Rabu, 26 Oktober 2022

THROWBACK 9

Selasa, 3 September 2019: penyakitku ketika sedang jatuh cinta cuma satu, sulit mengaku.

Is love just a feeling? GAK TAHU! Begitulah kira-kira jawabanku saat itu. Perkara hati, tak ada yang bertanya secara langsung kepadaku selain akun Twiter Vice Indonesia. Cuitannya, kemarin lewat berandaku. Aku jadi ikut berpikir. Apakah cinta hanya sekedar perasaan?

Pagi tadi, aku masih sempat begadang. Bukan sengaja. Seperti biasa, memang tidak bisa tidur. Tidak memaksakan diri untuk tidur. Berdebat dengan pikiran yang selalu perang dengan perasaan. Rasanya ingin sekali menangis, tapi aku tak tahu penyebabnya. Rasanya, rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang tak jelas benar atau salah. Sesuatu yang aku sendiri tak tahu, apa itu. Aku tak bisa berandai apa-apa.

Satu demi satu pertanyaan muncul. Apakah deg-degan adalah satu-satunya tanda jatuh cinta? Aku bertanya pada salah satu teman. Ia laki-laki. Kali ini, sepertinya aku perlu perspektif lain. Sudah sering aku membahas masalah perasaan dengan seluruh teman perempuanku. Dan aku masih belum tercerahkan. Jadi, aku bertanya pada teman yang satu itu. Meski dia sering tidak sengaja membocorkan suatu hal yang harusnya tidak ia katakan, dia teman mengobrol yang cukup baik.

Singkat. Pertanyaanku hanya mengenai, tanda jatuh cinta. Apakah orang yang membuat berdegup, ataukah orang yang membuat kepikiran. Setelah memutar-mutar jawaban, tanpa tanya pada siapa aku sedang—mungkin—jatuh cinta, jawabannya adalah orang yang membuat jantungku berdegup. Aku kembali berpikir, apakah benar jika debaranku selama ini adalah pertanda jatuh cinta? Dia? Hanya ke dia seorang? Aku ingin mempercayai kata-kata temanku itu, tapi pikiranku masih tak sepakat. Ya, aku masih memikirkan sosok yang membuatku kepikiran, tapi tidak ada debaran.

Hal itu, kurasa aku pernah merasakannya. Tapi, aku tak yakin jika itu cinta. Tentu sih ya. Cinta bukan agama yang perlu diyakini—sepertinya. 

Tentu atau masih seperti, nih? 

Ah, ini nih. Pikiranku selalu melawan hati dengan logika bodoh yang selalu saja punya jawaban. Debar jantung yang akhir-akhir ini sering kurasa mungkin karena stres. Apalagi, tentang organisasi. Dan mungkin juga karena kekosongan hati—yang sedang bingung dengan suatu hal, jadi debar itu adalah bentuk pelepasan. Jadi, sepertinya itu debar yang wajar.

Ah, lelah berpikir, lelah merasa, lelah mencerna. Aku harus apa? Harus bagaimana? Dan mengapa? Melihat teman-teman yang sibuk berbisnis, berorganisasi, berkarya, kuliah sungguh-sungguh, ngebucin dengan pasangan mereka, rasanya aku ingin terbenam saja. Serius, sebenarnya aku tak ada niatan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Poin terakhir itu adalah bentuk tekanan batin yang entah kenapa mengganggu pikiran. Cinta? Aku ingin tidak peduli.

Minggu, 23 Oktober 2022

SETELAH DATANG DAN SEBELUM PERGI, MEREKA PERNAH MENETAP

Setelah datang dan sebelum pergi, mereka pernah menetap. 

Ada di lingkar terdekat dan selalu jadi penyemangat. Tanpa mereka tahu saja, keberadaan mereka sangat mempengaruhi hidupku. Tak ada satu pun orang di sekitarku yang tidak berpengaruh. Mereka ada dan selalu ada. Karena setelah datang dan sebelum pergi, mereka pernah menetap.

Hidup bersama tanpa sekat. Berbagi segalanya seperti tak akan berpisah saja. Padahal siapa sih yang tidak sadar jika di setiap pertemuan akan ada perpisahan? Aku si paling susah move on saja, sadar. Kita, siapapun kita, tak akan bisa bersama selamanya. Akan selalu ada kekosongan. Pergantian demi pergantian menunggu henti. Ada. Mereka ada pada sela. Bahkan, mereka selalu ada tanpa mereka duga. Dan apakah aku pernah menetap di kehidupan mereka juga? 

Aku lelah dengan pikiran-pikiran yang menganggu ini. Mereka yang silih berganti, lama kelamaan jadi menyesakkan. Aku ingin berkata, jika datang, datang saja, jangan pergi. Menetaplah di sini. Tapi, ujung perpisahan yang entah apa kelak turut menghantui. Karena aku yakin, ini pasti akan berakhir. Kisah hidupku yang sudah berliku ini, kuyakin masih panjang. Aku sudah lelah dengan pikiran ini. Aku sudah capek dengan kecemasan ini. Aku sudah tidak mau memikirkan narasi-narasi ambigu. Tapi, aku tidak tahu kudu bagaimana. Karena aku tidak punya daya untuk mengendalikan situasi. Mereka yang datang dan pergi itu, tidaklah salah. Aku pun juga tidak. Namun, aku lelah menghadapi itu. Aku senang. Sangat senang. Namun, aku si manja ini, kudu membayar mahal untuk pilihan-pilihan bodoh tak bertuan. Aku harus mengeraskan hati untuk meneruskan hidup. Seperti hari-hariku dulu yang keras, tidak bisakah aku kembali seperti itu lagi? Menguatkan hati dan sesak? Mereka-mereka itu hanya datang untuk pergi. Hanya pernah menetap, bukan benar-benar menetap. Jadi, singkirkan fatamorgana kesenangan yang akan lekas lebur seiring waktu berlalu. Kesengsaraan tak berujung yang menyesakkan. Jangan jatuh di lubang yang sama lagi. Cerita hidupku sudah terlampau banyak untuk ditulis. Mereka yang pernah menetap itu, juga sudah punya bagian masing-masing. Cukup, cukup. Tangismu tak penting bagi mereka yang hanya pernah saja. Cukup cukup. Cukup. Seperti halnya kamu mendoakan mereka untuk terus bahagia, agar jangan sampai seperti dirimu yang sangat sial, kamu juga harus mendoakan dirimu sendiri. Ya, silakan berpikir doa apa yang akan kau ucap karena sulit sekali memohon pada Yang Maha Kuasa untuk diriku yang... seperti ini. Aku tidak tahu. Kenapa mereka jahat sekali? Tidak. Kenapa diriku mudah sekali tersakiti? Kenapa aku harus melalui ini? Kenapa aku terus menerus seperti ini? Kenapa aku? Kenapa harus aku? Jangan. Jangan dijawab motivasi konyol yang tak lebih dari omong kosong. Aku lelah mendengar pun mengatakannya. Aku tidak mau memikirkan jawabannya juga. Aku tidak mau memikirkannya. Aku lelah. Meski ada jawaban yang tepat sekalipun, apa gunanya? Apa? Apa? Hidupku tetap begini-begini saja. Mungkin aku pernah berlaku jahat kepada orang lain. Entah aku menetap atau hanya sekedar lewat untuk mereka. Tapi, yang harus ditahu, tak ada sedikit pun niat seperti itu. Aku hanya... aku... entah...

Sekarang ini, aku akan berusaha mengabulkan permintaan seorang teman. Satu itu saja.


Kamis, 20 Oktober 2022

Tipu-Tipu-Tipu

Kebiasaan baru yang sempat kulakukan sejak tiga bulan yang lalu adalah menulis mimpi. Tidak semua. Hanya yang ingin-ingin saja. Tidak juga membiasakannya terus menerus, takut ketergantungan. Apalagi mimpi kan fatamorgana ya. 

Karena bingung mau ngapain--padahal banyak yang musti dilakuin, aku memilih baca mimpi-mimpi yang udah kutulis itu. Rumit dan tidak jelas. Ya, kan, biasanya ditulis mendadak baru bangun. Konon, mimpi akan hilang dari ingatan setelah 3 menit. Untungnya, di beberapa kasus, ingatan tentang mimpi di kepalaku bisa bertahan lama. Bahkan pernah dua-tiga hari. 

Hingga, sampailah aku ke salah satu mimpi yang bikin nangis. Kisah mimpi yang pernah kutulis juga di sini, di Mimpi Tipu-Tipu. Aku baru ingat itu. Ingatan tentang hal-hal nyata malah berkebalikan ya sama ingatan mimpi, kabur-kaburan. Aku nangis aja bacanya. Padahal, nggak lagi di momen melo. Cuma mau nyari referensi cerita, pengen nulis. Makanya kabur ke sana. Tapi, malah begitu jadinya. Aku lanjut men-scroll sampai bawah. Baca sekilas saja. Dan sepertinya, aku memang sengaja mengurangi intensitas menulis mimpi.

Setelahanya, aku mau bermimpi, tidur. Siapa tahu kan dapet ide cerita yang keren dari sana. Emang sih, aku tipe orang yang nggak bisa langsung tidur gitu. Tapi, aku tuh kek bisa gitu loh mimpi. Kek, mau mimpi ah, terus mimpi. Dan hasilnya mesti aneh-aneh. Kadang kalo request gitu, hasinya agak nyerempet. Cuma ya ada plot twits-plot twist yang nggak terduga. Tapi, mimpi ga selalu sih. Akhir-akhir ini kayaknya jarang. Baru tadi lagi deh, aku mimpi dan inget. Karena anget juga kali ya. Iya, aku tidur dan mimpi. Cuma dua jam dan mimpinya biasa aja. Cuma masuk jadi draf ahahaha. 

Seneng. 

Seneng bukan perkara mimpinya. Seneng karena apa yang terjadi sebelum masuk ke mimpi itu. Lagi-lagi kenangan jadi senjataku untuk ketawa sekaligus nangis. Aku dengerin rekaman-rekaman suara dari kartu memori lamaku. Siapa tahu kan, ada suara bapak. Bisalah jadi obat rindu. Kangen ke belio tuh kayak ada tombolnya. Aku bisa sadar waktu. Tapi, kalau kelamaan dipendem, pas lagi on bakal lumayan juga sih aahaha. 

Rekaman suara yang kuputar dari folder rekaman biasa. Artinya bukan rekaman-rekaman masa dulu banget yang sudah kuorganisir dan dengarkan terus-terusan di masa lalu. Rekaman suara pertama aku nyanyi. Ya sudah biasalah. Nggak mungkin nemu suara bapak di sana. Aku kalau mau nyanyi kan ya nunggu sepi, sendiri. Rekaman berikutnya cuma gembrebek. Oke skip. Selanjutnya nyanyi-nyanyi lagi. Tapi, kayaknya pas itu lagi ngumpul sama RYFAR karena ada suara Mbak Rima. Aku nggak minat denger lebih lanjut karena tentu saja nggak mungkin ada suara bapak. Pikirku, aku akan nemu suara belio marah-marahin aku pas lagi rekam suara OST drakor di TV.

Ternyata, aku mendapati suara beliau samar terdengar di rekaman selanjutnya. Rekaman saat aku ngaji. Ya, awalnya kukira ngaji sih. Soalnya dulu sering juga ngerekam gitu. Khususnya surat Yasin. Tapi, ternyata itu rekaman buat hapalan. Kayaknya sih. Kalau tebakanku benar itu hapalan buat ujian praktek lisan SMA, harusnya habis itu aku rawat inap di Puskesmas deket sekolahan, alih-alih ikut ujian. Mau bilang sia-sia hapalan kalo endingnya nggak ikut ujian, tapi hapalannya surat-suratan. Kan nggak enak ya, sama Tuhan, hehe.

Sejak awal ayat, aku kedengeran suara bapak lagi telponan. Ya, biasa sih, ngobrol sama kawan-kawannya. Lirih banget, karena suaraku lebih keras. Apalagi bapak di luar kamar. Untung aja suara belio menggelegar. Jadi masih masuk-masuk aja. Aku nggak nyimak sama sekali surat apa yang kubaca. Memilih menerka-nerka siapa-siapa dan apa yang sedang dibicarakan bapak. Sepertinya panggilan yang tadi selesai. Bapak masih mengobrol. Entah dengan siapa, tapi kemudian halo-halo yang terdengar menunjukkan kalau dia masih melanjutkan obrolannya. Pasti ada paketan ngobrol. 

"Halo Kawan!" begitulah kebiasaan pembuka obrolan yang sering kudengar. Ekstrover garis keras. 

Saat suara obrolan terdengar semakin jelas, aku meninggikan suaraku. Mungkin berusaha tetap konsen dan menandaskan suara-suara lain. Padahal sekarang ini, aku kesal sekali. Ingin kuhilangkan saja suaraku itu. Aku ingin mendengar obrolan masa itu. Ternyata aku yang sedang mengaji itu juga kesal. Dia meninggikan suara bukan semata-mata karena ingin menandaskan suara bapak. Lebih karena ada gangguan menyebalkan. Masku terus-terusan menggoda. Ya, hari-hariku di masa itu penuh dengan jenakanya dia dan segala oloknya. Aku kesal, dan aku rindu. Sudah kubilang kan, rindu ke orang yang masih ada di dunia, tidak lantas tidak lebih menyakitkan daripada rindu kepada orang yang sudah tidak ada di dunia. Dan aku mendapati momen itu kembali di rekaman itu. Aku tidak menangis sekeras saat membaca Mimpi Tipu-Tipu tadi. Tapi, ya menangis. Sedikit sih. Lebih banyak senyumnya. Masku sekonyol itu. Dan aku juga banyak menyebutkan berbedanya dia sekarang di tulisan-tulisanku lainnya di sini. Kabar baiknya, Masku sekarang sudah mulai menjadi Masku. Tidak benar-benar kembali seperti dulu. Tapi, setidaknya tidak semenyebalkan kemarin-kemarin. 

Surat Adduha sampai Annas selesai. Banyak sekali salah-salahnya. Padahal cuma surat pendek loh. Emang the power of Mas Put. Bener-bener pinter bikin aku emosi. Aku berhenti dengerin setelah selesai rekaman yang itu. Tidur. Dan akhirya bermimpi itu tadi. Tidak ada bapak sama sekali. Ya, mimpi sederhana sih. Yang jelas, ada Mbak Rima di sana.

Ah, janji nulisku yang sebelum-sebelumnya belum ya. Hehe, tidak tahu kapan menebusnya. Nulisku bener-bener suka-suka ya. Hmm ya sudah. Mau tenggelam di malam penuh batuk ini. Iya, batuk. If you know you know.