang sama spesialnya dengan angka lain sehingga tiga tak begitu spesial lagi.

Jika kembali ke masa tanpa beban, tiga telah akrab denganku sebagai peringkat. Ranking. Akrab bukan berarti selalu bersama. Karena itulah, aku tak selalu ranking tiga. Ranking 1 dan dua selalu ditempati orang yang sama, dan angka tiga selalu bervarisai. Aku, Candra, dan Rizka. Karena ini dari sudut pandangku, akan kubilang akulah yang paling banyak menempati ranking tiga.

Tadinya, aku ingin men-skip masa SMP-ku yang rumit karena mencari angka tiga di sana, sama artinya dengan mengingat tiap detail kisahnya. Namun, seberkas ingatan tentang drama Korea siang yg habis di jam tiga sore memberiku sedikit semangat. Setiap jam tiga sore di masa itu, aku bergegas mengerjakan segala kegiatan rumah mumpung Indosiar masih menayangkan berita. Memasang alarm untuk jam setengah lima sore karena di waktu itu drama Korean lain akan tayang. Anehnya, tiap jam tiga sore, tanpa sengaja seseorang yang sangat amat kukenal sekaligus paling kuhindari selalu lewat depan rumah. Masih memakai seragam dan mengendarai motor Vixion hitamnya. Aku tidak ingat kapan tepatnya, tapi jika itu motor Vixion berarti sudah kelas tiga karena dulu saat kami sekelas di kelas dua, motornya belum itu. Dia siapa? Hmm dia alasan kenangan SMP-ku tumbuh menjadi trauma. Dia sesak yang selalu datang meski sekedar menyebut namanya. Aku tak sengaja melihat dia di jam tiga sore itu. Dan keesokan harinya, dia lewat lagi. Kutengok jam di atas pintu masuk rumah. Jam tiga sore! Aku tak bisa bilang dia setiap hari lewat sana, namun ketika sedang ingat, aku sesekali menunggu dia lewat di sekitaran jam tiga. Dan tak sampai lewat lima menit dari dentang jarum di angka tiga tepat, dia lewat.

Di masa SMA kenangan angka tiga sedikit apik--ya setidaknya tak menyakitkan. Saat memegang brass dan masuk section trompet kami diberi nomor diri untuk menandai chart display unjuk gelar. Penjelasan itu cukup panjang, yang jelas saat pelatih menata kami sesuai gambar, dia lebih sering memanggil nomor, alih-alih nama. Hal menyebalkan, adik kelas yang baru beberapa hari gabung dan sudah ditaruh di trompet, selalu memanggilku tiga. Tiap kutegur kalo tidak sopan, dia mengelak jika umurnya lebih tua. Ya memang, tapi itu menyebalkan. Meski aku sering marah, namun itu bukan sesuatu yang serius. Risih, tapi ya sudahlah. Saat itu aku sudah kelas tiga, tak perlulah mempermasalahkan hal seperti itu. Lagi pula, nomor case trompetku kebetulan tiga. Kebetulan sekali!

Angka tiga lainnya akan kulanjut nanti. 

Selasa, 01 Maret 2022

Aku dan Satu Nama

Dia, Orang Sakit.

Pagi ini, selepas mengantar dua bocil berangkat sekolah, aku mencium aroma segar yang sangat familiar. Rasanya menyenangkan. Seperti bernostalgia, tapi aku tak tahu apa yang dikenang. Sepertinya, aroma wangi itu bersumber dari pemotor yang muncul dari jalan setapak di kiri jalan. Jalanan berlumpur dengan batuan menyebalkan yang terhubung ke dusun sebelah.

Pemotor itu sudah berjarak beberapa meter di depanku. Aku tak tahu dia laki-laki atau perempuan karena jaket dan helm yang ia kenakan menjadikanku sulit menebak. Sepertinya dia akan berangkat kerja. Mungkin pekerjaannya berhubungan dengan kerja fisik melihat celana pendek yang dipakai. Ah, iya. Aroma yang tercium tadi berasal dari pabrik roti tempat kerjaku dulu. 

Harusnya aroma roti atau berbagai macam selai yang identik dengan pabrik roti. Bukan parfum dari orang-orang yang tentu beragam dan banyak sekali jumlahnya. Dari seluruh orang-orang di pabrik yang berhubungan denganku, aku tak ingat siapa yang punya parfum serupa si pemotor itu. Namun, ada satu sosok yang mengingatkanku pada atmosfer itu. Laki-laki yang hanya bisa kutemui di siang hari atau saat dia bergeser sif dengan temannya. 

Dia Orang Sakit. Namanya Orang Sakit dalam bahasa Indonesia. Aku tak akan menyebut namanya karena akan terasa aneh. Yang jelas, dulu saat aku mengartikan namanya ke bahasa Indonesia sebagai Orang Sakit, aku akan tertawa sendiri dalam hati. 

Orang Sakit selalu memakai kaos polos berwarna hitam. Celananya juga gelap, tapi aku tak yakin apa itu hitam juga atau tidak. Dia dan orang-orang yang bekerja di bagiannya selalu mengenakan topi. Ya, namanya juga bekerja di pabrik makanan, kehigienisan selalu dijaga (eaa). Jadi, karena mereka tak mengenakan ciput seperti kami, orang-orang dari tim mekanik itu selalu memakai topi. 

Di tiap sif ada dua orang mekanik yang bertugas--seingatku begitu. Mereka membantu para pekerja yang sedang mengalami masalah saat mengoperasikan mesinnya dari bagian forming di depan, sampai packing di belakang. Kadang, aku juga melihat mereka melakukan suatu hal di bagian ekspedisi di bagian belakang luar pabrik. 

Mengingat bayaranku sebagai buruh yang bisa dibilang lebih banyak dari Mas yang kerja di toko pertanian saat itu, aku selalu membayangkan dia bekerja di sana bersamaku, di bagian mekanik. Cocok sekali dengan latar belakang pendidikan Mas. Keuntungan lain selain bisa pulang pergi bersama jika di sif yang sama, aku akan merasa aman bekerja. Dari sekian banyak pekerja yang didominasi perempuan, satu dua orang laki-laki dari tim mekanik dan ekspedisi kadang membuat aku risih, Ya, setidaknyaman itu aku berada di dekat laki-laki dulu. 

Si Orang Sakit ini, agak beda. Ya, sama-sama bikin enggak nyaman sih, tapi setidaknya aku tak menaruh pikiran negatif pada orang itu. Aku melihatnya sejak hari pertama bekerja. Singkat. Saat itu aku yang bekerja mulai jam 8 harus sampai jam 4 sore agar dapat gaji penuh sehari. Dan di siang itu aku bertemu Orang Sakit. Ah, bukan bertemu, melainkan melihat. 

Ia berwajah kecil dan tidak asing. Seperti ramah dan murah senyum. Kadang tidak jelas apa yang sedang disenyuminya. Berbadan lebih kecil dari para mekanik yang lain. Aku memperkirakan umurnya tak jauh beda dariku. Setidaknya, lebih muda dari kakakku. Aku berandai-andai, apakah dia akan cocok jika berteman dengan Mas. Satu hal yang sepertinya sama dari keduanya. Mereka suka senyum alias cengengesan.

Senyum yang selalu terpancar dari wajah Orang Sakit kadang membuat aku sedikit dilema. Dia ini tersenyum kepadaku atas dasar apa? Menyapa? Kami tak cukup akrab untuk itu. Aku baru punya obrolan dengannya saat menjalankan mesin korin sendiri di bulan ke tiga atau empat. Dan senyum aneh itu sudah muncul di kali pertama mata kami bertemu. Saat-saat pergantian sif dari pagi ke siang atau siang ke malam. 

Seperti yang kubilang, dia selalu berada di sif siang yang biasa disebut sif bayangan. Jadwalnya tetap, jam dua siang sampai jam sepuluh malam. Sedangkan aku sif reguler A, seminggu pertama jam 6 pagi sampai jam 2 siang, lalu digilir seminggu selanjutnya jam 10 malam sampai jam 6 pagi. Karena 10 menit sebelum waktu kerja para pekerja harus berbaris dan melafalkan Visi-Misi perusahaan, kami bisa sejenak melihat mereka-mereka yang baru datang atau akan pulang. Di waktu singkat itu, jujur aku kerap curi pandang. 

Iyap, jujur curi pandang. Tapi sebenarnya bukan kepada si Orang Sakit tadi, Bukan juga ke para mekanik lain atau orang-orang ekspedisi karena ekspedisi hanya ada di malam hari. Melainkan ke sesama pekerja yang seragamnya serupa diriku. Hanya beda di warna celemek yang bukan merah muda, malainkan biru. Beda divisi karena hanya dia dan 3 lainnya laki-laki di pabrik ini--selain mekanik dan ekspedisi tentunya. Ah, aku tak bisa terlalu detail karena akan sangat kentara siapa dia. Dan, ini bukan terminnya. 

Saat kegaduhan di kepala semakin santer, aku mencoba menuliskan nama mereka di kolom pencarian Facebook. Awalnya si celemek biru. Nama depan dan belakangnya cenderung feminim, tapi di tengah ada Ahmadnya. Nama yang bagus. Dan entah darimana aku tahu nama lengkapnya. Mungkin dari absensi pagi? Karena divisi kami berbeda tak jarang kami ada di satu sif yang sama. Oh, mungkin dari saran pertemanan karena ada orang-orang yang kami kenal saling bertautan. Untuk si Orang Sakit, aku tak tahu nama lengkapnya. Hanya nama panggilan yang sekaligus jadi nama lengkapnya di Facebook. Dengan mudah aku menemukan akunnya. 

Tentu saja banyak hal mengejutkan yang kuketahui saat melihat profil keduanya dan kemudian menggulir ke bawah. Skip si celemek biru, ingat ini porsi si Orang Sakit. Umur orang sakit itu, jika kuhitung saat itu sudah di atas dua puluh enam tahun Jauh di atas Masku dan tentu sangat jauh di atasku. Ini sangat mengejutkan. Sangat. 

Aku jadi berpikir, apa jangan-jangan ia sudah berkeluarga? Karena di pabrik kebanyakan orang-orang di umur Mas saja sudah menikah. Tapi sependengaranku dari obrolan dan sindiran ibu-ibu di sana, dia satu-satunya mekanik yang masih single. Single? Aku berpikir lagi. Single bukan berarti tidak pernah menikah kan? Dan hey! Jika teringat wajahnya, dia sangat-sangat tidak cocok dengan umur itu. 

Tidak seperti di akun si celemek biru, di akun si Orang Sakit tak banyak kudapatkan hal penting selain foto SMA-nya yang membuatku bisa memperkirakan setidaknya dia berumur dua puluh enam tahun--itu kemungkinan paling muda sih. Dia tak banyak bercuap atau memposting gambar. Akun itu sepertinya juga bukan akun yang terbengkalai. Ya begitulan masalah Facebook. 

Sebelum membeli ponsel di tahun ketiga bekerja, aku tak memakai sosial media selain FB dan Line yang menumpang di akun kakak. Dan orang-orang pabrik kebanyakan bersosial media di FB dan BBM. Saat sudah punya ponsel sendiri, aku menginstall BBM juga. Namun di sana, tak kutemui Orang Sakit. Alih-alih ada celemek biru lain selain si Ahmad. Menyerah, aku tak bakat bersosial baik di media atau di dunia nyata.

Alasanku tertarik dengan kedua orang yang kusebutkan di atas (TERTARIK LOH YA) remeh sekali. Alasannya karena aku kerja di pabrik roti. Itu saja. Lagu Kyuhyun Hope is A Dream That Doesnt Sleep selalu terngingat. Bayang-bayang King Bakery Kim Tak Gu di drama Bread, Love, And Dream, selalu menyemangatiku saat badanku remuk bekerja setiap hari. Jadi, aku selalu berharap mendapatkan sesuatu yang setimpal untuk kerja kerasku selain uang. Di ribuan roti aku memupuk dan menekan mimpiku sekaligus. Aku hanya butuh cinta saat itu. Mimpiku sudah serupa imajinasi yang terus berapi-api. 

Akhirnya? Saat itu aku juga penasaran akhirnya seperti apa. 

Kalau dilihat dari sebelah sini, dari saat ini, jawabannya tentu sudah jelas. Tak ada cinta di sana. Tapi, jika kembali ke saat itu, aku benar-benar penasaran setengah mati. Bahkan, saat aku tiba-tiba berhenti tanpa berpamitan secara langsung ke teman-teman dekatku (kebanyakan ibu-ibu) dengan berbagai alasan, aku masih menduga-duga, apa yang dipikirkan Orang Sakit itu tentangku. Apa dia tertarik atau hanya iseng? Jika kuingat lagi, beberapa kali dia mencoba berinteraksi. Tapi di jam kerja dan aku yang suka sok cuek haha. Saat sudah menjalankan mesin korin sendiri, aku lebih sering memulai interaksi kala mesinku macet. Tapi, jika ada mekanik lain aku memilih memanggil mereka daripada dia. Entahlah. 

Aku keluar dari pabrik saat dipindah ke bagian kiyosi. Bagian tanpa divisi yang kerjanya tak seterikat menjalankan mesin suntik atau mesin korin. Hanya menyeleksi bun roti kering yang layak dan tidak (ini lucu karena aku bukan dari tim roti kering dan hanya menangani roti kering jika roti krimku habis). Pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sembarang orang karena butuh ketelitian dan kemampuan tersendiri. Harusnya aku senang karena tak dikejar jerit mesin lagi. Namun, di sana sangat membuatku sedih. Seperti dibuang dan tanpa teman. Memang di sana aku bisa lebih dekat dengan tempat si celemek biru. Si Orang Sakit juga jadi sering muncul dari sela-sela box yang menggunung di atas troli. Tapi, rasanya menyedihkan.

Aku lebih suka bekerja dengan tim. Gila-gilaan menjalankan mesin suntik dengan Mbak Ningrum, Mbak Na, Mbak Asri, Mbak Ririn, Bu Sulis, Bu Yuni dan mbak-mbak suntik di sif lainnya yang tak kuingat semua. Saat Mbak --- (shit, aku lupa namanya dan punya kenangan tidak menyenagkan dengannya), Bu Pah, Bu Warda keteteran menjalankan korin karena roti-roti dari mesin suntik kami sudah menumpuk di bak mereka. Aku suka masa itu. Membayangkan sedang bermain game sambil mempercepat gerak karena loyang-loyang harus sambil ditata menjulang dengan rapi di atas troli yang rodanya harus merah. Ah, derit dan coblosan mesin suntik terdengar. Aroma selai durian yang menyengat mengalahkan roti-roti coklat yang baru matang. Aku rindu. Ini kenapa jadi nostalgia dan lepas dari sosok Orang Sakit sih?

Wah, panjang sekali ya. Sudah hampir satu jam. Tapi, tetap. Akan kulanjut. 

Karena masih penasaran, saat libur semester pertama kuliah aku mendaftar ke pabrik lagi. Kali itu, HRD-nya berganti. Dia tak menanyaiku sedang berkuliah apa tidak. Aku lolos dengan mudah karena sudah berpengalaman. Namun lama kerjaku sebelumnya tak menguntungkan selain tambah kesal. Aku sudah diminta menjalankan mesin korin yang harusnya dapat tunjangan ahli sekitar 10 ribu per harinya. Dan untuk roti coklat, harus ada yang memitilkan (ini pekerjaan pertamaku dan sangat susah). Namun, aku sudah diminta menjalankan mesin korin berisi roti coklat sendiri. Padahal bayaranku kembali ke awal. Tak ada tunjangan ahli, tak ada kenaikan tiap bulan. Menyebalkannya lagi, yang menyuruh-nyuruhku adalah seseorang yang dulunya kuajari cara mengoperasikan mesin-mesin. Yap, mereka sudah naik jabatan. Kalo dulu aku tetap di sana, mungkin aku lebih tinggi dari dia. Tapi, ya sudahlah. 

Saat itu, aku semakin sering meminta Orang Sakit membenahi mesin karena menjadi orang baru artinya berada di sif baru. Tapi, dia seperti orang yang berbeda. Senyumnya masih ada tapi tak seperti sebelumnya. Aku yang sudah tak begitu menutup diri seperti sebelum kuliah tak bisa menerka apa-apa. Dan rasa tertarikku pun seperti tak pernah ada. Aku kembali untuk membuktikan kepada orang-orang jahat jika aku masih hidup dan baik-baik saja. Tapi, orang jahat memang selalu beruntung. Orang-orang yang menjahatiku naik jabatan. Seseorang yang punya hubungan dengan si celemek biru. Dan yeah, si celemek biru tak lagi bercelemek. Dia naik jabatan.

Tak sampai seminggu aku resign. Alasannya lebih kompleks. Tak ada hubungannya dengan orang-orang pabrik atau statusku yang mahasiswa. Tapi, itu alasan jelas yang meski menyedihkan tapi sudah bisa kurelakan. Malam menyesakkan yang diselimuti hujan. Sial, aku rindu bapak.

Oh, ya tentang si Orang Sakit. Nama itu kudapat dari memisalkan namanya sebagai bahasa Inggris lalu diterjemahkn di bahasa Indonesia. Lantas, kalau aku memisalkan namanya sebagai bahasa Korea, aku bisa menerjemahkannya menjadi dua arti. Jika suku kata pertama dan kedua digabung, maka berarti sepuluh ribu. Dan jika suku kata pertama dan kedua dipisah, maka artinya hanya satu. Ah, entah. Suka banget mempersulit diri. Tapi, ya inilah sisi menyenangkannya. Setidaknya, aku menggerakkan jari lagi untuk mengetik--dan kembali menghidupkan perasaan.