Sabtu, 16 April 2022

Saat Terik Masih Jadi Milikku

Hari-hari di awal masuk sekolah menengah pertama, kuhabiskan dengan mendengungkan lagu Aishiteru milik Zivilia. Buku harian polos bersampul kuning yang kuberikan ke temanku, serta buku harian milik temanku yang sama-sama masih terisi sedikit, selalu terbayang. Kami pernah menukarkan buku harian kami sebelum hari perpisahan tiba. Aku menemukan lagu lirik lagu Aishiteru di salah satu lembar buku harian temanku. Lantas, kala buku kuningku kembali, kusalin lirik tersebut. 

Perlahan, harmoni lagu terdengar. Pelan, suara Zul sang vokalis terdengar. Aku tak pernah melewatkan acara musik yang menampilkan Zivilia. Bahkan, meski hanya sepintas saja, kutunggui lagu itu sampai habis. Aku sedikit hapal liriknya. Ya, kecuali lirik bahasa Jepang yang dilantunkan seorang perempuan di bagian akhir. 

Aku yang tak bersemangat hanya mencorat-coret meja. Kelas sangat gaduh. Wajar saja, aku masuk kelas A, kelas VIIA. Kelas ini isinya anak-anak badung. Murid-murid dengan nilai danem paling jelek. Murid-murid yang ada di garis terakhir daftar masuk SMP. Murid-murid yang hampir tak bisa sekolah di SMP Negeri. Ya, aku ada di kelas itu. Aku adalah salah satu dari mereka. 

Bodoh. Kebodohan yang kulakukan di UN-ku berimbas sangat berat. Jangankan masuk ke SMP favorit, bisa masuk ke SMP Negeri terdekat dari rumah saja susah. Aku ada di atas dua garis merah. Nyaris sekolah di sekolah swasta. Seperti kakakku. Untung saja nilai rapor dapat menolong.

Candra, dan Riska, teman SD yang saling berkejaran rangking 3 denganku, masuk ke kelas E. Kelas yang katanya berisi anak-anak pintar. E kadang diplesetkan menjadi eksklusif. Persetan dengan kelas E. Aku benci pengelompokkan itu. Bahkan, Angga, temanku yang agak bangor, masih bisa bersama Candra dan Riska. Devi, teman yang tidak begitu menonjol di pelajaran masuk kelas C. Mereka semua berada di atasku, jauh. Jujur saja, keirianku terhadap nilai mereka tak sebanding dengan rasa inginku bersama mereka. Aku ingin bersama-sama mereka. Berada di kelas manapun, asal bersama mereka. Aku rindu teman-teman SD-ku. Aku rindu mereka. Aku rindu Pita. Aku rindu Ellen, Nisma, dan semuanya. Apakah mereka juga demikian?

Pita. Kini, aku mengukir namanya di meja. Teman jangkung yang selalu mengepang dua rambutnya dengan pita. Aturan di SMP yang mengharuskan rambut dikuncir dua selalu mengingatkanku padanya. Style itu, bisa jadi zona nyaman Pita di SMP-nya sekarang. Ah, nomor Pita di ponsel ibuk sudah tidak aktif. Harusnya kalau mengganti nomor, bilang-bilang dong. Aku kan jadi sedih. Pita adalah teman yang mengenalkanku pada lagu Zivilia. 

Suara bel terdengar. Aku tak tahu jam ke berapa sekarang, yang jelas pelajaran Matematika selalu menyenangkan. Beberapa menit kemudian, gerombolan anak laki-laki masuk. Tumben sekali mereka masuk sebelum guru. Kelas semakin bertambah bising. Kawanan anak laki-laki itu kusebut bocah selatan. Rumah mereka berada di daerah selatan. Si yang paling gendut namanya Geri, si yang paling tinggi namanya Dedi, si yang paling nakal namanya Heri. Aku menyebut Heri paling nakal bukan karena dua lainnya tidak, hanya saja Heri sangat-sangat nakal. Dari 1-100, jika peringkat nakal Geri 78 dan Dedi 95, maka Heri bisa sampai 300. Sebegitu nakalnya dia. 

Dari Trio I (Heri, Dedi, Geri), yang sangat kuingat adalah Dedi. Saat itu, dia masuk dengan menyerotkan sepatu kotornya di kursiku. Aku berteriak kepadanya. Dia membalas dengan bentakan sambil berlalu. Duduk di depan menyebalkan. Apalagi di sisi jalan menuju bangku anak nakal-nakal itu. Lumpur tanah mengotori kursiku. Ah, lagi-lagi kelas ini menyebalkan. Meski tidak hujan, karena kelasku berada di paling ujung dan dekat gumuk, tanahnya selalu basah. Belum lagi jika hujan sampah di pojok gumuk turun dan aromanya sangat mengganggu. 

Eka, teman sebangkuku mengomentari kelakuan Dedi. Ya, hanya mengomel sendiri. Sedari tadi dia asyik mengobrol dengan teman-teman yang duduk di belakang. Stefani, Luky, atau siapa ya? Entahlah, yang jelas di sisi kananku, seberang jalan yang dilewati bocah selatan tadi ada Tansa dan Eldie. Belakangnya lagi ada Faan, Dwiki, Wildan, dan siapa lagi ya? Yang jelas belakangnya lagi ya para bocah selatan. Ah, ingatanku tentang perbangkuan lumayan ya. Kesemua yang kusebutkan tadi, laki-laki. Bangku deret kanan, dipenuhi laki-laki. 

Suatu saat, entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja Kholif memintaku beralih duduk denganku. Aku diminta duduk di deret nomer tiga dari kanan. Tepatnya di bangku baris ketiga, bersama Eka. Bukan, Eka yang ini, Eka Briyani. Nama depannya Briyani, tapi katanya biasa dipanggil Eka juga. Aku sendiri lebih sering memanggilnya Bri atau Brin. Brin bukan karena rambutnya yang brintik ya, hanya lebih singkat dari Briyani. Dan entah karena apa, mau-mau saja aku pindah. Padahal di tempat sebelumnya, tak begitu buruk. Ada Tansa yang bisa sedikit banyak kutanyai perkara pelajaran. Otaknya lebih encer dari teman-teman yang lain di sana. Dan sepertinya, alasan Kholif memintaku pindah karena ia ingin duduk di tempatku, tempat yang bersebelahan dengan Tansa. 

Aku menyayangkan Eka yang tidak menahan kepindahanku. Bagaimanapun, dia satu-satunya orang yang kukenal di sini. Eka, anak teman bapak. Aku ingat pernah bertemu dia saat Galungan ke rumahnya. Jadi, karena itu aku memutuskan duduk bersamanya. Setelahnya, saat sudah pindah tempat duduk, mau tak mau aku berkenalan dengan Eka satunya, Briyani Eka. Awalnya aku tak begitu suka dengan dia. Pasti ada alasan kan, kenapa sampai seseorang yang duduk bersamanya pindah? Namun, lama kelamaan, aku cocok-cocok saja berteman dengan dia. Kholif saja yang gatel (Astaga!). Briyani adalah teman yang cukup pintar. Aku bisa bilang, dia mungkin sedikit lebih di atasku. Dan satu hal yang sangat membuatku selalu menjadikannya spesial, dia lahir tepat sehari sebelum aku. Kami, sama-sama Aries. 

Hari-hari berjalan dengan menyenangkan. Aku tak begitu memikirkan Pita. Masalah ekonomi yang diderita keluargarku saat itu, tak lagi mengganggu. Aku sudah bisa beli buku tulis baru saat duduk bersama Briyani. Guru Matematika yang ternyata tetangga suami kakak sepupuku, sudah sangat mengenalku. Tak memalukan, ajaran dari kakak sepupuku yang lain perlara aljabar dan sebagainya, membuat aku semakin menonjol di Matematika. Aku dan Briyani bagai rival. Selalu menjadi yang maju ke depan untuk mengerjakan. Namun, kami tak pernah bertengkar. Ya, kalau ketika Briyani sedang tidak mood dan tiba-tiba kesal kepadaku sih, sering. Silent treatment yang baru kusadari itu. Dulu aku biasa saja karena sudah biasa menghadapi bapak yang tempramental. Jadi, Briyani bukan apa-apa. 

Lain deret kanan, lain deret kiri. Di bangku seberangku ada Arif dan Kadek. Di depannya Yoga dan Riky. Keempat laki-laki itu, selanjutnya akan menjadi teman dekatku. Aku sering mengobrol bersama mereka, terlebih bersama Arif. Bocah laki-laki itu tingginya tak lebih dariku. Dia, tak senakal yang lain. Namun jika sudah perang dasi, dia akan mengejar sampai terbalaskan pecutan. Kadek, teman yang lucu. Dia berbadan kurus. Tak begitu tinggi, namun lebih tinggi dari Arif dan Riky. Dia agak pendiam. Namun, sekalinya berbicara, asal sekali. Tipikal yang ceplas-ceplos. Yoga biasa kami panggil Ndas Pacul. Tingginya sepertinya sedikit lebih dari Kadek. Namun, itu mungkin berkat rambut jabriknya. Rambut lurus yang mengembang. Ternyata panggilan Ndas Pacul itu bertahan sampai kuliah kelak. Sebenarnya ada julukan untuk tiap orang. Namun, yang sangat kuingat hanya Ndas Pacul. Dan Riky adalah sumber sebutan-sebutan itu. Julukan untukku, banyak dan beragam. Tentu saja jelek dan menjijikkan. Untung saja aku sudah lupa. 

Keempat laki-laki itu, selain suka mengajak ngobrol, juga suka menyontek. Ya, kadang aku juga menyontek mereka sih. Simbiosislah. Paling benci kalau teman-teman di belakang mereka ikut-ikutan. Saiful dan Setyadi, semacam bocah selatan versi Tampo (sebuah desa di kecamatan sebelah). Belakangnya lagi, tempat duduk yang sering kosong. Andis dan harusnya Heri. Andis teman yang rumahnya ternyata tak jauh dari rumahku. Dan Heri, si anak paling nakal yang hampir tak pernah masuk sekolah. Aku bahkan tak ingat di mana tempat duduknya sebenarnya. Kalau anak-anak nakal di belakang itu sudah mendekati Arif, dia mau tak mau menyerahkan bukunya. Saat-saat itulah saat yang menyebalkan. Tak mau ikut mikir sama sekali. Boro-boro sih, aku yakin mereka tak mendengarkan penjelasan dari guru. 

Selain mereka, aku punya teman dekat lain. Perempuan. Namanya Lucita. Dia anak polisi. Kalau di kelasku ada Vita yang terkenal di seantero sekolah (bahkan sekolah lain), kepopuleran Lucita ini kira-kira ada di bawah Vita. Dia duduk di seberang Briyani bersama Vita. Entah kenapa kami dekat. Sepertinya karena kami sering ke kantin bareng, bersama Briyani juga. Aku tak ingat jajan mereka, tapi tentu ingat jajanku. Minumnya, kalau tak teh hijau, ya frenta. Jajannya apa ya? Pokoknya, total tak lebih dari dua ribu. Kalau pas ada lebih ya beli pentol. Ah, benar-benar finansialku jeblok sekali. Uang jajan SD-ku bahkan dua-tiga kali lebih banyak dari saat SMP. 

Lucita ini yang mengenalkanku dengan dunia K-pop. Setelah menerima hadiah ranking 2 berupa ponsel bekas dari suami atasan bapak (kelak jadi kepsek SMA-ku yang problematik), Lucita mengirimkan berbagai lagu K-pop lewat bluetooth. Saat-saat itulah, aku baru tahu kalau sinema Asia yang selalu kutonton di TV setiap sore berasal dari Korea. Serius, aku sudah sangat menggilai drama-drama itu sebelum tahu asal muasalnya. Karena sering bergaul denganku, Lucita juga lumayan dekat dengan Arif cs. Dan tentu saja dia mendapat julukan juga dari Riky, meski aku lupa apa itu. Lucita juga sering kena pecut dasi anak-anak, namun ia tak bisa membalas pecutan seperti diriku. Ya, bagaimana ya? Sebagai adik yang sering dipecut sarung Mas, aku tentu bisa melawan. Mungkin kakak Lucita tak senakal kakakku. (Oh ya, kakak Lucita kelak jadi seniorku di marching SMA).

Selain kebersamaan dengan teman-teman, ada satu hal yang sedikit membuatku bahagia. Pada waktu itu, SMS jadi alat komunikasi alternatif yang bisa diakses semua anak. Sering ada satu broadcast kata-kata mutiara atau template tertentu. Di salah satu template yang berisi semacam, "Meski kamu tak sepintar A, tak setampan B, tak sekaya C, tak sebaik D,..." Dan kalian tahu namaku ada di mana? Ada di 'tak secanti Alit'. Jujur saja, saat itu rasanya lebih seperti ejekan. Bagaimana bisa aku disebut cantik, alih-alih pintar? Ya Tuhan, aku dulu sangat amat jelek. Jauh lebih jelek dari saat SMA. Dan, jika kuingat hanya cemooh yang kudapat dari teman-teman sebelumnya. Si pengide template itu sepertinya terlalu baik. Atau tak tahu saja menempatkanku di bagian mana. Jadi, pikiran semacam, 'semua perempuan kan cantik' pasti muncul. Meski sampai saat ini aku tak tahu orangnya. 

Hal menyenangkan lain di kelas itu? Keberadaan Tansa? Hahaha tidak. Aku si denial ini pernah mengira Tansa suka aku. Tapi, logikaku sudah berani menolak. Aku sudah tahu diri rupanya. Tansa, meski tak sepopuler Faan, dia tak kalah keren. Hanya tinggi badannya saja yang jauh. Nyatanya kelak akan ada masa dimana dia diperebutkan oleh perempuan-perempuan termasuk Kholif. Oh dan tentang Tansa, alasanku berpikir demikian adalah karena ketika aku pindah dia juga ikut pindah. Tansa sering mengambil tempat Kadek. Jadi, dia mengalah pindah ke tempatnya bersama Eldie. Tak jarang juga Eldie yang tiba-tiba mengambil tempat Kadek. Namun, sulit untuk dipungkuri kalau aku jadi lebih sering memperhatikan Tansa. Tak hanya di tempat Kadek, kadang dia duduk di tempat Uut atau Risky, dua baris di belakangku. Entah kenapa, aku pernah sedikit berpikir demikian. Hanya sekilas dan semua berlalu bergitu saja. Kegeeranku sebatas pada pikiran yang baru kutelurkan sekarang. Baik Tansa dan Eldie, keduanya tak lepas dari permainan pecut dasi. Mereka juga koloni dalam bermain, meski tak serutin empat laki-laki lainnya. 

Aku tak menyangka masa menyenagkanku di SMP hanya sebatas itu. Selanjutnya, hal yang dalam hati kudengungkan, menjadi nyata. Sebersit keinginan untuk bisa sekelas dengan teman-teman SD, terjawab dengan masuknya aku ke kelas E. Lebih tepatnya VIIIE. Kelas eksklusif yang benar-benar eksklusif. Kelas berisi anak-anak pilihan yang benar-benar pintar. Dan aku membenci kelas itu. Tak ada Candra atau Angga, alih-alih Riska. Aku tak begitu dekat dengan dia. Dan lingkar pertemanan di kelas eksklusif itu semakin membuat renggang hubunganku dan Riska. Padahal dia duduk tepat di depanku. Aku yakin Candra dan Angga pun sudah berbeda--ya jika tidak harusnya mereka juga bisa masuk kelas E juga dong.

Ah, masa-masa di kelas delapan itu sudah banyak kuceritakan di kisah-kisah sebelumnya. Saat itu, saat yang redup. Duniaku saat keluar menuju sekolah hanyalah gelap. Terikku sudah hilang. Teman-teman yang menyenangkan tak lagi ada. Briyani, satu-satunya yang bersamaku di kelas itu, tak jarang melukai. Aku bertumpu pada duniaku sendiri. Buku, dan obrolan tentang Korea sedikit menghibur. Namun, tetap saja itu semu. Aku kehilangan dunia yang sesungguhnya. Terik tak lagi milikku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar