Senin, 04 April 2022

De Javu: Sesuatu yang Nggak Enak Untuk Diulang

04/04/22

Pagi tadi, aku menulis catatan untuk Ramadan di Medium. Awalnya tidak berniat menggunakan bahasa Inggris. Namun, urung dan ya catatan singkat berisi kisah hari kemarin yang berjalan lancar selesai dalam waktu satu setengah jam. Tak ada yang spesial memang. Tapi, poin pada kisah itu adalah lancar. Satu hari berjalan dengan tanpa kesialan atau hal menyesakkan apapun. 

Setelah menuntaskannya, aku mulai melakukan aktivitas yang sudah lama tertunda. Skripsi. Menghubungi beberapa teman yang katanya mau ke kampus hari ini. Tak lupa, aku menghubungi dosen juga--hal yang sangat membuatku frustrasi. Aku juga mengirim DM ke Twitter Acer Indonesia. Sudah sebulan baterai laptopku bermasalah. Lampu indikator dan notif persentase-nya eror.Sambil menunggu balasan-balasan itu, aku mulai membaca-baca draft-ku. Tidak sedang berlagak rajin, tapi aku sudah di titik tak tahu harus melakukan apa. 

Satu dosen membalas. Menjawab panjang lebar menjelasanku dengan, "OK", seperti sebelumnya. Satunya lagi hanya membaca. MEMBACA! Harusnya aku tidak terkejut ya. Sudah pernah diperlakukan demikian, dan memang dosen itu terkenal begitu. Tapi, rasanya menakutkan. Sampai beberapa kali balasan dari Acer Indonesia muncul, dosen itu belum membalas. Aku yakin jika tak kuchat lagi, lagi, lagi, dan lagi, tak akan ada balasan. 

Selanjutnya, aku melakukan instruksi untuk berusaha memperbaiki indikator bateraiku. Hasilnya tak begitu bagus, namun lebih baik. Persentase baterai bisa turun meski lampu masih berkedip. Aku melanjutkan tulisanku sebelumnya. Namun, karena baterai semakin menipis, ketakutan muncul lagi. Dulu, di notebook lamaku, kejadian laptop tiba-tiba mati dan membuat garapanku hilang pernah terjadi. Aku takut hal demikian terulang. Lantas, sambil menunggu sore untuk bersiap masak, aku menonton variety show. 

Tak sampai dua jam aku menonton. Baterai laptop belum habis betul. Masih sekitar 30 lebih. Aku menyalakan Spotity sambil memilah seladah. Pai tadi, aku beli separuh yang ternyata masih banyak. Namun, warnanya sudah menguning. Sambil mengirim pesan ke tetangga-tetangga kos untuk iuran gas dan meminjam ayakan, lagu masih berputar. Hebat betul masih lebih dari 30 persen. Sampai ketika aku mencuci ayakan, laptop mati. Oh, segitu. 

Aku menyalakan laptopku lagi. Mendengarkan musik sambil mengayak tepung yang meski tak banyak namun karena ayakannya jebol, aku harus berhati-hati agar kotorannya tak ikut tersaring. Hampir satu jam aku mengayak tepung. Sambil sedikit kesal melihat semut-semut lewat di depan mata. Kesal karena tak menemukan kapur ajaibku. Kesal karena sebelumnya aku menumpahkan minyak. Kesal karena aku lupa dimana menaruh plastik-plastik kecil. Kesal karena menumpahkan teh di kasur. Kesal karena menyempar gelas berisi air yang ditinggalkan temanku. Kesal-kesal yang tak kuperlihatkan secara berlebih seperti biasa. Aku puasa. Aku sedang menahan.

Kekhawatiran yang menghantui berangsur berubah menjadi ketakutan telak. Saat tepung-tepung telah kuadon, ubi-ubi kupotong untuk siap dimasak kompor gas habis. Belum lagi, baterai laptop yang sudah satu jam kucharge tak menunjukkan kenaikan yang significant. Hanya 11 persen. Bahkan, setelah kucharge dengan keadaan mati selama satu jam lagi,hanya naik 2 persen. Sungguh membuatku gila. 

Aku punya banyak trauma dan ketakutan. Laptop yang tiba-tiba mati, dan hal-hal sial yang tak bisa dihindar. Aku mulai memikirkan kesialan yang kutimpa tahun lalu. Sama-sama saat puasa. Aku semakin takut. Kepalaku pusing. Badanku lemas. Pikiranku rancu ke mana-mana. Pekerjaan belum selesai. Minyak habis. Uang kubuat iuran. Sisa tepung masih berserak. Nasi masih jadi beras. Sampah-sampah belum kubuang. Belum mandi dan solat ashar. Aku haus sekali. Tapi, aku tak mau memecahkan uang 20k terakhirku. Aku segan beli es di tempat langganan dengan uang receh lagi. Aku juga takut mau ambil uang di ATM. Bagaimana... bagaimana jika kesialan itu muncul lagi? Kartu tertelan mesin ATM misal. 

Awalnya aku bingung dengan kesuraman yang kurasa. Kekesalan-kekesalan itu, mungkin benar adalah bentuk ketakutan. Aku tak yakin masakanku hari ini enak. Semua gagal. Ubi masih sisa, dan yang matang gosong dan keras. Aku tak menakar berapa banyak garam yang kutuang di sayur bening. Tak mempedulikan komposisi tomat, bawang, dan cabai untuk sambelku. Hingga kejutan lain muncul. Sabun cuci piring yang baru kubeli, yang tadinya ingin kubawa ke kamar tak jadi, tumpah ruang di lantai tempat cuci piring. Ini benar-benar menakutkan. De javu. Dulu, ceritanya mirip seperti ini.  

Persetan! Aku harus menghapus pikiran itu. Harus! Aku tak ingin berpikir negatif lagi. Tidak boleh. Dulu, dulu saat kejadian itu mendatangiku, awalnya ya begini. Aku cemas karena kakakku tak mengirim kabar. Tak ada kemungkinan positif yang kupikir sama sekali. Jangan-jangan... jangan-jangan... sampai akhirnya kesialan itu benar-benar menimpa. Lebih buruk dari apa yang kuperkirakan. Satu yang sangat kusyukuri, kakakku muncul dengan sehat walafiat--setidaknya fisiknya. Aku yakin mentalnya ikut bobrok. Hari itu, mimpi buruk terjadi lagi. Setelah kematian bapak, aku bisa meletakkan kejadian itu tepat di peringkat bawahnya. 

Sial. Aku tak boleh berpikir negatif. Tidak. Seperti kata ibu, semua baik-baik saja. Tak ada yang terulang. Ini hanya tanda jika aku bisa melewati masa itu--pun masa ini. Di tengah-tengan mencurahkan kepiluanku di sini tadi, ibu menelpon. Aku menceritakan segalanya. Semua ketakutan dan apa yang kualami hari ini. Hal-hal yang ingin kusampikan di sini, kuceritakan ke Ibuk terlebih dahulu. Tak kuasa, aku menangis. Ibuk sepertinya menahan juga. Untungnya, setelah itu aku tenang.

Aku mengurungkan niat membeli es atau kerupuk. Berpikir jika ini hanya kebetulan. Tak ada pengulangan kesialan, tidak. Dulu, karena takut sabun cuci piringku habis percuma dipakai orang-orang tak bertanggung jawab, maka kubawa ke kamar. Sialnya, aku tak sadar jika beberapa waktu kemudian ambruk dan membuat sebagian lantai kamarku penuh sabun. Jika dibandingkan saat ini, bukannya keterbalikan? Aku tidak membawa balik sabun itu. Mau dipakai silakan, tidak juga tidak apa-apa. Namun, saat kulihat itu tumpah ruah sedang orang lain yang terakhir menggunakannya rasanya impas. Maksudku, iya aku rugi. Namun, ini bukan salahku. Misal disebut sial, ya mau bagaimana lagi? Mungkin orang itu ceroboh, tapi aku yakin dia tidak sengaja. 

Adzan bunyi. Tapi, itu dari ponsel bapak kos. Masjid belum 

Aku melanjutkan pekerjaanku memasak selada. Memutar-mutar sayuran hijau itu di dalam panci. Aromanya khasnya amat kusuka. Namun, hatiku masih kelabu. Aku lelah. Aku ingin pulang. Namun, apakah di rumah semua akan berbeda? Apakah bateraiku tiba-tiba normal? Apakah kejadian gas habis di waktu sahur, seperti kejadian tahun lalu di sini tak terulang di rumah? Apakah magic com yang tiba-tiba rusak bisa hidup lagi? Apakah aku akan menjadi kaya jika di rumah? Tidak. 

Mungkin aku akan merasa sedikit tenang dengan keberadaan ibuk dan keluarga lain. Namun, bagaimana dengan privasiku? Pribadiku? Keperluanku? Aku tak bisa bebas melakukan kerja-kerjaku di rumah. Tidak dengan tulisan-tulisan maupun skripsi. 

Aku berpikir untuk mereset baterai laptop lagi. Kalau sampai masih seperti tadi, aku menyerah. Tak berencana membawa ke tukang servis karena tak ada pegangan uang. Hanya akan menggunakan seadanya. Itu saja. Akhirnya, kutemui laptop ini tak lagi kekurangan baterai. Meski aku tak yakin sudah normal atau sekedar bisa, setidaknya aku kembali tenang. Baterai penuh dengan bar notifikasi yang berangsur turun. 

Semut-semut semakin banyak bermunculan. Kini mengerubungi magic com milik temanku yang kupinjam untuk jangka panjang. Memang kapur ajaib belum ketemu, tapi aku memindahkan magic com itu ke luar. Aku yakin nanti akan hilang juga, Sisa sabun cuci piringku sudah kuamankan. Aku tak jadi menegur tetangga kos yang tadi menumpahkannya. Tak apa minyak habis, toh itu hadiah dan sudah dari lama kusimpan. Aku sudah minum air putih--minuman favoritku, dan ini cukup. Kalau-kalau nanti pengen banget jajan, ya nggak apa-apa ambil uang. Selama ini nggak pernah bermasalah di mesin ATM terdekat itu. Pun, jika kejadian mengerikan itu terjadi, aku masih punya kontak teman-teman yang bisa dimintai tolong. Entah seperti apa nanti. 

Aku tak jadi ingin pulang. Bukan karena takut kesialan di jalan seperti yang dulu. Lebih karena ingin menuntaskan sesuatu terlebih dahulu. Ah, panjang sekali. Sekarang aku sedikit lega. Pikiran terpositifku hari ini sekedar, "Mungkin aku lapar," dan yah, meski sekarang belum makan, aku sudah jauh lebih tenang.

Seperti menulis di buku diary. Kisah hari ini, tak ada yang harus kututupi. Namun, sepertinya terlalu 'diary' untuk dibagi. Entahlah, aku lama tidak bermain intim dengan tulisan. Kebanyakan yang kusalurkan di sini, meski sesuai kehendak hati, tetap kufilter. Kali ini tidak. Namun, justru ini yang membuatku senang. Selamat malam, selamat malam ramadan, dan selamat makan. Terima kasih untuk kalian semua, juga diriku sendiri. 

 Oh, btw barusan kucoba. Masakanku enak semua.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar