Kamis, 20 Oktober 2022

Tipu-Tipu-Tipu

Kebiasaan baru yang sempat kulakukan sejak tiga bulan yang lalu adalah menulis mimpi. Tidak semua. Hanya yang ingin-ingin saja. Tidak juga membiasakannya terus menerus, takut ketergantungan. Apalagi mimpi kan fatamorgana ya. 

Karena bingung mau ngapain--padahal banyak yang musti dilakuin, aku memilih baca mimpi-mimpi yang udah kutulis itu. Rumit dan tidak jelas. Ya, kan, biasanya ditulis mendadak baru bangun. Konon, mimpi akan hilang dari ingatan setelah 3 menit. Untungnya, di beberapa kasus, ingatan tentang mimpi di kepalaku bisa bertahan lama. Bahkan pernah dua-tiga hari. 

Hingga, sampailah aku ke salah satu mimpi yang bikin nangis. Kisah mimpi yang pernah kutulis juga di sini, di Mimpi Tipu-Tipu. Aku baru ingat itu. Ingatan tentang hal-hal nyata malah berkebalikan ya sama ingatan mimpi, kabur-kaburan. Aku nangis aja bacanya. Padahal, nggak lagi di momen melo. Cuma mau nyari referensi cerita, pengen nulis. Makanya kabur ke sana. Tapi, malah begitu jadinya. Aku lanjut men-scroll sampai bawah. Baca sekilas saja. Dan sepertinya, aku memang sengaja mengurangi intensitas menulis mimpi.

Setelahanya, aku mau bermimpi, tidur. Siapa tahu kan dapet ide cerita yang keren dari sana. Emang sih, aku tipe orang yang nggak bisa langsung tidur gitu. Tapi, aku tuh kek bisa gitu loh mimpi. Kek, mau mimpi ah, terus mimpi. Dan hasilnya mesti aneh-aneh. Kadang kalo request gitu, hasinya agak nyerempet. Cuma ya ada plot twits-plot twist yang nggak terduga. Tapi, mimpi ga selalu sih. Akhir-akhir ini kayaknya jarang. Baru tadi lagi deh, aku mimpi dan inget. Karena anget juga kali ya. Iya, aku tidur dan mimpi. Cuma dua jam dan mimpinya biasa aja. Cuma masuk jadi draf ahahaha. 

Seneng. 

Seneng bukan perkara mimpinya. Seneng karena apa yang terjadi sebelum masuk ke mimpi itu. Lagi-lagi kenangan jadi senjataku untuk ketawa sekaligus nangis. Aku dengerin rekaman-rekaman suara dari kartu memori lamaku. Siapa tahu kan, ada suara bapak. Bisalah jadi obat rindu. Kangen ke belio tuh kayak ada tombolnya. Aku bisa sadar waktu. Tapi, kalau kelamaan dipendem, pas lagi on bakal lumayan juga sih aahaha. 

Rekaman suara yang kuputar dari folder rekaman biasa. Artinya bukan rekaman-rekaman masa dulu banget yang sudah kuorganisir dan dengarkan terus-terusan di masa lalu. Rekaman suara pertama aku nyanyi. Ya sudah biasalah. Nggak mungkin nemu suara bapak di sana. Aku kalau mau nyanyi kan ya nunggu sepi, sendiri. Rekaman berikutnya cuma gembrebek. Oke skip. Selanjutnya nyanyi-nyanyi lagi. Tapi, kayaknya pas itu lagi ngumpul sama RYFAR karena ada suara Mbak Rima. Aku nggak minat denger lebih lanjut karena tentu saja nggak mungkin ada suara bapak. Pikirku, aku akan nemu suara belio marah-marahin aku pas lagi rekam suara OST drakor di TV.

Ternyata, aku mendapati suara beliau samar terdengar di rekaman selanjutnya. Rekaman saat aku ngaji. Ya, awalnya kukira ngaji sih. Soalnya dulu sering juga ngerekam gitu. Khususnya surat Yasin. Tapi, ternyata itu rekaman buat hapalan. Kayaknya sih. Kalau tebakanku benar itu hapalan buat ujian praktek lisan SMA, harusnya habis itu aku rawat inap di Puskesmas deket sekolahan, alih-alih ikut ujian. Mau bilang sia-sia hapalan kalo endingnya nggak ikut ujian, tapi hapalannya surat-suratan. Kan nggak enak ya, sama Tuhan, hehe.

Sejak awal ayat, aku kedengeran suara bapak lagi telponan. Ya, biasa sih, ngobrol sama kawan-kawannya. Lirih banget, karena suaraku lebih keras. Apalagi bapak di luar kamar. Untung aja suara belio menggelegar. Jadi masih masuk-masuk aja. Aku nggak nyimak sama sekali surat apa yang kubaca. Memilih menerka-nerka siapa-siapa dan apa yang sedang dibicarakan bapak. Sepertinya panggilan yang tadi selesai. Bapak masih mengobrol. Entah dengan siapa, tapi kemudian halo-halo yang terdengar menunjukkan kalau dia masih melanjutkan obrolannya. Pasti ada paketan ngobrol. 

"Halo Kawan!" begitulah kebiasaan pembuka obrolan yang sering kudengar. Ekstrover garis keras. 

Saat suara obrolan terdengar semakin jelas, aku meninggikan suaraku. Mungkin berusaha tetap konsen dan menandaskan suara-suara lain. Padahal sekarang ini, aku kesal sekali. Ingin kuhilangkan saja suaraku itu. Aku ingin mendengar obrolan masa itu. Ternyata aku yang sedang mengaji itu juga kesal. Dia meninggikan suara bukan semata-mata karena ingin menandaskan suara bapak. Lebih karena ada gangguan menyebalkan. Masku terus-terusan menggoda. Ya, hari-hariku di masa itu penuh dengan jenakanya dia dan segala oloknya. Aku kesal, dan aku rindu. Sudah kubilang kan, rindu ke orang yang masih ada di dunia, tidak lantas tidak lebih menyakitkan daripada rindu kepada orang yang sudah tidak ada di dunia. Dan aku mendapati momen itu kembali di rekaman itu. Aku tidak menangis sekeras saat membaca Mimpi Tipu-Tipu tadi. Tapi, ya menangis. Sedikit sih. Lebih banyak senyumnya. Masku sekonyol itu. Dan aku juga banyak menyebutkan berbedanya dia sekarang di tulisan-tulisanku lainnya di sini. Kabar baiknya, Masku sekarang sudah mulai menjadi Masku. Tidak benar-benar kembali seperti dulu. Tapi, setidaknya tidak semenyebalkan kemarin-kemarin. 

Surat Adduha sampai Annas selesai. Banyak sekali salah-salahnya. Padahal cuma surat pendek loh. Emang the power of Mas Put. Bener-bener pinter bikin aku emosi. Aku berhenti dengerin setelah selesai rekaman yang itu. Tidur. Dan akhirya bermimpi itu tadi. Tidak ada bapak sama sekali. Ya, mimpi sederhana sih. Yang jelas, ada Mbak Rima di sana.

Ah, janji nulisku yang sebelum-sebelumnya belum ya. Hehe, tidak tahu kapan menebusnya. Nulisku bener-bener suka-suka ya. Hmm ya sudah. Mau tenggelam di malam penuh batuk ini. Iya, batuk. If you know you know. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar