Aku pernah dikado kenangan. Hadiah ulang tahun yang nggak akan pernah kulupa. Seumur hidup, untuk pertama kalinya diberi kejutan oleh teman-teman. Iya, teman. Teman rasa keluarga.
Sepertinya aku pernah berkisah tentang ini, di salah satu cerita yang kutulis untuk merayakan ulang tahunku. Saat itu, aku cukup senang dengan kenangan yang kupunya. Momen membahagiakan menginjak umur 20.
Berawal di hari Senin, hari ulang tahunku. Seperti biasa aku membuat jejak digital yang harusnya kupahami sendiri. Membuat beragam kata-kata ambigu yang kusebar di berbagai mediaku. Instagram, Facebook, dan WhatsApp. Jujur saja, aku ingin ada teman yang mengucapkan selamat padaku. Namun, aku tak berharap besar. Teman-teman tak ada yang tahu aku ulang tahun hari itu.
Senin terasa semakin berat. Setelah malamnya aku dan beberapa teman pulang pelatihan jurnalistik, beberapa matkul hari itu sangat menguras emosi. Bukan, bukan dosen yang bermasalah. Saat itu teman kelompok yang dari sirkel sosialita berulah. Aku dibuat geram olehnya. Hariku terasa menyedihkan. Ya, meski tanda mediaku masih penuh dengan tawa.
Keesokan harinya seperti biasa. Selepas jam ketiga kuliah, teman-teman bilang akan mampir ke tempatku. Kosan hijauku itu memang biasa jadi tempat kami melepas penat di jam-jam sela kuliah, base camp. Tapi, tumben sekali mereka kompak mau ke sana. Padahal biasanya aku yang menawari terlebih dahulu. Siang yang terik membuat mereka kewalahan. Salah satu teman berkata jika ingin beli es batu di dekat kosan dan berencana membuat es teh. Ide bagus.
Personil kami tak lengkap saat itu. Seingatku Fikoh dan seorang lain yang pamit beli es batu. Lalu, aku, Vera, dan entah siapa satu orang lainnya duluan ke kos. Tak ada yang aneh, tak ada yang ganjil. Biasanya ya begini. Sampai tiba-tiba mataku menangkap ramai di depan gerbang. Aku menduga-duga itu mereka yang beli es batu tadi. Tapi, sepatu biru yang kelihatan dari bawah gerbang, sepertinya itu Rosie. Dia tak ikut kami hari ini. Suara-suara gaduh semakin muncul. Aku... Sial, aku lupa bagaimana kelanjutannya.
Yang ada di ingatanku selanjutnya adalah gambaran Defi membawa sepiring besar tumpukan pisang goreng. Di atasnya, ada lilin putih polos berapi. Untuk sesaat aku tak paham apa yang sedang terjadi. Hingga lagu Selamat Ulang Tahun dinyanyikan. Ya Tuhan, ini kejutan? Aku mungkin tertawa saat itu, mungkin tersenyum, atau mungkin menangis. Yang jelas terharu. Mereka tahu tanggal lahirku yang jauh beda dengan di KTP saja, adalah sebuah hal membahagiakan.
Defi bilang ia tak mendapatkan lilin ukuran normal, jadi seadanya. Lantas aku mengeluarkan segepok lilin kecil dari lemari. Kalau mereka bilang kan bisa kukasih, wkwk. Semua temanku ada di sana. Seingatku begitu. Mungkin, hanya Anisa yang tak hadir. Aku lupa detailnya, tapi tak teringat ada sosoknya di adegan manapun.
Acara selanjutnya, dengan pisang goreng yang masih utuh, tentu berfoto. Aku yang masih mengenakan kaos oblong dan celana boxer hijau dipaksa buru-buru ganti. Tapi, namanya juga alit, hanya bajuku saja yang berganti. Bawahan tidak. Mereka yang menyarankanku untuk memakai jilbab juga kuturuti. Awalnya kupikir foto setengah badan. Setelah melihat hasilnya, kebanyakan adalah fotoku dengan baju panjang, jilbab, dan celana pendek. Menyebalkan--juga menyenangkan.
Sudah terlanjur malas ganti, aku hanya menutupi celana itu dengan rok. Teman-teman senang melihatku demikian. Mengenakan rok layaknya perempuan pada standar tertentu. Sebagai rasa terima kasih, aku berjanji pada mereka akan mengenakan rok di kelas Sosiologi malam nanti. Rasa maluku mungkin akan sedikit berkurang karena intensitas bertemu orang di malam hari semakin kecil. Dan tentu saja gelap. Lagi pula di kelas itu kami akan bertemu lagi. Dari kami berdelapan, hanya Fikoh satu-satunya yang tak ada kelas nanti malam. Aku agak sedih sih. Dia teman dekatku dari SMA. Dan menurut teman-teman, Fikoh yang mengatakan jika aku ulang tahun bulan ini. Karena dia sendiri tak yakin, teman-teman yang lain mencari tahu lewat jejak mediaku. Namanya juga anak sastra, keambiguitasku dianalisis. Jadilah, mereka menemukan makna tersembunyi yang kuselubungkan.
Malam harinya di kampus, aku menepati janji, mengenakan rok. Itu kali pertamaku selain ospek tentu saja. Sayangnya Fikoh tak menyaksikannya. Meski dia telah melihatku memakai rok selama 3 tahun di SMA momen seperti itu akan sangat langka di kampus. Kelas selesai dengan canda teman-teman tentang rokku. Tumben, tumben, dan tumben. Tak hanya dari mereka-mereka yang dekat, beberapa yang lain juga berkomentar. Aku hanya haha hihi seperti biasa.
Tiba-tiba salah satu teman mengajakku ke belakang, ke sekretariat. Dia ada perlu dengan anak-anak di belakang. Dua dari sirkelku akan diklat mapala, seperti aku dan tiga lainnya yang ikut pelatihan jurnalistik kemarin. Kalo dipikir-pikir, kami aktif juga ya. Dua yang lain, sisanya, ikut UKM seni univ dan UKM Reog univ.
Aku berjalan ke bagian belakang kampus yang gelap. Saat itu, kami masih tak paham dengan seluk beluk kampus. Meski jalanan di daerah kantin gelap gulita, teras ruang-ruang sekretariat ramai. Anak-anak UKM seni sedang latihan teater di depan ruangnya. Lainnya, entah apa kegiatan mereka, juga sibuk. Dari salah satu sudut kantin yang gelap, pendar kecil terlihat. Bulatan-bulatan cahaya serupa lilin--yang memang lilin, terlihat. Seseorang di kegelapan muncul dengan sekotak roti warna-warni. Di titik itu, aku menangis.
Sesosok perempuan yang kata orang mirip denganku, Fikoh. Dia dan entah bagaimana bisa, memperisapkan hal yang akan kukenang seumur hidup. Mungkin kalian-kalian yang tidak tahu seperti apa temanku itu, akan berpikir jika aku berlebihan. Kurang perhatian dan apalah-apalah. Tapi, aku tahu betul karakter temanku itu. Dia tahu dan INGAT bulan lahirku saja sudah merupakan hal mengejutkan. Jadi, wajar sekali jika aku akan merayakan kejutan yang dibuatnya seumur hidup. Serius, Fikoh bukan orang yang biasa berbuat demikian.
Agaknya tak ada yang abadi selain kenangan. Meski demikian, kenangan itu tak selamanya baik untuk dikenang. Maksudku begini, cukupkah kita mengingat masa itu tanpa ada di masa sekarang? Masa dimana semua sudah berubah? Mereka sekarang dimana? Mereka sekarang apa kabar? Mereka apakah juga rindu? Apakah, apakah masalah di antara kami, satu dan satu yang lain, sudah tuntas? Apakah berkas kebahagiaan masa lalu mengikis luka yang seiring berjalannya waktu terus tumbuh sudah sembuh? Tanpa sadar saling melukai. Maaf yang bahkan terlambat, sepertinya tak akan terjadi. Aku yakin kami baik-baik saja. Sayangnya, kami tak lagi bersama-sama.
Kami terluka. Luka yang membuat kenangan indah itu mulai memudar. Berganti ingatan-ingatan lain yang menyesakkan. Dinamika pertemanan memang jangan datar-datar saja. Tapi, terlalu naik turun juga berakibat jatuh ke jurang juga. Aku, dengan kecacatan ingatanku, mungkin bisa memaklumi, alih-alih memaafkan. Namun, sebagian yang lain, yang punya kekelaman tersendiri antara satu sama lain mungkin masih menyimpan duka. Andai kami hanya jadi kupu-kupu kampus, apakah kenangan itu bisa tertuai jadi bunga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar