Selasa, 3 September 2019: penyakitku ketika sedang jatuh cinta cuma satu, sulit mengaku.
Is love just a feeling? GAK TAHU! Begitulah kira-kira jawabanku saat itu. Perkara hati, tak ada yang bertanya secara langsung kepadaku selain akun Twiter Vice Indonesia. Cuitannya, kemarin lewat berandaku. Aku jadi ikut berpikir. Apakah cinta hanya sekedar perasaan?
Pagi tadi, aku masih sempat begadang. Bukan sengaja. Seperti biasa, memang tidak bisa tidur. Tidak memaksakan diri untuk tidur. Berdebat dengan pikiran yang selalu perang dengan perasaan. Rasanya ingin sekali menangis, tapi aku tak tahu penyebabnya. Rasanya, rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang tak jelas benar atau salah. Sesuatu yang aku sendiri tak tahu, apa itu. Aku tak bisa berandai apa-apa.
Satu demi satu pertanyaan muncul. Apakah deg-degan adalah satu-satunya tanda jatuh cinta? Aku bertanya pada salah satu teman. Ia laki-laki. Kali ini, sepertinya aku perlu perspektif lain. Sudah sering aku membahas masalah perasaan dengan seluruh teman perempuanku. Dan aku masih belum tercerahkan. Jadi, aku bertanya pada teman yang satu itu. Meski dia sering tidak sengaja membocorkan suatu hal yang harusnya tidak ia katakan, dia teman mengobrol yang cukup baik.
Singkat. Pertanyaanku hanya mengenai, tanda jatuh cinta. Apakah orang yang membuat berdegup, ataukah orang yang membuat kepikiran. Setelah memutar-mutar jawaban, tanpa tanya pada siapa aku sedang—mungkin—jatuh cinta, jawabannya adalah orang yang membuat jantungku berdegup. Aku kembali berpikir, apakah benar jika debaranku selama ini adalah pertanda jatuh cinta? Dia? Hanya ke dia seorang? Aku ingin mempercayai kata-kata temanku itu, tapi pikiranku masih tak sepakat. Ya, aku masih memikirkan sosok yang membuatku kepikiran, tapi tidak ada debaran.
Hal itu, kurasa aku pernah merasakannya. Tapi, aku tak yakin jika itu cinta. Tentu sih ya. Cinta bukan agama yang perlu diyakini—sepertinya.
Tentu atau masih seperti, nih?
Ah, ini nih. Pikiranku selalu melawan hati dengan logika bodoh yang selalu saja punya jawaban. Debar jantung yang akhir-akhir ini sering kurasa mungkin karena stres. Apalagi, tentang organisasi. Dan mungkin juga karena kekosongan hati—yang sedang bingung dengan suatu hal, jadi debar itu adalah bentuk pelepasan. Jadi, sepertinya itu debar yang wajar.
Ah, lelah berpikir, lelah merasa, lelah mencerna. Aku harus apa? Harus bagaimana? Dan mengapa? Melihat teman-teman yang sibuk berbisnis, berorganisasi, berkarya, kuliah sungguh-sungguh, ngebucin dengan pasangan mereka, rasanya aku ingin terbenam saja. Serius, sebenarnya aku tak ada niatan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Poin terakhir itu adalah bentuk tekanan batin yang entah kenapa mengganggu pikiran. Cinta? Aku ingin tidak peduli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar