Selasa, 28 November 2023

Aku dan Satu Nama

Singki. Sin-gi. Sin-gi-hada. Luar biasa. 

Dalam bahasa Korea, singhihada artinya luar biasa. Amazing. Tetanggaku ada yang namanya, Singki, atau Sinki, atau... aku tidak tahu bagaimana penulisan namanya, yang jelas penyebutannya sama dengan Sinki di sin-gi-hada. 

Aku pernah tahu nama panjangnya, namun lupa. Yang jelas nama itu tidak diambil dari bahasa Korea. Di mataku, dia masih bocah kelas 2 SD yang belum bisa baca tulis. Bicaranya juga tidak jelas, entah kurang fasih atau cadel. Belibet sekali. Yang paling menyebalkan adalah setiap pagi, dia menunggu diriku di rumahku sebelum berangkat sekolah. Dia nebeng.

Masalah utama yang kuhadapi atas tebeng menebeng ini sederhana saja. Aku tidak kuat. Capek sekali, loh. Aku yang saat itu sudah kelas 6 pun kuwalahan. Singki terkenal sebagai anak yang nakal, meski di rumahku sangat pendiam dan manis. Jadi, anak-anak selalu meledekku sebagai kakaknya. Tidak masalah sih, kami memang masih kerabat meski jauh. 

Ketidakmampuan Singki di ranah akademik juga sangat terkenal. Waktu itu, aku tidak punya kepentingan untuk menghakimi. Masih banyak siswa kelas 2 yang belum bisa membaca maupun menulis. Namun ternyata, hal yang terjadi pada Singki cukup spesial. Bertahun kemudian saat dia duduk di MAN swasta yang salah satu gurunya adalah kerabat kami juga, tante itu berkata bahkan saat itu dia belum bisa membaca. Aku ingin tidak percaya, tapi Ibuk yang diam-diam selalu tahu hal-hal yang terjadi di lingkungan kami, juga mengaku mengetahui hal itu sejak dia SMP. Selama SMP, dia juga kesulitan dalam baca tulis. Miris. 

Singki punya kakak laki-laki yang usianya sekitar 5-6 tahun di atasnya, lebih tua dariku. Dia juga punya adik perempuan yang baru lulus SMA. Tidak seperti kakak pertama yang putus sekolah di bangku SMP, dan kakak kedua yang sulit baca tulis, anak bungsu perempuan keluarga itu cukup cerdas. 

Saat gap sebelum kuliah, aku sempat mengajar dia. Dia kelas 5 atau 6 ya? Aku lupa. Yang jelas dia termasuk yang tertua di les malam. Dia punya antusias yang tinggi pada belajar. Mengingat background keluarganya, aku cukup terkesan. Ya, meski banyak yang harus kusampaikan untuk merawat minat belajar dia. Gadis itu berhasil masuk SMP dan SMA negeri terdekat dari rumah kami, tempatku belajar dulu. Entah regulasi pendaftaran sekarang seperti apa, yang jelas aku turut senang. Belakangan, dia ingin melanjutkan kuliah di UT melalui Banyuwangi Cerdas. Tapi, sepertinya tidak jadi. 

Sekitar dua tahun lalu, aku ingat dia pernah bilang jika ingin punya suami supir. Pemikiran yang menggelikan bagiku. Dengan menggebu dia berkata betapa makmur hidupnya jika suaminya kelak supir. Padahal aku tidak bertanya apa-apa. Baru-baru ini, ada 'calon'-nya yang berasal dari luar kota menginap di rumah mereka. Si perempuan ini tidak tinggal serumah dengan keluarganya, ia tinggal di rumah budhe-nya yang ditinggal anaknya jadi TKW. Aku tidak tahu profesi calonnya itu. Namun, kunjungannya cukup terlihat serius.

Kakak Singki yang sangat-sangat amat pendiam, katanya juga akan menikah. Betapa hari-hari ibunya selalu bercanda tentang calon mantu dan hal-hal begitu. Akhirnya ya, mantu beneran. Calonnya, tetangga kakak iparku. Ibuk tahu dari ibunya yang bercerita secara personal, tidak dari kakak iparku. Aku penasaran bagaimana mereka saling kenal dan memutuskan menikah. Usia? Latar belakang keluarga? Pendidikan? Pekerjaan?

Aku tidak tahu seperti apa perempuan itu. Namun, jika berasal dari daerah rumah kakak ipar, aku bisa membayangkan lingkungan di sana. Meski orang kaya, kadang mindset mereka masih... ya begitulah. Meski berpendidikan, masih banyak yang konservatif dan harus ina inu. Stereotif yang kulekatkan pada daerah itu ya demikian. Ya, contohnya saja kakak iparku. Meski pendidikan maupun latar belakang keluarga tidak jauh dengan kakakku, keluarga kami, harusnya mereka tidak buru-buru menikah. Harusnya biar kakakku mandiri finansial dulu. Apa tidak ada mimpi yang ingin dicapai? Ah, mulai ngelantur.

Masalah menikah dan cinta-cintaan, Singki juga seperti kakaknya. Dia tumbuh dengan menjadi sosok pekerja keras. Meski tidak sependiam kakaknya, tidak tidak neko-neko. Lebih sering menyapa, dan masih sedikit cadel. Selain si bungsu, aku tidak pernah mengobrol dengan dua anak yang lain. Kepada Singki ya sebatas basa basi. 

Entah kenapa tiba-tiba ingin menulis nama Singki. Namanya unik memang, tapi bukan ini bukan kali pertama aku sadar. Nama adik dan kakaknya biasa, dalam artian, mainstream. Bukan termasuk nama yang populer sih, tapi juga bukan nama yang jarang ditemui. Singihada~


Jumat, 29 September 2023

R for Repeat

Hai, selamat pagi! 

Susah banget nyari waktu buat nulis ini. Aku enggak berani nulis pas lagi on going alias pas momen ini lagi kejadian. Tapi, buat cerita ulang di waktu lain, cukup bikin prokrastinasi karena bakal njlimet dan yah... mengungkit sedikit luka, haha. 

Aku mau cerita tentang R lain, R yang seperti mengulang. Aku enggak lagi mempertanyakan, kenapa kudu berinisial R, karena era ini inisial R terkenal banget brengsek. R yang pernah kuceritakan di sini, my first crush, kelihatannya enggak bagian dari R brengsek. Pun R yang akan kuceritakan. Dan sepertinya, ini akan jadi another tulisan nonsensor karena aku sudah gedek sama kebadutan diriku sendiri. Ya, semoga plong, ya. 

Awalnya aku mau bikin tulisan ini di Aku dan Satu Nama, tapi ini terlalu privat untuk dikomersilkan. Pun terlalu berharga untuk sekedar jadi remehan fafifu. Namanya indah. Enggak seindah nama 'unik' yang selama ini kujadikan standar. Namanya indah karena ada di Asmaul Husna. Yep, very Islamic. Enggak cuma nama panggilannya aja loh, tapi nama lengkapnya. Ya, kecuali nama depan, Muhammad, hehe. Nama panggilannya diambil dari nama terakhirnya, sedangkan nama tengahnya satu kata yang terdiri dari dua kosa kata arab yang dua-duanya ada di Asmaul Husna. Jadi, selain Muhammad, ada tiga Asmaul Husna di namanya. Sungguh indah, kan?

Aku tahu nama lengkap itu secara tidak sengaja. Saat itu, di banyak tempat sepi, termasuk rumah kosku. Aku benar-benar sendirian. Enggak ada penghuni kos lain. Ibu Kos dan seluruh keluarga pergi. Mau tidak mau, aku menerima paket atas namanya. Nama yang saat itu kuanggap biasa saja. Aku berencana tidak membuat kenangan bersama orang yang hanya akan menjadi sekedar tahu, tidak mau tertarik dengan orang yang jelas-jelas tidak bisa digapai. Gimana enggak? Orang itu cukup membuatku takjub di hari pertama tinggal di rumah itu.Ternyata ada ya, ada laki-laki seperti dia. Benar-benar definisi 'anak baik-baik'. Masa pas aku balik ngopi dia lagi tahajud dan ngaji. Itu sudah lebih dari jam dua dini hari. Culture shock buat aku yang biasanya tinggal di lingkungan kos 'nakal'.

Enggak mau jadi orang naif yang menganggap baiknya orang karena agamis semata, aku selalu punya kecurigaan dengan orang itu. Jangan-jangan dia hacker. Mungkin selalu di kamarnya tanpa ada suara karena dia melakukan hal buruk. Enggak mungkin sih, dia penulis yang lagi mengerjakan proyek diam-diam. Kalo penguntit gimana? Residivis? Apa di kamarnya ada penyadap suara yang ngerekam obrolanku dengan teman-teman yang main ke kamar? Kalo suara kipas dan detik jam di kamarnya saja terdengar dari kamarku, apa sebaliknya tidak begitu? Ah, persetan dengan privasi. Waktu itu, aku hanya butuh kesenyapan dan tetangga kamar itu memberi waktu yang menguntungkanku. Aku bisa menikmati kesunyian yang sesekali terhias suara merdunya melantunkan ayat Qur'an. 

Aku melewati masa sulit yang terjadi saat itu di sana. Masalah keluarga, masalah kuliah, masalah pandemi, masalah pertemanan. Laptop dua-duanya rusak, kakak kehilangan motor karena aku, gagal jadi pemimpin redaksi, KKN, pandemi, kakak ipar masuk RS, ibuk sakit, aku yang masih bercumbu dengan tulisan kesedihan tengkar dengan... ah situasi saat itu sungguh pelik. Ya, aku bisa melewati masa itu di sana. Sembari kerja freelance dan menyimak kehidupannya. Bisa ya, ada orang yang 7/24 ada di rumah. Ya, kalau beberapa hari hanya terdengar detik jam dari kamarnya, sepertinya dia lagi ke rumah kakaknya di luar kota. Pikirku, mungkin karena pandemi. Namun, bertahun-tahun kemudian, sampai pandemi usai pun, kebiasaan itu tidak berubah. Justru lebih 'unik'.

Selama tinggal di sana bersama seorang teman yang kamarnya di seberang kamarku, kami sering membahas dia. Enggak, tidak menggosip yang aneh-aneh dengannya. Dia tipe teman yang lurus, tidak bisa diajak berdosa. Kami memuji-mujinya. Katanya, andai dia tidak punya pacar, dia sudah membidik laki-laki itu. Enggak jarang dia menyuruhku untuk mendekati dia. Aku? Gila apa haha. Cuy, inferioritasku besar sekali berhadapan dengan laki-laki alim macam itu. Lagian, aku tidak melihat hal baik lainnya dari dia selain keangkuhan. Meski sering membahas dia dan sosoknya, sampai berbulan-bulan tinggal di sana aku tidak pernah benar-benar melihat mukanya. Sepertinya, selama 2 tahun tinggal di kamar itu, hanya 2-3 kali aku melihat wajahnya. Satu saat gempa konyol membuatku ngah-ngoh saling tatap dengannya. Kedua saat kami berpapasan di tangga, itu pun dia pakai masker. Ah, ada pula saat berpapasan di jalan ketika dia pulang mengantar ibunya. Di ketiga kejadian itu, menurutku wajahnya berubah-ubah. Klaim temanku yang bilang dia sangat tampan, tidak bisa kuterima. Katanya dia jauh lebih tampan dari teman-teman laki-laki kami yang kuanggap tampan. Bagiku, tidak. Mungkin preferensi kami berbeda. 

Time flies. Temanku keluar dari kos dan aku pindah ke kamarnya. Sebenarnya memang ingin pindah dari lama. Jujur saja, di kamar itu, aku merasa tidak punya privasi. Depan pintuku ruang tamu keluarga Bu Kos yang akan ramai jika ada tamu. Kamar sebelahku yang lain hanya berbatas triplek. Okelah, kamar itu sudah kosong di tahun kedua aku di sana, tapi rasanya rapuh. Mau pindah, terlalu malas dan ada rasa skeptis lain yang muncul. Bagaimana kalo di kamar yang kupakai nanti berhantu? Apalagi kanan kirinya kosong. Sedangkan di kamar itu, setidaknya di sebelahnya ada dia yang rajin ibadah. Jauh sih dari kamar mandi, tapi aku enggak pernah ketakutan jalan ke sana tengah malam pun karena tidak merasa sendiri. Sampai suatu saat hujan lebat bikin kamar itu bocor, mau tidak mau pindah. Asa, kesempatan mendobrak rasa malas. Mau enggak mau, pindah. Aku pindah di bekas kamar temanku karena sudah lama aku menginginkan meja kayu yang hanya ada di kamarnya. Pindah kamar, tidak buruk. Jauh lebih menyenangkan ternyata.

Ketika sudah pindah, aku berniat menulis segala tentang dia. Tentu tidak ada ketertarikan secara romansa. Hanya, benar-benar tertarik dengan kehidupannya. Dia lulusan Gontor, pesantren yang selama ini kukagumi. Harusnya dia pandai fafifu bahasa Inggris dan Arab dong ya. Jurusan kuliahnya bikin aku khawatir sekaligus kagum juga, TI. Ketakutan akan hacking dan hal semacam itu makin nyata. Dan jujur saja, sedari mengenal komputer dan laptop aku ingin punya pasangan yang mahir dunia itu haha. Tapi, lagi-lagi, aku masih tidak tertarik dengan dia ke arah itu. Selain pikiran-pikiran seperti, 'Apa dia bisa diajak diskusi? Bagaimana kalo dia patriarki? Gimana kalo dia terlalu kolot atau terlalu bebas? Gay? Brengsek?' ada hal yang membuat aku mundur jauh yaitu suku dan beberapa kali obrolan teleponnya dengan seorang perempuan. Tidak intens tapi aku berpikir dia pacarnya, agar tidak melewati batasku sendiri. Untuk suku, bukan karena rasis atau benci atau semacamnya, crush pertamaku di kampus, suku yang sama dengan dia. Aku tidak mau mengulang patah hati haha. 

Di kamar baru, aku tidak begitu tahu aktivitasnya lagi. Tapi dia lebih sering keluar masuk rumah. Tangga ke bawah ada di depan kamar baruku, jadi aku sering menyadarinya. Kamar dia satu-satunya kamar yang pintunya menggunakan gagang dan bersuara 'jegleg'. Mudah kan, menandai. Dan hal lain yang kutandai, dia keluar rumah saat adzan berkumandang dan pulang beberapa waktu tidak lama kemudian. Hingga suatu saat aku dengar jawaban Bu Kos saat suaminya bertanya kemana perginya orang itu. Ke masjid Sumatra. Wow! Aku bisa menduga kalau selama itu dia pergi jamaah 5 waktu. Tapi, saat Bu Kos bilang masjid itu, ingatanku melayang ke tahun 2017 saat bapak mengajakku berkeliling area kampus untuk mencari kos. Setelah 'perang dingin' kami sepanjang pagi, kami sholat Dzuhur di masjid Sumatra itu. Setelah itu, aku dan bapak bisa berdiskusi dengan kepala dingin dan memutuskan mengambil kos di kosanku sebelumnya. Ya, itu sedikit hal yang bikin aku tercengang. Pikiran menggrambyang yang langsung membuat skenario konyol. Aneh sekali.

Aku heran dengan diriku. Aku bisa membayangkan cerita seru di pikiranku, tapi tidak di tulisan (semoga belum). Mungkin aku masih tidak ingin mencurahkan waktuku untuk hal sia-sia karena skenario dari kisahku dengannya, lebih tepatnya di rumahnya, hanya bagian kecil dari kisah hidupku. Betapa aku dulu membuat banyakkkkkk sekali skenario serupa saat ngekos di kosan lama. Bahkan tiap-tiap orang kujadikan tokoh utama di cerita mereka masing-masing. Semuanya masih di dalam otak, tidak tercetak, belum terberkas. Aku kukuh merasa si R ini adalah sama. Suatu saat akan hilang begitu saja seperti aku melupakan Mbak Nyala dan kegiatan malamnya bersama bule (shit, sekarang dia tinggal di London), Mbak Dewi dan kasus-kasusnya, Mbak Lia dan pacar yang hohihe di sebelah kamarku (anaknya lucu), Mbak Mayang dan 'kepolosan'nya (udah punya suami), Mbak Putri dan Halo Dek-nya (pasangan ini juga udah punya anak), Mbak Ulfi dan lonliness padahal ada bf-able (sepertinya sekarang sudah tunangan), Cio dan emaknya yg problematik, Reka, Annisa (bestie-ku ini juga sudah punya Nara), dan banyak lainnya. R adalah satu dari mereka dari sudut pandang lain. Aku merasa kepindahanku ke kos baru untuk menghapus segala kenangan menyedihkan di sana. Menangis histeris di kamar hijau saat temanku meninggal, menatap kosong setiap malam setelah bapak pergi, rasa kesal dan sakit hati, obrolan-obrolan nakal yang kudengar setiap malam dari tetangga kosan, yaaa sepertinya keputusan yang benar pindah kos kala itu. 

R bukan alasanku pindah. Tapi, adanya R membuatku bersyukur pindah. Oh, masih ada ya, orang seperti itu. Aku mencoba tidak lagi melihat dia dari sisi negatif. Tidak pernah tersenyum bukannya tidak ramah kan? Tidak basa-basi menyapa adalah hal baik karena aku tahu punya induk semang yang kepo akan lebih merepotkan. Apalagi dia laki-laki di kos perempuan. Bukannya itu hal yang sudah benar? Apalagi kamu sering fafifu pelecehan seksual bersama teman-temanmu di kamar. Bukankah, dia mungkin 'teredukasi' kalo-kalo denger juga? Dulu kan kamu lagi gencar-gencarnya meliput itu sampai berhari-hari begadang sampai pagi. It's good right!

Memikirkan dari sudut pandang dia, kadang aku berpikir adanya dua CCTV di teras dan di jalan membuat dia tidak punya kekepoan sama sekali ke seluruh penghuni kosan. Dia sekedar tahu, ya sudah. Lalu, aku berpikir, bagaimana kalo sikap 'dingin' dia selama ini karena menganggap aku perempuan tidak baik. Okelah, aku memang enggak alim, tapi aku kan enggak 'nakal'. Sering pulang malam dan selalu dijemput laki-laki yang berbeda. Iya kalo dia berpikir, oh karena cowo-cowonya ganti, berarti bukan pacar, kalo pikirannya kolot dan mikir yang aneh-aneh? Lah, kenapa aku peduli dengan pikirannya? Oh, kan ya aku peduli dengan pikiran-pikiran orang lain memang. Dia salah satunya. Hanya itu. 

Menjelang akhir masa di sana, aku mulai berpikir bagaimana jadinya jika ia menikah. Maksudku, entah dengan siapapun, bagaimana nanti regulasi pernikahan dan apakah istrinya dibawa ke rumah, atau bagaimana? Itu sangat mengguggah imajinasi. Tapi, ya sudahlah. Bukan urusanku juga. Misal dia menikah dengan salah satu temanku--atau diriku (wkwk)--mungkin lain cerita. Ya, aku sekedar penasaran. Sama halnya dengan pikiranku tahun lalu yang ingin segera lulus tapi ingin mendengar lantunan suaranya saat mengimami solat traweh. Pada akhirnya aku bertemu ramadan lagi di sana, dengan ia yang tak lagi mengimami orang tuanya--yang artinya aku belum lulus juga.

Di masa-masa ramadan itu, aku berkesempatan bertatap muka dengannya saat membeli sesuatu. Sungguh vibes-nya bikin jatuh cinta. Nada suaranya tidak arogan seperti pikiranku selama ini. Cukup membikin keringat dingin keluar. Untung tidak 'goblok' seperti saat sebelumnya. Pernah aku bilang beli mie kuah rasa kari spesial, bu kos mengambilkan rasa lain dan aku langsung membayar lalu pergi. Buru-buru sekali karena orang itu ada di sana juga. Haha.

Cukup merasa jatuh cinta-nya, karena itu tidak sungguhan. Aku benar-benar tidak tertarik, hanya... mengikuti alur otakku agar punya plot cerita yang bagus, yang tidak menjadikan genre hidupku tragis saja. Akhirnya aku membulatkan tekad setelah beberapa kali berpikir. Aku akan membuat gol, seperti kisah-kisahku yang sebelumnya. Bertahun lalu, aku ingat pernah satu bis dengan mas-mas yang kena semacam gendam untuk membeli burung bohongan seharga jutaan. Sedengarku dari percakapan mereka, dia rumahnya di jalan Kalimantan. Katanya ayahnya pecinta burung. Dia berminat membeli burung goib mereka. Saat itu, dia turun di tengah jalan untuk mengambil uang bersama para penipu. Aku ingat kejadian itu tapi tidak bisa apa-apa karena mbak-mbak di sebelahku menghimbau untuk diam saja, demi kebaikanku. Keluarga Pak Kos memelihara burung cukup banyak. Nah, pengalamanku ini bisalah untuk bahan uji coba. Kalau misal orang itu bukan dia, ya tidak apa-apa. Aku hanya penasaran dengan responnya. Toh aku akan menanyakan ini saat telah lulus kelak. Dan jika memang iya, betapa apik plot kisah kami, hehe. 

Aku menjalani hari-hari di kos dengan masih sama. Menulis dan menunggu lanjutan progres skripsi. Saat skripsiku hampir tuntas, aku gencar menulis tentangnya. Di beberapa blog, aku menuliskannya secara jelas. Di medium lebih banyak namun tersirat. Di draf cerita fiksi, ada satu ide yang masih sekedar sinopsis. Ah, aku masih belum benar-benar tertarik. Hanya sekedar merasa memiliki crush--seseorang yang tidak akan bisa kugapai. Hingga suatu hari saat aku sibuk-sibuknya menulis fiksi untuk suatu kompetisi, aku yang jarang menengok ke kamarnya yang berseberangan dengan kamarku, melihatnya sedikit melirikku. Sialan, jangan bikin otakku bikin narasi yang tidak perlu dulu dong. Di hari lain, aku yang hampir tidak pernah membuka pintu kamar ketika sendirian membuka pintu karena... sepertinya listrik mati dan sumuk pol. Akumasih mengetik di meja yang membuatku menghadap ke pintu. Saat itu juga, dia seperti melirik ke arahku. Wow, apakah dia mulai tertarik dengan aktivitasku? Setelah sekian lama? Duh, aku belum siap meninggalkan kos alias kapan golku kusampaikan ya???

Di hari aku menjadi hopeless romantic yang sempurna itu, kabar duka datang dari rumah. Budheku meninggal dan aku harus pulang. Aku tidak lagi memikirkan dia, dan menanggalkan tulisan kompetisi itu. Sibuk di rumah dan kembali fokus ke persiapan ujian skripsi. Waktu berlalu dan akhirnya aku ujian sidang beberapa saat sebelum lebaran kurban. Menjelang lebaran Kurban, di depan kosan didirikan tenda. Biasanya memang tetangga Bu Kos sering menggunakan area depan untuk keperluan mereka. Saat itu aku basa basi dengan Bu Kos, apakah ada yang mau punya hajat. Bu Kos menjawab iya. Beberapa hari kemudian masih belum ada tanda-tanda pernikahan atau apalah. Hanya tenda. Sampai Pak Kos terlihat sibuk berdiskusi dengan para tetangga laki-laki di teras sambil membawa selebaran undangan. Oh, mungkin Pak Kos jadi panitia kurban. Tenda di depan untuk solat ied kali ya.

Aku pulang ke rumah menjelang lebaran. Tinggal di rumah cukup lama karena banyak acara keluarga dan tidak ada hal urgent yg perlu kulakukan di Jember. Sampai aku harus mengumpulkan syarat wisuda secara langsung. Aku harus ke Jember dan kebetulan motor masku menganggur karena dia di luar kota beberapa hari. Aku bisa sekalian nyicil membawa perkakas kos. Dan... sepertinya saat yang tepat menyatakan golku. 

Hari itu, aku berangkat sangat pagi karena subuh sudah terlewat. Menerjang rintik hujan agar tidak kesiangan sampai Jember. Bukan, bukan karena jadwal akademik. Aku berniat sampai di kos sekitar jam 8 agar bisa melihat dia sebelum berangkat kerja. Shitttt aku teringat R tetanggaku. Dengan segenap usaha, aku sampai di kos di waktu yang sesuai dengan harapanku. Tapi, sayangnya itu bukan waktu yang tepat. Tenda yang hampir sebulan lalu masih ada di sana. Teras depan yang biasanya jadi tempat parkir tertutup karpet seluruhnya. Aku bingung harus parkir dimana. Kata seorang tetangga, hari ini akan ada temu manten sampai siang. Keluarga Bu Kos sedang menunggu besan dan manten yang datang dari Banyuwangi. Siallllllll. Tepat sekali waktuku.

Aku berusaha tenang. Bukan karena perasaanku sedih, iya perasaanku campur aduk, tapi bukan karena sedih yang begitu. Rasanya lega tinggal di kos itu, menyimak dia yang dulu tidak pernah di rumah karena kuliah (saat hanya main ke kos temanku), lulus dan kembali ke rumah dibarengi pandemi, saat-saat kerja, dan kini menikah. Yeah, aku akan menyaksikan momen bahagia ini. Tapi, tunggu. Aku punya urusan. Persetan dengan gol, karena tak akan kulaksanakan. Kunci kosku yang sebelumnya kutitipkan Bu Kos karena katanya temanku akan menginap (ternyata tidak jadi), hilang. Bu kos lupa ditaruh mana. Suasana keos dan akhirnya Pak Kos membuka paksa kamarku, menggantinya dengan kunci dan gembok baru. Sialll lagi, aku kehilangan gantungan kunci DSB. 

Hari berlalu dengan aku yang excited sekaligus... merasa bodoh. Maksudku, iya, ini semua sudah pernah kuprediksi, kubayangkan dan tidak apa-apa. Aku tidak merasa kehilangan apapun. Hanya... kenapa nyaris. Kenapa harus hari itu? Kenapa waktunya tepat saat tekatku sudah bulat? 

Menjelang sore, saat urusanku sudah selesai, saat aku menyimak obrolan keluarga yang aku tidak paham topiknya, aku berniat membayar janji temu dengan seorang teman laki-laki. Rencananya aku ketemuan dengannya di perpus pusat. Dia menjemput temanku yang lain dan aku menyusul. Tapi, tiba-tiba saja dia sudah di depan kos dan membuat aku buru-buru keluar. Aku yang biasa memakai sepatu di bawah tangga menenteng sepatu itu sampai ke gerbang. Untung acaranya sudah selesai. Aku menukar senyum ke teman itu yang ada di seberangku. Tanpa sadar si R yang tidak terlihat seperti pengantin baru duduk sendirian di bangku depan toko, di sebelahku. Lah, sendirian aja? Aku pengen lihat istrinya loh hmm.

Ah sudahlah. 

Rasanya kayak mengulang R.

Semoga bahagia kalian para R. Semoga aku juga bertemu bahagiaku ya. Bai bai.

Note: Pas ibuku ke kos untuk wisudaku, belio chit chat sama bapak ibu kos dan katanya besannya kepsek SMP 1 Purwoharjo yang itu masih sekitar sini. Ini kalo belio nyebut nama aku bisa aja tau orangnya hahaha. Nice ingfo semesta~

Kamis, 31 Agustus 2023

Aku dan Satu Nama: Happy Wedding Yog!

Hai dan halo! Hari ini, aku mau cerita tentang satu-satunya nama yang kebetulan lagi menikah. Namanya, Yoaga.

Namanya unik kan ya. Tapi, kami lebih sering manggil Yog atau, bukan Yoag atau Ga. Aneh soalnya haha. Entah sengaja begitu atau tipo saat nulis nama di akte, aku belum pernah menanyakannya. Yoaga, adalah teman laki-laki yang cukup banyak tersebut namanya kalau aku cerita masa SMA. Tanpa Yoaga, bisa jadi masa SMA-ku lebih tenang--dan membosankan.

Dulu, kami nggak akan kehabisan bahan olok. Kami deket gara-gara mulutnya yang sangat lihai mengkritik. Apapun yang kulakukan, selalu saja bisa di-counter dengan olokan menyebalkan. Hal ini enggak cuma kualami sendiri, RYFAR selalu kena ejek. Tapi, di hal yang bisa kami terima. Bukan buli. Aku juga ga kalah lihai menyerang dia. Selain nama bapak, kami juga punya julukan lain. Dia sering dipanggil 'Subur' karena mirip Mbah Subur yang pernah viral itu. Sedangkan aku... ah banyak sekali dia memberiku julukan. Yang paling akhir kayaknya Sakuntala. Nama yang tercetak di buku tahunan. Cukup bagus untuk sebuah olok, tapi itu enggak lebih dari sarkas. Dan berkat Yoaga pula, hubungan canggung terjadi antara aku dan Tio. Teman yang diperoloknya denganku.

Aku membalas olokan menahun itu dengan olokan dia dan Ristin. Salah satu dari Ryfar yang sangat dekat (dalam arti sebaliknya) dengan Yoaga. Ristin selalu bereaksi lebih kala diolok oleh siapapun, jadi teman-teman kerasan menganggunya. Termasuk aku. Aku berutang maaf tentang ini, tapi serius, dulu mereka berdua sangat cocok. Kepada Yesi, Yoaga tidak terlalu bertingkah karena respon Yesi selalu pasif, sedangkan dengan Mbak Rima Yoaga banyak menggoda (dalam arti romantis). Ya siapa sih yang ga tertarik sama polosnya Mbak Rima? Hahaha. Oh ya, Fikoh. Rumah mereka nggak terlalu jauh. Mungkin kayak rumahku dan Mbak Rima. Mereka tidak banyak interaksi, karena Fikoh dgaf. Tapi, sekali Fikoh pernah cerita kalau orang tuanya dulu pernah hampir menikah dg orang tua Yoaga, entah ayah atau ibu mereka, aku lupa.

Kami sering berolok semacam, "Kalau kalian menikah, aku akan ngado (insert olokan)." Atau, "Awas ya, kalo aku meninggal bakal menghantui kamu." Kadang sekali bakal seperti, "Oh ya, dasar (insert nama ortu)." Dan masih banyak lainnya. Aku enggak nyangka fase itu bakal berlalu dengan seperti ini. Yoaga menikah. Ristin meninggal beberapa bulan setelah ayah Yoaga meninggal. Kami datang ke rumah Yoaga atas pengaruh Ristin, padahal aku dan Fikoh sedang di Jember. Setahun kemudian, ibu Fikoh yang meninggal. Dan tepat setahunnya lagi, bapakku. Apakah ini gelap, atau sekedar cerita lalu, aku nggak yakin. Kita, kami, punya interpretasi yang berbeda. Terlalu sayang untuk melupakan ingatan saat-saat kami saling menyebalkan. Miris dan mungkin tragis. Tapi, bukankah memang seperti ini hidup.

Yoaga menikah hari ini. Good for him--meski aku sudah banyak membayangkan dia bersama Ristin, bahkan di cerita-cerita fiksiku. Aku tidak berpikir Yoaga tidak berubah, jadi semoga dia menjadi pribadi yang lebih baik. Pertemuanku dengannya selama di Jember, hanya berpapasan saja. Pertama di jalan saat sama-sama kembali dari Banyuwangi, dan kedua saat dia bersama perempuan (mungkin istrinya sekarang) di gang depan kos lamaku. Saat bertemu di bukber yang jarang kudatangi, aku tidak ingat kami bertukar olok lagi. Pun sepertinya tidak banyak mengobrol. Tidak saling simpan wasap, hanya Instagram yang menunjukkan kalau dia masih seperti dia. Tidak autentik seperti yang kutahu, tapi aku bisa membayangkan betapa kaku itu. Yoaga jadi teman laki-laki kedua yang menikah setelah Fajar. Aku terlibat banyak di pernikahan Fajar karena dia suami Mbak Rima. Pun, memang tidak pernah lost contact meski tidak selalu berkomunikasi. Selain Mbak Rima, teman perempuan yang menikah Sella dan Fikoh yang kesemuanya cukup dekat denganku. See, sirkel pendiem malah pada nikah dulu. Sungguh di luar prediksi (instert lawakan).

Ya sudah sih, cukup sekian kisah Yoaga. Satu nama yang satu-satunya. Selamat dan semoga bahagia. Maaf, terlalu malas untuk mencari nomormu di grup dan menyatakan ucapan ini. 

Ps: kalo Yoaga masih kayak dulu dan menemukan tulisan ini, aku bakal diolok habis-habisan. Hahahaha~

Kamis, 08 Juni 2023

Halo, Assalamualaikum!

Halo, Assalamualaikum!

Halo, Pak! Niki Alit. 

Pak pripun kabare sampean ten mriko? Mugi-mugi sae nggeh. Sepuntene lek kulo jarang nginguk. Jarang berdoa, jarang ngaji koyok biyen. Sampean enggak enek sih, dadi yo rodok males ngaji nang omah. Pak, sampean paling moco iki rodok ngguyu-ngguyu bohoso kromoku aneh. Mpun dangu Alit mboten damel bohoso kromo. Yo piye, sampean ga enek. Hehehe...

Pak, riyen, nate, pas sampean mantun lungo, kulo kangen banget. Pas iko tasek teng kosan lawas. Kulo mantun ngirim cerpen teng ubudfest sampe begadang. Isuk e, tanpo turu, kulo nangis kaleh ngerekam suara karena njenengan ga ngankat telpon. Lebih tepat e, nomor e sampean ga kenek wesan. Aku nangis misek-misek, koyok saiki.

Mari kejadian iku, aku ga pernah ngerekam suara maneh akting telpunan karo sampean. Iseh rajin nangis, tapi isolah ditimer. Kadang sek kesel karo sampean, opo o kok ga ngijini aku balik? Opo o mengeng aku ngerti? Tapi, ya piye maneh. Kali iku, sampean menang. Sampean menang teko aku. Aku kalah Pak. Aku sampean tinggal tanpo pamit. Sampean ngomong, emoh ganggu study-ku. Pak, aku emoh ngungkit opo seng tak lakoni waktu itu, tapi saiki Pak, study-ku mari. Selesai. Koyok pengene sampean.

Sampean misal ngerti opo seng tak bahas gawe tugas akhir, insyaallah bakal seneng banget. Yo, aku ngerti sampean cukup seneng eroh aku nembang pas semester siji. Nah, aku saiki njkuk tentang jowo-jowo, tapi ilmune psikologi alias psikologi jawa. Sampean ngerti Pak, aku seneng banget pelajaran psikologi sastra nang semester 5. Dosen psikologi pas iko ngomong, Bapak e dosenku kui meninggal pas belio semester 5. Aku enggak mikir aneh-aneh. Fokus nang teori seng disampaikan, tentang odipus complex. Tapi, Pak, cerito uripku koyok seseru cerito uripe sampean dan buk e yo. Kok iso sampean malah ninggalne aku nang semester iku? Parah e maneh, karena akeh faktor akhire aku menyerah nang matkul iku dan ngulang. Iku pisan seng garai aku ngulang dan suwi kuliahe. Dadi, koyok ga adil ngunu lek aku ga njkuk psikologi kan? Tapi Pak, mosok pas jamanku skripsian gak oleh njkuk psikologi maneh?? Yowes kan aku meneng. Aku sek menggalaui sampean. Gawe opo aku kuliah, lek ga gawe pean? Okelah, aku lanjut kuliah karena Buk e, tapi lo, rasane, mending aku nulis memoar mbendino tinimbang fokus kuliah. Gara-gara fokus kuliah biyen, aku ga iso onok nang sandinge pean.

Kersane Allah Pak, aku ketemu teori psikologi Jawa. Aku seneng psikologi, sampean seneng Jawa. Awal e aku ga fokus nang kedua hal iku. Cuma, rasane ki, teori iku, ajaran iku, wejangan iku, iso gawe atiku rodok longgar. Iso rodok bantu aku ngiklasno sampean. Pak, tenan, perjalananku ketemu teori iku sampe mari, sampe dino iki, dowo pol. Rumit, nyesek, abot, perih, dan gak opo-opo. Nyatane wes mari kan. Sampean eroh kan Pak? Anak e sampean pinter kan? Yo kan?

Mambengi Pak, sakdurunge turu, bar sinau, aku bingung goleki audio suarane sampean pas ga sengojo tak rekam. Pas adewe nang omah e Mbak sopo kae, andinge omah e Bu Gemi seng kerjo nang imigrasi? Pas iko hari raya ke 6 opo 7 ngunu. Pokok aku nebeng sampean ngeterne mbak iku nang Jember gawe ngurus teater 1. Alah Pak, maneng-maneng teater. Lek ngerti iku lebaran terakhir adewe, aku ga ngijini sampean kerjo. Aku mending cuti kuliah ae gak teater-teateran. 

Nang rekaman kui, sampean ngobrol karo mbah perkoro sistem pendapatane sampean. Si mbah kepo banget, sampean malah nggojloki mbah kon tuku mobil gawe sampean, wkwk. Pas iku aku kesel soale sampean mekso aku ngombe wedang teh panas. Jare ngeregani. Tapi lo Pak aku ga seneng teh gek yo panas. Sampean ape ngombe klempoken. Nang omah ngopi nang kono ngopi, hehe. Mari bahas kui, sampean bisiki aku perkoro bayaran seng sampean intukne sektas. Duite mlayu nang ndi kabeh. Sampean nyebut bakal nyiapne duit gawe arisan 550 ewu per semester. Arisan seng sampean rencanakan intuk e pas aku wisuda, gawe wisudaku. Pak, sepurane. Pas intuk e sampean, aku gung iso wisuda. Duit e tak gawe tambah tuku laptop. Lha piye, notebook e terlalu traumatis dan laptop e aning malah garai gelo moro-moro rusak. Iyo sih, arisan e intuk akeh. Tapi, pas iku covid Pak. Mbak Mimin mlebu RS pas meteng gedi. Diisolasi. Buk e yo gereng. Aku wedi Pak. Aku wedi banget kelangan Buk e koyok kelangan sampean. Aku tukaran gede karo Mas Put. Dee ngentengne covid. Aku sedih. Aku koyok cuma tinggal karo Buk e tok nang dunyo. Lha lek Buk e ga enek? Pak, pas iku meski aku wes tuku laptop anyar, aku ga iso mikir skripsi. Meski aku wes nemu psikologi jawa, kromodongsoku kalah karo situasi. Aku kudu ngerawat Ibuk.

Rekaman suarane sampean iku akhire temu. Aku meh frustrasi. Jawaku ngerungokne suarane pean ben iso turu. Lha kok malah lindu. Aku langsung chat Buk e. Tengah wengi kui Ibuk langsung buka chatku. Opo kiro-kiro pas dewe nang omah ngene iki Buk e yo sering nangisi pean koyon aku yo? Hehe, gpp Pak. Asal ojo nemen-nemen. Aku sengojo ngeforward rekaman iku nang buk e. Jawaku ben terdokumentasi ae engko. Eh, karena langsung centang biru mau langsung tak hapus. Aku ga siap buk e ngerungokne obrolan kita. Wedi buk e nangis koyok aku hehe.

Pak, dilut engkas aku wisuda. Sakjane yo, aku enggak begitu ambis nang momen formalitas iku. Cuma, koyok e sampean semangat sampe nyiapne dana jauh-jauh hari. Kok yo biyen wisudaku SMA sampean seng teko yo Pak, dadi saiki sampean ga enek pun rasane koyok gantian ae. Saiki gantian Ibuk seng ngancani aku. Toh lek sampean teko bareng Ibuk, paling yo emoh jak foto bertiga. Yo kan? Hahahaaha~

Pak, aku kangen. Tapi gak kangen-kangen nemen. Piye yo, kangenku wes dadi kebiasaan. Dadi yo yoweslah, hehe. Beh Pak, 2019 kae asline akeh seng pengen tak ceritokne. Tenan. Aku pengen balik dan meluk sampean tanpa alasan wkwkwk. Tapi, yaweslah Pak hehehe. Aku kangen SMS sampean lek lagi nang luar kota. Takon, dugi pundi Pak? Terus, nggeh ati-ati. Terus ngunu tiap saat mantau posisine pean. Aku yo kangen lo ditelpuni terus pas lagi nang kos atau dolan. Gak enek sampean, aku gatau chat nakokne kabare wong terus-terusan ngunu kui. Gak enek seng spam telpon koyok sampean. Buk e terlalu sibuk tandang omah koyok e, jarang nelponi. Dichat akeh-akeh pun balese yo sak kobere.

Pak, saiki kuliahku mari. Angel banget Pak ngelanjutne kuliah iki tanpo sampean. Tapi, untunge Pak, aku nduwe konco-konco seng apik. Nggak cuma siji loro, kabeh kancaku apik. Selama iki ae aku gak wani ngakoni support mereka karena ketutup kesedihan. Padahal, mereka yo enek digawe aku. Mereka bantu banget. Aku yo njaluk dongo nang poro sedulur Pak. Aku gak pegel-pegel maneh nang Mas Put. Sampean engko nesu lek awakdewe tukarang hehe. 

Saiki Pak, selain berharap intuk kerjoan seng apik dan mewujudne keingingane Ibuk dan pean, semoga keinginanku nulis gawe sampean yo kewujud. Aku lo Pak sampek wani ninggalne kuliah demi nulis kae, mosok seh Pak aku gak iso marekne kan? Aku gak berharap muluk, gawe iso terbit atau diwoco wong liyo. Cukup dadi disek ae. Ben nek aku kangen pean garek moco cerito-ceritone adewe, hehehe.

Oh yo Pak, aku wes 25 tahun lo. Aku gak ngerti piye preferensine sampean gawe calon mantu. Sampean gak pernah bahas iku sama sekali. Aku pun gak nduwe keriteria tertentu. Karena enek sampean dan Mas, aku ga terlalu peduli pasangan. Tapi, Pak, koyok e saiki wes wayahe deh. Hmm, aku sek bingung dan gak ngerti perkoro ati seng ngunu kui Pak. Cuma, aku pengen wong seng gelem ngerungokne cerito-ceritoku tentang sampean--yo di samping hal-hal lain seng enggak negatif tentune.

Pak, koyok e lek iki tak lanjut iso sampek isuk. Mpun riyen nggeh, wkwkwk. Sepurane aku cuma boso pas apene njaluk duit atau izin sesuatu. Yo piye, Alit, hehehe. Pak, sejak sampean gak enek, aku enggak pernah nangis seneng. Meski ngalami hal indah sampe nggarai nangis, aku enggak iso nganggap iku air mata bahagia karena enggak enek sampean maneh nang dunia iki. Tapi, insyaallah, kali iki, aku iso menganggap kebese mripatku saiki tangis bahagia yo. Tangis bahagia seng emang dilumpukno gawe saiki. Isek sesek sih Pak, dodoku, tapi insyaallah mari ngene wes enggak opo-opo. Wes tak sampaikan keluh kesahku nang sampean iki, hehehe.

Mpun enggeh Pak. Enggeh, Alit selalu jaga diri. Matur suwun. Assalamualaikum.

Minggu, 23 April 2023

Selamat Lebaran,

Selamat lebaran! Selamat maaf-maafan!! (Iya, maaf-maafan tuh nggak selalu maaf beneran, hehe~)

Sumpah ya, banyak banget yang pengen kutulis. Mulai dari lanjutin tulisan di Medium (Pekan Menjelang Lebaran) yang stuck hampir seminggu, tulisan galau dan unek-unek pasca hal traumatis itu berlangsung, tulisan kekesalan lebaran tahun ini, aku dan satu nama (Kampret) yang kebetulan banget ketemu di makam waktu itu, tulisan tentang Lena karena setelah lebih dari 10 tahun akhirnya ketemu (ga sengaja) dan ngobrol (dikit), tulisan tentang konten drakor yang habis kutonton, tulisan-tulisan fiksi yang sebenernya sering banget terlintas, dan terpenting nulis (ngerjain revisi). Semua itu kutunda terus menerus sampai sekarang. Entah, saking banyaknya keinginan dan saking nggak mampunya diri. Mungkin udah capek sama hidup kali ya. Nggak ada seneng-senengnya sama sekali. 

Revisiku beneran banyak dan belum kusentuh sama sekali. Dari sekian banyak printilan, dua hal besar yang musti direvisi terkait analisis pertama dan kedua. Analisis 1 kudu benerin hampir separuhnya (dan ini sulit), sementara analisis kedua, bisa dibilang, ganti total. Aku sedih banget sebenernya, tapi enggak bisa marah karena sudah menduga ini. Aku tahu ada yang enggak beres dari sejak mengerjakan. Tapi, aku enggak tahu gimana cara ngebenerinnya. Untuk itu kan ada 2 dosen buat membimbing. Di kasusku, mereka oke-oke aja. Aku sudah merasa hal kayak gini bakal kejadian dan bener kejadian. Mau marah, tapi ya buat apa? Enggak bikin revisiku kelar. Si ibuk yang ngasih revisi ini pun udah mewanti-wanti bahwa dia enggak bakal nyalahin pembimbing karena para dosen sibuk, iat.

Dosen satunya, yang enggak ngasih revisi substansial, cuma sialnya aja, bener-bener bikin mentalku hancur. Dia ngasih pertanyaan-pertanyaan di luar konteks yang bikin aku merasa goblok banget sumpah. Mana aku beneran jadi goblok lagi. Masa nyebut informan aja susah tai. Otakku cuma nyebut narsum-narsum aja. Padahal aku bukannya yang enggak tahu. Sial banget. Pertanyaan itu sukses bikin aku malu sama diriku sendiri, pun para dosen lain di ruang jurusan yang meski seperti sibuk dengan urusan masing-masing, tapi enggak menutup kemungkinan juga denger aku dimarah-marahin kayak orang goblok. Dan part selanjutnya yang bikin aku merasa semakin goblok adalah ketika beliau melemparkan pertanyaan random di luar konteks dan... konyol aja sih. Sumpah berapa kali aku ngejelasin beliau ga terima jawabanku. Sampai aku fafifu wasweswos bahas Bekisar Merah (yang aku ga yakin ceritanya beneran begitu karena udah lupa) beliau ngangguk-ngangguk aja. Padahal aku beneran cuma fafifu. Menurutku jawabanku enggak menjawab padahal. Kan, kayak aku goblok banget. Udahlah, kejadian di meja beliau itu mengingatkanku pada kejadian serupa bersama beliau di tempat yang sama empat tahun lalu. Tapi, ya sudahlah. Dengan aku nulis ini, aku menghadapi trauma itu. Aku sudah cerita ke beberapa teman yang kutemui setelah semhas, tapi rasanya enggak seberat nulis di sini. Karena kelak, aku akan baca lagi sambil nangis.

Energiku udah habis buat mengelola emosi selama menjelang lebaran dan melalui lebaran ini. Memutuskan untuk di rumah aja, enggak segampang melakukan. Aku menarik ulur diriku. Boleh ya begini? Apa tidak apa-apa? Pada akhirnya aku menikmati ketersiksaan batin sambil menyiksa orang-orang di sekitarku. Mungkin dengan menjawab sensi ketika diajak pergi, atau bersikap apatis seakan enggak mau berbaur dan silaturahmi. Padahal I did it. Dengan penuh usaha. Hari raya pertama aku gabung rombongan keluarga keliling kampung. Meski tanpa Ibuk karena dia nyelawat ke kerabat bareng sepupu dari Situbondo. Padahal langkahku itu sudah merupakan negosiasi, tapi selama keliling, aku makin sadar, aku sudah terbiasa dengan ketidakberadaan Bapak, tapi aku belum bisa menerima kritik ke orang tuaku, Ibuk. Salah satu kakak sepupuku bilang, jika momen lebaran yang paling utama ya setelah solat dan keliling kampung. Tapi, ibukku malah takziah yang udah lewat dan masih bisa besok-besoknya. Aku sudah mengingatkan itu ke Ibuk, dan bersedia mengantarnya terpisah di lain waktu. Tapi, demi keponakannya yang lagi mudik itu, kami bahkan hari itu enggak salam-salaman selain di mushola selepas solat. Kejadian itu bukan apa-apa dibanding masalah beberes rumah yang terjadi sejak aku pulang sampai sebelum solat ied. Aku bener-bener Sung Bora yang durhaka. 

Tentu kekesalanku bukan tanpa alasan. Pun, nggak kira cukup menjabarkan alasan-alasan itu. Yang jelas, itu juga bukan salah Ibuk. Situasinya memang nggak mendukung. Kesibukan Ibuk bukan kehendaknya karena kami tinggal di lingkungan sosial yang tinggi. Aku harus menerima, wong Ibuk saja yang melakukan hal-hal itu saja ikhlas. Ya, gimana ya, aku kesel aja. Aku capek dengan diriku dan duniaku yang begini. Aku... nggak lagi menuntut banyak hal ke Tuhan. Tapi, kenapa rasanya susah banget hidup jadi aku. Betapapun aku berusaha bahagia, dan mengendalikan kebahagiaan agar saat sedih enggak sedih-sedih banget, rasanya ada satu lubang yang enggak terjamah mulur-mungkret. Lubang yang udah lama menganga, yang makin lama makin lebar. 

Kerjaan yang kukira bakal membuat pikiranku terbias olehnya malah bikin pusing. Okelah aku bisa menghindar dari transkrip podkes yang bikin pusing itu karena jatah task sering habis. Tapi, menyadari aku cuma mengerjakan sekali selama gabung, kek... apa yang bakal kudapet bulan depan? Nggak ada pendapatan dong. Proyek transkrip satunya masih enggak ada hilal. Dan yang lebih bikin gelo adalah Mathpresso yang buka lagi dan mulai tes, tapi aku terlalu enggan buat hapus chache broswer agar bisa akses laman mereka. Iya, Mathpresso paling menjanjikan dan enggak bikin telinga sakit (bonus membiasakan mengetik hangeul), tapi ya itu hanya janji buatku. Karena sudah hampir dua tahun aku masih waiting list. Tiap ada recruitment, aku daftar, daftar, daftar, tapi enggak pernah kepanggil lagi. Entah kendala teknis atau kinerjaku dulu yang enggak sebagus worker lain. Intinya aku sudah usaha. Aku sampai ke batas-batas itu. Dan saat ini, saat aku enggan masuk ke laman cafe mereka dan menghafal rumus-rumus serta ketentuan-ketentuan baru, rasanya kayak meme orang gali berlian ituloh. Jelas banget tinggal typing dan bisa kerja lagi kayak dulu. Tapi, aku takut ini cuma jadi another waktu tunggu seperti dulu-dulu. 

Aku menyerah pada kerjaan-kerjaanku dan malah menelantarkan skripsi. Bener-bener pecundang. Bukannya dulu aku mulai setelah merasa tidak ada yang kulakukan lagi selain skrispsi, sekarang kan sama. Ada task pun aku enggak mau ambil. Ada kesempatan ikut tes lagi juga ga kuikuti. Terus maumu apa? Rewatching udah, nyelesaiin survival show udah. Harusnya kamu yang survive. Mau mengeluh tentang perasaan? Afeksi? Cinta? Benerin dulu hidupmu! Bukannya selama ini kamu memang menghindar dengan hal-hal itu karena merasa enggak pantas? Enggak mampu dan enggak mau? Ya sudah, ikuti alur yang udah kamu bikin. Enggak usah rewel karena kamu adalah anak yang keren (konteks ada di novel Kita Pergi Hari Ini). Anak keren adalah seburuk-buruknya versi hidupku. Anak yang rewel adalah aku yang dulu dan harusnya begitu. Aku ingin rewel dan pintar, biar bisa nyelesaiin skripsi ini. Kalau terus-terusan jadi anak yang keren, aku mungkin bakal memilih pilihan yang terlalu keren sampai bisa bikin sebuah alur cerita yang mengenaskan kerennya.

Kuliah berantakan, kerjaan nggak ada yang beres, keluarga udah ga kayak dulu lagi, percintaan ngenes, males nulis, capek ngedrakor, udahlah, pengen end of the day aja. Hehe siapa tahu jodohku udah muncul pas aku otw 20 tahun. Tapi, karena dia orang spesial, dan aku juga sama spesialnya, dia harus pergi ke tempat hampa terlebih dahulu dan menghapus ingatanku. Sementara sama-sama hidup di kehampaan, aku menjalani hidup yang begini-gini ini. Nanti, usia menjelang 30-an, aku bakal panggil dia secara tidak sengaja. Kemunculannya bikin ingatanku yang hilang jadi ikutan balik. Kami bahagia sejenak sebelum akhirnya aku meningg--ah, lucu. Nice story Alit. Tapi, genre hidupmu bukan romcom, meski ada mati-matinya. Jadi, stay strong soalnya manusia jahat masih ada. Jangan jadi jahat juga ya, Alit. Semangat dan selamat!


Minggu, 29 Januari 2023

Aku dan Kisahku: Compast

Haiiiii.... Selamat tahun baru ya. Semoga senantiasa sehat dan waras! 

Agak kaku nih, lama ga nulis di sini. Tapi, yaudahlah. Aku mau nulis asal. Biar lega. Biar terberkas aja.

Compast. Sebelumnya, aku nulis tentang Compast di Medium. Sama-sama buat pembukaan alias tulisan pertama tahun ini. Agak enggak penting, ya. Tapi, enggak apa-apa. Emang itu kok yang lagi terjadi. Cepat atau lambat, emang aku rencana nulis tentang mereka. Tapi, di sana aku malah banyak bahas Ryfar. Kalau Ryfar, di sini udah sering kan ya. Baiklah, aku beneran mau nulis tentang Compast sekarang.

Sijak!

Compast. Barusan pas nulis judul, aku kepikiran. Ini nama compast, maksudnya come-past apa ya? Datang tapi udah berlalu. Hahaha, ngereceh sih. Compast tuh kalau enggak salah kepanjangannya Comunity of... apa ya? Pokoknya ada IPA 2-nya. Yap. Kami tiga tahun sekelas terus. Seperti yang udah kubilang di Medium (sana baca dulu wkwk), Ryfar dan aku enggak begitu deket sama semuanya. Sebenernya enggak cuma Ryfar sih, yang jarang kumpul. Ada Syfa, Ayu, Inam, dan banyak lagi, itu sedikit yang terlintas. Cuma mungkin karena Ryfar berkelompok terus, berlima, jadi kelihatan banget kotaknya. 

Compast kayaknya ngasih aku trauma enggak kasat mata. Entah, tapi ada keengganan buat berinteraksi sama mereka. Sekecil di sosial media. Mungkin memang karena awal ada jarak di antara kami, di sosmed atau sosial aja. Respon mereka yang enggak semuanya baik, bikin kapok buat bertindak. Fyi, aku sedari dulu suka ngereceh. Mungkin keterlaluan kali ya, tapi aku rasa recehku dulu enggak separah sekarang. Pun, aku juga ngelihat situasi kok. Tapi, teman-teman non-ryfar yang mayan deket, selalu abai kalo aku ngereceh. Ya udah sih, aku juga enggak nyari perhatian mereka. Cuma berekspresi. Karena seperti apapun mereka ngecam recehku, aku ya tetep lempar jokes. Lama-lama aku mengurangi intensitas ngomongku di forum. Karena apapun yang kukatakan, selalu dianggap ngeyel. Kali ini, enggak cuma dari temen-temen deket. Aku pernah dapat julukan tukang ngeyel. Padahal, aku cuma mengutarakan pendapat. Enggak pernah memaksa. Mungkin itu juga ya, yang bikin aku bertahan di Ideas. Dulu awal masuk, kami diberi 'kesempatan' buat bicara. Ah, aku jadi inget kenapa aku suka ngobrol sama anak-anak Persuasif. Mereka bisa 'menerima' kerecehanku.

Compast enggak bisa ngasih peluang itu buatku. Dan aku pun enggak lagi berusaha untuk nyari peluang itu. Bukannya yang enggak sama sekali sih, tapi kayaknya emang enggak jodoh aja. Dunia kami beda. Materi emang mempengaruhi, tapi enggak semua soal duit. Ada beberapa dari mereka yang 'memaksakan' diri berlaku demikian. Aku enggak mau begitu. Enggak ingin, dan enggak ada perlunya. 

Tahu apa yang paling kucemaskan pas nikahan Mbak Rima dan Fajar? Ketemu Compast.

Compast pasti ada di nikahan Mbak Rima atau Fajar. Aku pasti dateng dong, di pawiwahan dia dan nganter manten ke rumah Fajar. Pasti ada anak Compast. Setidaknya Tio dan Dicky. Dua anak itu sudah kuprediksi, dan aku dengan senang hari jika ketemu mereka aja. Tapi, karena Fajar yang bisa merangkul banyak orang, pun terbilang sukses, pasti banyak lain yang datang. Pasti. Syukurnya di pawiwahan mereka, hanya dua anak itu teman laki-laki yang datang. Kukira, teman perempuan yang datang cuma Ryfar dan Sella. Ternyata ada Uti dan Lindun. Uti temen sekolah yang jadi roommate pas kuliah. Sedangkan Lindun... mereka sering double date kali dulu, sama tio. Secara personal aku deket sama Lindun. Selain sama-sama main marching, ternyata kami masih kerabat, kayak ke Mbak Rima. Ini enggak baik mungkin, tapi agak lega sih, hanya mereka yang datang bahkan sampai penghabisan malam. Dan tahu, di lingkar kecil itu aja, aku enggak diizinkan foto bareng mereka. I mean, foto bersama, foto Compast, aku enggak ikut. Padahal nikahan Mbak Rima. Agak ngeselin sih Uti. Katanya mau numpang poop ke rumahku pas sesi doa pawiwahan baru selesai. Sampe rumah malah nunggu HRD nelpon. Mau wawancara katanya. Sesi foto bersama lewat deh. 

Compast di nikahan Fajar, enggak begitu bersentuhan denganku. Aku ada pas sesi ngunduh mantu dan... semacam ritual formalitas ala BUMN berseragam kali ya. Jalan di altar dan lempar bunga. Persis kayak teateran taii lah. Tio yang sealmamater sama Fajar juga ada di sana. Iyalah, sirkel kerja mereka kan sama. Dicky awalnya ada tapi entah hilang kemana. Aman, deh. Pas udah sore, Tio bilang dia mau balik dulu. Nanti balik lagi sama anak-anak. Anehnya, dia ngomong sambil kayak bilang kalau aku bakal nunggu mereka aja. Sebaliknya, aku malah justru pengen buru-buru pulang. Rumah Fajar yang mayan jauh, bisa jadi alasan. Karena kami berangkat bareng mobil karena hujan, motor Yesi ada di rumah Mbak Rima. Kami pinjem motor Fajar buat ambil motor Yesi dan balikin motor Fajar lagi. Aku udah ketat-ketir bakal ketemu secara enggak sengaja sama mereka karena sampa rumah Fajar yang kedua cukup malem. Dan syukurnya, itu enggak terjadi. Pas aku sampai rumah, anak-anak bagiin video di grup alias tepat banget pas kami udah perjalanan pulang kali. Dan aku lega.

Kayaknya, kemujuran prihal Compast selesai di nikahan mereka. Tadi, setelah berpikir panjang sekali, aku datang ke nikahan teman. Iya, yang pernah kubahas di Medium itu. Yesi, si pelopor kondangan, enggak bisa datang karena hari ini juga nikahan kakaknya. Mbak Rima, pasanganku di berbagai kegiatan sekolah udah ke luar kota ikut Fajar. Fikoh, aku tahu Fikoh susah-susah gampang diajak jalan. Aku pun malas ngajak duluan. Aku tahu apa yang dia pikirkan, dan dia juga tahu pikiranku. Pikiran kami hampir sama prihal ini. Dan setelah diskusi pendek, kami sepakat berangkat. Pertimbangan pribadiku adalah karena ingin bertemu secara langsung sama manten dan ngucapin selamat. Ya karena aku bukan tipe nimbrung di grup dan ngasih ucapan. Pun, beberapa bulan yang lalu dia nge-follow ig-ku tapi enggak ku-acc, hehe. Aku merasa enggak perlu aja. Kesel juga iya sih. Soalnya aku inget kami pernah mutualan. Ya mungkin ig-nya eror, tapi peduli setan. Aku enggak mau terikat hubungan sosial aja. Meski gitu, dia ya tetep temen Compast yang pernah ada di masa lalu. Jadi, aku pengen secara langsung ketemu. 

Tapi, rencanaku hari ini sedikit berantakan. Hujan dari pagi sampai sore. Meski janjian sama Fikoh jam 4, aku rencana berangkat dari awal buat fafifu. Sayangnya, hujan barur reda jam 4-an. Aku baru siap otw setengah jam kemudian. Pas lewat rumah Aninda yang sejalan sama rumah Fikoh, aku lihat banyak motor di sana. Aku mengenali salah satunya. Punya Mawang. Temen sekelas kami juga, pacar Aninda sejak kelas 3. Hahaha, inget banget Mawang nembak dia di kelas dengan mengerahkan seluruh awak kecuali Ryfar kayaknya. Hahaha, aku enggak tahu ada apa, tiba-tiba kelas ramai akting dan tara... kek drama wkwk. Mawang nih lumayan deket sama Ryfar karena di kelas 3 pernah les bareng. Dia pas itu jadi ketua juga sih, dan aku bendahara bareng Tio, hehe. Pas itu juga, kayaknya Mawang ada 'sesuatu' sama Mbak Rima. Cuma Mbak Rima enggak peka dan Mawang pikir-pikir kali ya karena beda Tuhan, hehe. 

Sampai rumah Fikoh udah lebih jam lima. Aku ngasih tahu Fikoh dan kami buru-buru berangkat biar enggak bareng mereka. Pas lewat rumah Aninda, kuhitung ada empat motor. Bisa lebih empat orang kan kalau mereka datang boncengan. Selain lewat depan rumah Aninda, kami juga lewat depan rumah Inggil. Dia ini salah satu yang berprivilege tapi mayan merakyat. Cuma tetep aja sih, selalu ada di pihak terkuat wkwkwk. Di rumah Inggil yang sekarang berpagar tinggi, pintu dan pagarnya terbuka. Ah, pasti lagi nunggu anak-anak nih. Kami melanjutkan perjalanan dengan bahas skripsi. Pembahasan yang biasanya paling malas kulakukan bareng Fikoh. Terakhir kami bertengkar hebat tentang itu. Fikoh pun sepertinya juga merasa enggan kalau aku cerita masalah itu. Sebelumnya, aku bilang mau cerita dan dia cuek. Fikoh sadar dan tadi bilang itu karena dia takut kami bertengkar lagi, apa lagi di chat kan. Aku ngerti dan paham. Aku pun enggak mau cerita tentang skripsi kok pas itu. Obrolan skripsi dikit banget karena aku juga menghindari kekesalan hati dan komentar judge yang kemungkinan muncul.

Perjalanan lama banget. Kami sampai sana pas Maghrib. Pikirku, enggak apa-apa. Mungkin pas mantennya macak, atau apapun intinya sepi. Harusnya. Tapi, pas aku baru aja ambil semangkuk bakso, ada tangan melambai dari pojok depan dekor. Kayak kenal. Dan tara.... Silvi manggil kami. Dia sama Lindun, sama dekatnya denganku karena kami marching bareng. Meja lingkar besar di depannya berjarak dua langkah kaki. Ya, meja itu dikerubung banyak orang. Banyak banget orang. Orang-orang selain yang kutemui sebelumnya. Orang-orang yang pengen banget kuhindari. Rasanya kayak mau pingsan. Aku pengen pulang. Kenapa aku enggak mikir kalau bisa aja mereka ke sana rombongan? Timingnya jelek banget.

Dari Silvi aku tahu, mereka rombongan naik mobil. Hahaha, kenapa enggak mikir gitu ya? Biasanya kan juga gitu. Katanya, sebagian ngumpul di rumah Anin, sebagian di rumah Hebri. Baiklahhhh. Serius, aku nyesel banget datang. Enggak sempet juga nyalamin manten karena dia baru turun bentar pas aku datang lalu macak lagi. Kami enggak bisa nunggu lama lagi karena maghrib. Walhasil langsung pulang dan nitipin amplop ke ibunya. Jauh-jauh ke sana dan enggak sempet salaman sama manten tuh gimana?? Aku enggak enak sih sebelumnya. Apalagi pas aku bilang, Si Eva, pemilik ranking teratas versi perempuan, bilang kek, yaampun, masa belum salaman gimana sih.... hadehhh aku panik. Tapi, ya udah mau gimana kan? Sampai aku menyadari, biasanya pun manten yang datengin tamu kan? Ngasih amplop kan ya biasanya di akhir. Ah, ribet banget pokoknya berhadapan sama mereka. 

Udah nih, aku berharap udah selesai interaksi kami. Ternyata mereka belum balik. Masih pada di depan. Si cewe-cewe entah kemana. Ada Jati di depanku, aku mau nyapa sama bilang kalau temenku dari kelas lain ada yang ketemu dia di klinik hewan, tapi sungkan mau nyapa. Temenku anak Ambalan dan Jati ketumnya. Tapi, timingnya enggak pas lagi. Dia lagi ngobrol sama perempuan asing. Aku batal ngomong setelah manggil namanya. Ada Eza juga. Kami enggak saling mengeluarkan ejekan apa-apa. Enggak nanya kabar juga. Aku cuma mukul pundaknya dan entah gimana respon dia, tiba-tiba ada salah satu bocah yang paling kuhindari nyapa. Bilang kalo... apa ya? Aku lupa dia ngomong apa yang jelas mengulurkan tanga kami salaman. Tumben banget. 

Ya udah sih, gitu. Selama di dalam tadi, aku beneran enggak bisa jaga ekspresi. Karena duduk deket Silvi, ada bahan obrolan sih. Tapi, karena Silvi the most prittiest girl di Compast, selalu jadi objek kan. Waktu-waktu itu, aku enggak bisa banget nahan ekspresi. Dulu sih, biasa aja. Sekarang, kek murung aja. Aku ngalihin itu dengan main hape atau ngobrol sama Fikoh. Tapi, waktu berjalan lamaaa banget. Tetep aja rasanya sepi meski di sana rame banget. Males nyari topik obrolan buat Eva atau Keke yang enggak jauh dari aku. Inggil yang duduk di deket Fikoh udah balik duluan. Aku juga enggak nyapa Tirta yang duduk di depan Inggil. Enggak ada masalah personal sih, tapi males aja. Dia juga follow aku tapi enggak ku-acc hehe. Alasannya sama tapi dia ganti akun deh, karena dulu pas follow masih dikit follower dan following-nya. Adakah temen cewe yang belum kusebut? Rike? Dia duduk jauh banget di tengah-tengah temen-temen cowok. Pas beranjak, dia sempet nyapa, cipika cipiki sambil meluk. Agak iyuh tapi enggak apa-apa. Bener-bener, yang datang tadi itu, mereka-mereka yang enggak kutemui di nikahan Mbak Rima sebelumnya. Dan yang kutemui di nikahan Mbak Rima, enggak ada yang ada tadi. Mereka balik ke kerjaan mereka masing-masing. 

Hmm apa lagi ya? Uh, udah dua jam nulis wkwkwk. 

Hmmm aku berusaha untuk menjaga pikiran, perasaan, dan mentalku sendiri. Karena cuma aku yang ngerti itu. Aku tahu enggak semua anak Compast bajingan, pun aku tahu para bajingan pun juga ada yang menyenangkan, cuma masa lalu dan masa-masa yang ada enggak begitu baik, jadi ya sudah. Hubungan kami udah terlanjur begini dan aku enggak menyesal tentang itu. Justru menurutku ini seru. Setidaknya, bisa kutulis di sini, meski entah akan kubagikan kapan, meski entah akan ada yang baca atau tidak. Oh ya, aku sampai block-unblock satu mutual compast di Twitter. Kami jarang interaksi, beberapa kali ketemu di jalan pas di Jember. Dia dulu punya kesan buruk, tapi twit-twitnya menggambarkan dia juga punya 'masalah'nya sendiri. Agak berat sih nge-block-unblock dia. Tapi, aku takut aja sih, bacotanku tentang compast sampai ke mereka. Dia aktif banget twitteran. 

Ishhh, panjang bet ya. 

Hmm apa lagi? Udah? Hmm udah. Panjang banget. Ini tadi kalau nulis di buku pakai bolpoin gel 2500-an pasti udah habis. So... bye! Good luck me. Thanks... me. Semangat Alit.