Part 2
Sepanjang ingatan yang masih tersisa di kepala, kali pertama aku menyaksikan akad nikah, air mata tak hentinya mengalir. Deras dan penuh isak. Aku yang duduk di pojok ruang belakang KUA, merasa sangat-sangat kehilangan.
Februari 2017. Mataku sembab behari-hari. Peluh keringat berupa ponsel yang kubeli akhir bulan Desember tahun sebelumnya hilang. Ya, aku ceroboh dan sial. Mengantongkannya begitu saja di saku depan ransel biruku. Melanjutkan perjalanan dari warung bakso langganan saat SMP ke rumah teman yang sedang kubonceng, lalu ke rumahku. Di jalan, saat perjalanan ke rumah, aku meraba saku ranselku. Benda berbentuk kotak tipis dan lebar terasa. Ah, dia baik-baik saja. Sampai ketika aku menyadari jika itu adalah flashdisk mini yang... sudah terlambat.
Aku dan kakak pertamaku yang kebetulan ada di rumah mencari sepanjang jalan yang kulewati. Aku berusaha menelpon, mengirim SMS, menghubungi lewat WhatsApp, Line, BBM, dan sosial media lain yang tertaut di sana. Namun, sampai petang datang, hasilnya nihil. Keponakanku yang mahfum denan dunia ponsel--dan yang mengantarku membeli ponsel itu, mengatakan jika lokasi terakhir ponsel itu ada di warung bakso tadi. Sial, saat aku ke sana untuk kedua kalinya orang-orang di sana tak ada yang mengaku. Firasatku berkata jika ponsel itu jatuh saat aku memasukkan ponsel ke saku ransel tanpa melepaskannya dari punggung. Sial. Aku juga merutuki kemalasanku pergi ke rumah keponakanku untuk mensetting pola sandi dan segala macam hal yang berhubungan dengan keamanan ponsel. Sial sial.
Aku menangisinya selama berhari-hari. Menyalahkan kakakku yang menyarankan untuk membeli ponsel mahal itu. Pada tahun itu, harga ponsel itu memang tak lebih mahal dari tipe dan merk lain. Namun, itu hampir setara gaji tiga bulanku. Tujuan utamaku bekerja. Ponsel. Punya smartphone pribadi untuk menunjang wawasan serta jangkauanku ke dunia luar, terutama menulis. Dan yang lebih parah, aku sudah membayangkan mendokumentasi seluruh rangkaian acara pernikahan kakak yang digelar kecil-kecilan. Bayangan itu, hilang seketika.
Bapak hanya membuka tutup pintu kamar, menenangkanku dengan berbagai kata manisnya yang tetap saja membuatku tak bisa berhenti berkabung. Ikhlas? Nggak bisa! Di sana, sedikit kenangan yang kami buat dua bulan terakhir tersimpan. Tulisan-tulisan pendek dan berbegai draft cerita yang kutulis saat istirahat bekerja terkubur di sana. Aku hampir-hampir gila.
"Nduk, kalau kamu nangis terus Bapak yang sedih. Kenapa? Karena Bapak kasihan melihat kamu kerja keras buat beli hape terus hilang. Andai hape itu dibeli pakai uang Bapak, Bapak enggak sesedih ini. Karena itu payah kamu, bapak semakin sedih ngelihat kamu galau terus-terusan."
Kalimat itu, tentu saja disampaikan bapak dengan bahasa Jawa. Suara menggelegarnya, bernada rendah semua. Dia tak mendekat ke diriku yang meringkuk di kasur. Hanya menatap dari balik pintu merah muda yang kululis bunga di sisi dalam. Maaf, Pak. Aku tak mampu menghindar dari rasa kehilangan. Terbelenggu sakit dan penyesalan.
Keesokan harinya, giliran kakak pertamaku yang angkat bicara. Saat itu, aku sudah beranjak dari kasur ke meja belajar. Menyalakan lampu meja dan membuka notebook yang lama kutinggalkan karena sibuk dengan hape baru. Kutancapkan headphone ke lubang di sisi kanan dan menyetel lagu OST dari playlist. Menahan isak dan tangis yang hanyut pada melodi bahkan tanpa kuketahui artinya. Setidaknya, aku bisa bertatap muka dengan penyebab masalah. Saat kamera menyala, diriku di layar monitor terlihat mengerikan. Rambut acak dengan mata sembab. Saat kutatap mata yang merah itu, aliran air mengalir. Lagu beralih ke melodi lain yang terus menyayat. Sial, bagaimana aku bisa ikut menyanyi kalau sesenggukan begini?
Aku mulai bersuara. Merutuki dia yang sedang menangis di depan kamera. Berceloteh dengan bahasa Inggris campur Indonesia. Tentu aku tak peduli tatanan bahasa yang terucap. Hanya kesedihan yang... shit sakit untuk diingat. Aku berceloteh sambil sesekali mengikuti lirik yang kuhapal di luar kepala. Sial, beberapa lirik lagu yang kuhapal itu, telah kuubah ke bahasa Indonesia. Jadi, kutahu betul apa artinya. Tentang kehilangan.
Hari demi hari, kulalui di kamar gelap dengan penerangan dari lampu meja saja. Hingga suatu saat, aku lupa mengunci pintu. Kakak pertamaku yang melihatku memegang notebook berkomentar. "Nah itu masih punya laptop. Nggak usah sedih lagi, mainan laptop aja." Aku hanya diam. Tak menjawab hanya memasang wajah dingin. Namun, air mata turun lagi. Aku lelah menangis, tapi kehilangan benar-benar menyengsarakan.
Aku tak tahu apa yang dilakukan ibuk untuk menenangkanku. Aku tak peduli sekitar. Aku bahkan lupa ada adegan makan di saat-saat berkabung itu. Mungkin, ibuk hanya menyuruh ikhlas. Belum rejeki. Bakal ada gantinya. Cobaan. Mungkin, mungkin saja jika dugaanku tak salah. Hal-hal klise yang justru membuatku semakin marah. Seminggu sebelumnya, aku menemukan ponsel baru yang jauh lebih bagus dari milikku. Aku tak berniat mengambilnya sama sekali. Memanggil orang lain untuk menyaksikan secara bersama-sama jika hape itu sedang disembunyikan oleh si pencuri. Benar, salah seorang yang kehilangan mengklaim jika itu miliknya. Bukannya pamrih, aku hanya kesal dengan pemilik ponsel itu. Setidaknya jika tak bisa bilang terima kasih, jangan berlaku jahat kepadaku. Jadi, apakah kejadian yang menimpaku adalah sebuah cobaan?
"Ya. Ini cobaan." Kata kakak yang baru kulihat batang hidungnya setelah seminggu lebih aku meringkuk di kamar. Saat itu, dia sedang mempersiapkan pernikahannya di rumah calon istrinya. Aku menangis melihat kedatangannya. Ia tak masuk ke kamar dan mengelus kepalaku seperti kakak pertamaku. Hanya berbicara dari dekat pintu. Aku sudah mempersiapkan segala kata-kata kejam untuk membagi rasa sakit akibat ulahnya, karena ia menyarankan membeli yang termahal dari merk itu dulu. "Ini cobaan buat yang nemu hapemu. Kalau dia balikin hape itu, berarti dia bisa melewati cobaannya. Kayak kamu yang nemu hape itu. Kamu ngelewatin cobaan itu." Aku diam. Entah mengapa, orang yang tak pernah bisa serius seperti dia bisa memunculkan kalimat itu.
Rasanya agak lega. Aku bisa bernapas meski masih ada sedikit sesak. Kembali menggunakan smartphone kakak yang nggak smart-smart amat. Meski masih berharap si penemu mau mengembalikan itu, aku tak berkutat pada nilainya lagi. Sedikit sedih jika ingat salah satu akun Wattpad-ku tertinggal di sana bersama draft-draft di dalamnya. Mencoba menguatkan pundak untuk meneruskan pekerjaan, karena aku harus mengumpukan uang UKT awal kuliah jika lolos SBM nanti. Rencana untuk daftar bimbel hilang. Tak ada waktu, tak ada uang.
Aku yang duduk di pojok KUA masih menangis. Seluruh keluarga berbahagia. Adik keponakanku tadi, memfoto mempelai dari depan. Keluarga lainnya berduyun-duyun mendekat saat kakakku mulai berikrar. Aku tak minat menyaksikannya. Mendengarnya saja, hatiku sedih. Alibiku, mungkin sekedar tak punya hape yang proper untuk mengabadikan momen itu. Tapi kenyataan jika aku akan kehilangan sosok kakak, semakin dekat.
Selama dia berpacaran dengan pacarnya itu, aku selalu jadi nomor dua. Kalau hal mendesak lainnya terjadi di keluarga perempuannya itu, aku bakal jadi nomor ke sekian bersama ibuk. Pacar pertama kakakku itu--sekaligus istrinya sekarang, merupakan anak pertama dan punya dua adik perempuan. Adik pertamanya teman SMPku. Dengan riwayat kisah SMP yang tidak menyenagkan, bisa dibayangkan bagaimana kecemburuan yang kurasakan?
Rasa kehilangan sosok kakak, pendamping, cinta kedua, muncul lewat pernikahan. Saat-saat aku berpikir seperti itu, bapak menenangkan jika aku masih punya beliau. Kakak iparku seorang yatim sejak SD. Ditinggal ibunya kerja di luar negeri dan hanya tinggal bersama nenek yang baru meninggal. Bapak maklum dengan pilihan kakakku. Mau tak mau, aku juga. Saat itu, kakak pertamaku masih di rumah kami. Masih ada yang mengantar jemput kerja kalau aku sif malam dan bapak sedang di luar kota. Kamar kakak, juga dipakai kakak pertamaku. Namun, tetap saja. Kakak pertamaku itu, bukan kakak yang tumbuh bersamaku di sini. Meski aku lebih nyaman jalan-jalan keluar bersama bapak, namun kakakku itu serupa laki-laki yang bisa kuandalkan. Aku tak perlu dekat dengan laki-laki manapun karena aku punya dia. Dan yah... hari itu kebanggaanku pergi.
Panjang ya ceritanya? Hahaha aku tak menduga sepanjang ini. Memang saat berkisah masa lalu, narasi yang muncul selalu panjang. Dan apa hubungannya dengan tiga? Aku rasa tidak ada jika mengacu ke apa yang sudah kutulis. Namun, rencana awalku bukan hanya itu. Tiga. Sepanjang ingatanku tadi, ada tiga akad yang kusaksikan.
Akad kedua yang kusaksikan berada di rumah, bukan KUA. Mempelai perempuannya kerabatku. Berumur setahun lebih tua--atau lebih, namun aku memanggilnya 'Bik' karena silsilah dalam keluarga kami. Dia seorang yatim sejak balita. Saat bapakku meninggal, dia mencoba menenangkanku dengan membandingkan dirinya dan diriku. Persetan! Aku turut berduka dengan keadaannya. Namun maaf, menandingkan kesengsaraan kami bukan hal yang benar.
Kesedihanku tak berkurang sedikit pun. Justru tangisku pecah karena turut membanding-bandingkan diriku dan dirinya dalam hati. "Mending kehilangan Bapak saat kecil, saat balita, agar tak ada kenangan yang bisa dikenang." Namun, aku tahu itu salah. Sangat. Aku hanya diam memendam kesal dan sedih yang semakin dalam.
Saat akad nikah kerabatku itu, tangis pecah di banyak orang, termasuk aku. Aku sendiri sudah berusaha sekuat mungkin menahan lelehan air dari mata. Namun, membayangkan jika diriku kelak sama dengan dirinya, tak ditemani bapak, membuatku tak bisa membendung kesedihan. Benar-benar sesak rasanya. Bikku itu bukan perempuan kalem atau yang dikenal berprilaku bagus. Justru sebaiknya. Sejak kecil dia dilabeli sebaliknya. Banyak orang tak suka dengan tingkahnya. Meski demikian, orang-orang bersimpati.
Peristiwa itu terjadi belum genap dua bulan setelah bapakku meninggal. Saat itu aku tak memikirkan siapa yang akan mendampingiku kelak sebagai wali. Apakah kakak pertamaku, atau kakak yang tinggal dan tumbuh bersamaku sejak kecil? Keduanya dan satu kakak laki-laki lainnya sama-sama anak kandung bapak. Namun, ibu kami berbeda. Ibukku tak sama dengan mereka bertiga. Aku tak tahu dan mencari tahu apakah mereka masih bisa menjadi waliku, dan mana yang lebih utama. Aku tak mampu mengandai saudara laki-laki bapak karena tinggal satu adik laki-lakinya yang masih hidup.
Ah, aku jadi ingat ada akad lain dari tiga akad yang kuceritakan di sini. Aku tak benar-benar menyaksikan dari awal. Jadi, pantas jika sebelumnya tak terbersit di ingatan. Saat sepupuku menikah, harusnya bapak yang jadi wali karena dia anak tertua. Adiknya, ayah sepupuku itu, meninggal secara mendadak tiga tahun sebelumnya. Saat itu, dia dan aku sama-sama baru lulus SMA. Aku sedang menunggu pengumuman SBMPTN saat bertakziah ke rumahnya, sedangkan dia... berduka.
Saat pernikahan sepupuku itu, ada kemungkinan bapak sengaja telat agar tak jadi wali. Entah, pikiran koyol yang terlintas begitu saja. Kami bersiap di rumah kakak pertama sejak subuh. Namun, rombongan keluargaku harus antri di satu kamar mandi. Belum lagi perjalanan yang lumayan jauh. Dari Jombang ke Kediri. Sampai di rumah sepupuku itu, adiknya yang masih SMP telah menemani kakaknya sebagai wali. Tangis pecah, namun aku hanya mendengarnya cerita itu dari tempat parkir bersama ketiga kakakku. Aku tidak membayangkan jika ketiga laki-laki itu kelak akan menggantikan posisi bapak.
Haish, kenapa bercerita tentang itu? Kembali ke akad Bikku tadi. Dia pingsan setelah mempelai prianya berhasil menyuarakan akad. Semua orang berduyun-duyun menopang lalu bubar karena pengantin pindah ke kamarnya. Setengah siuman, ia terisak. Ia rindu bapaknya. Ia ingin bapaknya melihat dia menikah. Ia ingin bapaknya ada di sana. Aku menjauh dari sana. Tak ingin terbelenggu kesedihan yang bagai bom waktu ini.
Berlanjut ke akad ketiga yang sangat jelas kusaksikan. Berlangsung beberapa hari yang lalu, di kediaman temanku. Rumah yang lebih dari sepuluh tahun tak kukunjungi. Seorang teman dari masa lalu, yang hidup di masa kemarin, dan memanggil di masa sekarang. Kisah lebih lanjutnya, bakal kulanjut di bagian selanjutnya saja ya. Sudah super-super panjang part ini. Sampai jumpa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar