Selasa, 01 Maret 2022

Aku dan Satu Nama

Dia, Orang Sakit.

Pagi ini, selepas mengantar dua bocil berangkat sekolah, aku mencium aroma segar yang sangat familiar. Rasanya menyenangkan. Seperti bernostalgia, tapi aku tak tahu apa yang dikenang. Sepertinya, aroma wangi itu bersumber dari pemotor yang muncul dari jalan setapak di kiri jalan. Jalanan berlumpur dengan batuan menyebalkan yang terhubung ke dusun sebelah.

Pemotor itu sudah berjarak beberapa meter di depanku. Aku tak tahu dia laki-laki atau perempuan karena jaket dan helm yang ia kenakan menjadikanku sulit menebak. Sepertinya dia akan berangkat kerja. Mungkin pekerjaannya berhubungan dengan kerja fisik melihat celana pendek yang dipakai. Ah, iya. Aroma yang tercium tadi berasal dari pabrik roti tempat kerjaku dulu. 

Harusnya aroma roti atau berbagai macam selai yang identik dengan pabrik roti. Bukan parfum dari orang-orang yang tentu beragam dan banyak sekali jumlahnya. Dari seluruh orang-orang di pabrik yang berhubungan denganku, aku tak ingat siapa yang punya parfum serupa si pemotor itu. Namun, ada satu sosok yang mengingatkanku pada atmosfer itu. Laki-laki yang hanya bisa kutemui di siang hari atau saat dia bergeser sif dengan temannya. 

Dia Orang Sakit. Namanya Orang Sakit dalam bahasa Indonesia. Aku tak akan menyebut namanya karena akan terasa aneh. Yang jelas, dulu saat aku mengartikan namanya ke bahasa Indonesia sebagai Orang Sakit, aku akan tertawa sendiri dalam hati. 

Orang Sakit selalu memakai kaos polos berwarna hitam. Celananya juga gelap, tapi aku tak yakin apa itu hitam juga atau tidak. Dia dan orang-orang yang bekerja di bagiannya selalu mengenakan topi. Ya, namanya juga bekerja di pabrik makanan, kehigienisan selalu dijaga (eaa). Jadi, karena mereka tak mengenakan ciput seperti kami, orang-orang dari tim mekanik itu selalu memakai topi. 

Di tiap sif ada dua orang mekanik yang bertugas--seingatku begitu. Mereka membantu para pekerja yang sedang mengalami masalah saat mengoperasikan mesinnya dari bagian forming di depan, sampai packing di belakang. Kadang, aku juga melihat mereka melakukan suatu hal di bagian ekspedisi di bagian belakang luar pabrik. 

Mengingat bayaranku sebagai buruh yang bisa dibilang lebih banyak dari Mas yang kerja di toko pertanian saat itu, aku selalu membayangkan dia bekerja di sana bersamaku, di bagian mekanik. Cocok sekali dengan latar belakang pendidikan Mas. Keuntungan lain selain bisa pulang pergi bersama jika di sif yang sama, aku akan merasa aman bekerja. Dari sekian banyak pekerja yang didominasi perempuan, satu dua orang laki-laki dari tim mekanik dan ekspedisi kadang membuat aku risih, Ya, setidaknyaman itu aku berada di dekat laki-laki dulu. 

Si Orang Sakit ini, agak beda. Ya, sama-sama bikin enggak nyaman sih, tapi setidaknya aku tak menaruh pikiran negatif pada orang itu. Aku melihatnya sejak hari pertama bekerja. Singkat. Saat itu aku yang bekerja mulai jam 8 harus sampai jam 4 sore agar dapat gaji penuh sehari. Dan di siang itu aku bertemu Orang Sakit. Ah, bukan bertemu, melainkan melihat. 

Ia berwajah kecil dan tidak asing. Seperti ramah dan murah senyum. Kadang tidak jelas apa yang sedang disenyuminya. Berbadan lebih kecil dari para mekanik yang lain. Aku memperkirakan umurnya tak jauh beda dariku. Setidaknya, lebih muda dari kakakku. Aku berandai-andai, apakah dia akan cocok jika berteman dengan Mas. Satu hal yang sepertinya sama dari keduanya. Mereka suka senyum alias cengengesan.

Senyum yang selalu terpancar dari wajah Orang Sakit kadang membuat aku sedikit dilema. Dia ini tersenyum kepadaku atas dasar apa? Menyapa? Kami tak cukup akrab untuk itu. Aku baru punya obrolan dengannya saat menjalankan mesin korin sendiri di bulan ke tiga atau empat. Dan senyum aneh itu sudah muncul di kali pertama mata kami bertemu. Saat-saat pergantian sif dari pagi ke siang atau siang ke malam. 

Seperti yang kubilang, dia selalu berada di sif siang yang biasa disebut sif bayangan. Jadwalnya tetap, jam dua siang sampai jam sepuluh malam. Sedangkan aku sif reguler A, seminggu pertama jam 6 pagi sampai jam 2 siang, lalu digilir seminggu selanjutnya jam 10 malam sampai jam 6 pagi. Karena 10 menit sebelum waktu kerja para pekerja harus berbaris dan melafalkan Visi-Misi perusahaan, kami bisa sejenak melihat mereka-mereka yang baru datang atau akan pulang. Di waktu singkat itu, jujur aku kerap curi pandang. 

Iyap, jujur curi pandang. Tapi sebenarnya bukan kepada si Orang Sakit tadi, Bukan juga ke para mekanik lain atau orang-orang ekspedisi karena ekspedisi hanya ada di malam hari. Melainkan ke sesama pekerja yang seragamnya serupa diriku. Hanya beda di warna celemek yang bukan merah muda, malainkan biru. Beda divisi karena hanya dia dan 3 lainnya laki-laki di pabrik ini--selain mekanik dan ekspedisi tentunya. Ah, aku tak bisa terlalu detail karena akan sangat kentara siapa dia. Dan, ini bukan terminnya. 

Saat kegaduhan di kepala semakin santer, aku mencoba menuliskan nama mereka di kolom pencarian Facebook. Awalnya si celemek biru. Nama depan dan belakangnya cenderung feminim, tapi di tengah ada Ahmadnya. Nama yang bagus. Dan entah darimana aku tahu nama lengkapnya. Mungkin dari absensi pagi? Karena divisi kami berbeda tak jarang kami ada di satu sif yang sama. Oh, mungkin dari saran pertemanan karena ada orang-orang yang kami kenal saling bertautan. Untuk si Orang Sakit, aku tak tahu nama lengkapnya. Hanya nama panggilan yang sekaligus jadi nama lengkapnya di Facebook. Dengan mudah aku menemukan akunnya. 

Tentu saja banyak hal mengejutkan yang kuketahui saat melihat profil keduanya dan kemudian menggulir ke bawah. Skip si celemek biru, ingat ini porsi si Orang Sakit. Umur orang sakit itu, jika kuhitung saat itu sudah di atas dua puluh enam tahun Jauh di atas Masku dan tentu sangat jauh di atasku. Ini sangat mengejutkan. Sangat. 

Aku jadi berpikir, apa jangan-jangan ia sudah berkeluarga? Karena di pabrik kebanyakan orang-orang di umur Mas saja sudah menikah. Tapi sependengaranku dari obrolan dan sindiran ibu-ibu di sana, dia satu-satunya mekanik yang masih single. Single? Aku berpikir lagi. Single bukan berarti tidak pernah menikah kan? Dan hey! Jika teringat wajahnya, dia sangat-sangat tidak cocok dengan umur itu. 

Tidak seperti di akun si celemek biru, di akun si Orang Sakit tak banyak kudapatkan hal penting selain foto SMA-nya yang membuatku bisa memperkirakan setidaknya dia berumur dua puluh enam tahun--itu kemungkinan paling muda sih. Dia tak banyak bercuap atau memposting gambar. Akun itu sepertinya juga bukan akun yang terbengkalai. Ya begitulan masalah Facebook. 

Sebelum membeli ponsel di tahun ketiga bekerja, aku tak memakai sosial media selain FB dan Line yang menumpang di akun kakak. Dan orang-orang pabrik kebanyakan bersosial media di FB dan BBM. Saat sudah punya ponsel sendiri, aku menginstall BBM juga. Namun di sana, tak kutemui Orang Sakit. Alih-alih ada celemek biru lain selain si Ahmad. Menyerah, aku tak bakat bersosial baik di media atau di dunia nyata.

Alasanku tertarik dengan kedua orang yang kusebutkan di atas (TERTARIK LOH YA) remeh sekali. Alasannya karena aku kerja di pabrik roti. Itu saja. Lagu Kyuhyun Hope is A Dream That Doesnt Sleep selalu terngingat. Bayang-bayang King Bakery Kim Tak Gu di drama Bread, Love, And Dream, selalu menyemangatiku saat badanku remuk bekerja setiap hari. Jadi, aku selalu berharap mendapatkan sesuatu yang setimpal untuk kerja kerasku selain uang. Di ribuan roti aku memupuk dan menekan mimpiku sekaligus. Aku hanya butuh cinta saat itu. Mimpiku sudah serupa imajinasi yang terus berapi-api. 

Akhirnya? Saat itu aku juga penasaran akhirnya seperti apa. 

Kalau dilihat dari sebelah sini, dari saat ini, jawabannya tentu sudah jelas. Tak ada cinta di sana. Tapi, jika kembali ke saat itu, aku benar-benar penasaran setengah mati. Bahkan, saat aku tiba-tiba berhenti tanpa berpamitan secara langsung ke teman-teman dekatku (kebanyakan ibu-ibu) dengan berbagai alasan, aku masih menduga-duga, apa yang dipikirkan Orang Sakit itu tentangku. Apa dia tertarik atau hanya iseng? Jika kuingat lagi, beberapa kali dia mencoba berinteraksi. Tapi di jam kerja dan aku yang suka sok cuek haha. Saat sudah menjalankan mesin korin sendiri, aku lebih sering memulai interaksi kala mesinku macet. Tapi, jika ada mekanik lain aku memilih memanggil mereka daripada dia. Entahlah. 

Aku keluar dari pabrik saat dipindah ke bagian kiyosi. Bagian tanpa divisi yang kerjanya tak seterikat menjalankan mesin suntik atau mesin korin. Hanya menyeleksi bun roti kering yang layak dan tidak (ini lucu karena aku bukan dari tim roti kering dan hanya menangani roti kering jika roti krimku habis). Pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sembarang orang karena butuh ketelitian dan kemampuan tersendiri. Harusnya aku senang karena tak dikejar jerit mesin lagi. Namun, di sana sangat membuatku sedih. Seperti dibuang dan tanpa teman. Memang di sana aku bisa lebih dekat dengan tempat si celemek biru. Si Orang Sakit juga jadi sering muncul dari sela-sela box yang menggunung di atas troli. Tapi, rasanya menyedihkan.

Aku lebih suka bekerja dengan tim. Gila-gilaan menjalankan mesin suntik dengan Mbak Ningrum, Mbak Na, Mbak Asri, Mbak Ririn, Bu Sulis, Bu Yuni dan mbak-mbak suntik di sif lainnya yang tak kuingat semua. Saat Mbak --- (shit, aku lupa namanya dan punya kenangan tidak menyenagkan dengannya), Bu Pah, Bu Warda keteteran menjalankan korin karena roti-roti dari mesin suntik kami sudah menumpuk di bak mereka. Aku suka masa itu. Membayangkan sedang bermain game sambil mempercepat gerak karena loyang-loyang harus sambil ditata menjulang dengan rapi di atas troli yang rodanya harus merah. Ah, derit dan coblosan mesin suntik terdengar. Aroma selai durian yang menyengat mengalahkan roti-roti coklat yang baru matang. Aku rindu. Ini kenapa jadi nostalgia dan lepas dari sosok Orang Sakit sih?

Wah, panjang sekali ya. Sudah hampir satu jam. Tapi, tetap. Akan kulanjut. 

Karena masih penasaran, saat libur semester pertama kuliah aku mendaftar ke pabrik lagi. Kali itu, HRD-nya berganti. Dia tak menanyaiku sedang berkuliah apa tidak. Aku lolos dengan mudah karena sudah berpengalaman. Namun lama kerjaku sebelumnya tak menguntungkan selain tambah kesal. Aku sudah diminta menjalankan mesin korin yang harusnya dapat tunjangan ahli sekitar 10 ribu per harinya. Dan untuk roti coklat, harus ada yang memitilkan (ini pekerjaan pertamaku dan sangat susah). Namun, aku sudah diminta menjalankan mesin korin berisi roti coklat sendiri. Padahal bayaranku kembali ke awal. Tak ada tunjangan ahli, tak ada kenaikan tiap bulan. Menyebalkannya lagi, yang menyuruh-nyuruhku adalah seseorang yang dulunya kuajari cara mengoperasikan mesin-mesin. Yap, mereka sudah naik jabatan. Kalo dulu aku tetap di sana, mungkin aku lebih tinggi dari dia. Tapi, ya sudahlah. 

Saat itu, aku semakin sering meminta Orang Sakit membenahi mesin karena menjadi orang baru artinya berada di sif baru. Tapi, dia seperti orang yang berbeda. Senyumnya masih ada tapi tak seperti sebelumnya. Aku yang sudah tak begitu menutup diri seperti sebelum kuliah tak bisa menerka apa-apa. Dan rasa tertarikku pun seperti tak pernah ada. Aku kembali untuk membuktikan kepada orang-orang jahat jika aku masih hidup dan baik-baik saja. Tapi, orang jahat memang selalu beruntung. Orang-orang yang menjahatiku naik jabatan. Seseorang yang punya hubungan dengan si celemek biru. Dan yeah, si celemek biru tak lagi bercelemek. Dia naik jabatan.

Tak sampai seminggu aku resign. Alasannya lebih kompleks. Tak ada hubungannya dengan orang-orang pabrik atau statusku yang mahasiswa. Tapi, itu alasan jelas yang meski menyedihkan tapi sudah bisa kurelakan. Malam menyesakkan yang diselimuti hujan. Sial, aku rindu bapak.

Oh, ya tentang si Orang Sakit. Nama itu kudapat dari memisalkan namanya sebagai bahasa Inggris lalu diterjemahkn di bahasa Indonesia. Lantas, kalau aku memisalkan namanya sebagai bahasa Korea, aku bisa menerjemahkannya menjadi dua arti. Jika suku kata pertama dan kedua digabung, maka berarti sepuluh ribu. Dan jika suku kata pertama dan kedua dipisah, maka artinya hanya satu. Ah, entah. Suka banget mempersulit diri. Tapi, ya inilah sisi menyenangkannya. Setidaknya, aku menggerakkan jari lagi untuk mengetik--dan kembali menghidupkan perasaan.



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar