Sabtu, 16 April 2022

Saat Terik Masih Jadi Milikku

Hari-hari di awal masuk sekolah menengah pertama, kuhabiskan dengan mendengungkan lagu Aishiteru milik Zivilia. Buku harian polos bersampul kuning yang kuberikan ke temanku, serta buku harian milik temanku yang sama-sama masih terisi sedikit, selalu terbayang. Kami pernah menukarkan buku harian kami sebelum hari perpisahan tiba. Aku menemukan lagu lirik lagu Aishiteru di salah satu lembar buku harian temanku. Lantas, kala buku kuningku kembali, kusalin lirik tersebut. 

Perlahan, harmoni lagu terdengar. Pelan, suara Zul sang vokalis terdengar. Aku tak pernah melewatkan acara musik yang menampilkan Zivilia. Bahkan, meski hanya sepintas saja, kutunggui lagu itu sampai habis. Aku sedikit hapal liriknya. Ya, kecuali lirik bahasa Jepang yang dilantunkan seorang perempuan di bagian akhir. 

Aku yang tak bersemangat hanya mencorat-coret meja. Kelas sangat gaduh. Wajar saja, aku masuk kelas A, kelas VIIA. Kelas ini isinya anak-anak badung. Murid-murid dengan nilai danem paling jelek. Murid-murid yang ada di garis terakhir daftar masuk SMP. Murid-murid yang hampir tak bisa sekolah di SMP Negeri. Ya, aku ada di kelas itu. Aku adalah salah satu dari mereka. 

Bodoh. Kebodohan yang kulakukan di UN-ku berimbas sangat berat. Jangankan masuk ke SMP favorit, bisa masuk ke SMP Negeri terdekat dari rumah saja susah. Aku ada di atas dua garis merah. Nyaris sekolah di sekolah swasta. Seperti kakakku. Untung saja nilai rapor dapat menolong.

Candra, dan Riska, teman SD yang saling berkejaran rangking 3 denganku, masuk ke kelas E. Kelas yang katanya berisi anak-anak pintar. E kadang diplesetkan menjadi eksklusif. Persetan dengan kelas E. Aku benci pengelompokkan itu. Bahkan, Angga, temanku yang agak bangor, masih bisa bersama Candra dan Riska. Devi, teman yang tidak begitu menonjol di pelajaran masuk kelas C. Mereka semua berada di atasku, jauh. Jujur saja, keirianku terhadap nilai mereka tak sebanding dengan rasa inginku bersama mereka. Aku ingin bersama-sama mereka. Berada di kelas manapun, asal bersama mereka. Aku rindu teman-teman SD-ku. Aku rindu mereka. Aku rindu Pita. Aku rindu Ellen, Nisma, dan semuanya. Apakah mereka juga demikian?

Pita. Kini, aku mengukir namanya di meja. Teman jangkung yang selalu mengepang dua rambutnya dengan pita. Aturan di SMP yang mengharuskan rambut dikuncir dua selalu mengingatkanku padanya. Style itu, bisa jadi zona nyaman Pita di SMP-nya sekarang. Ah, nomor Pita di ponsel ibuk sudah tidak aktif. Harusnya kalau mengganti nomor, bilang-bilang dong. Aku kan jadi sedih. Pita adalah teman yang mengenalkanku pada lagu Zivilia. 

Suara bel terdengar. Aku tak tahu jam ke berapa sekarang, yang jelas pelajaran Matematika selalu menyenangkan. Beberapa menit kemudian, gerombolan anak laki-laki masuk. Tumben sekali mereka masuk sebelum guru. Kelas semakin bertambah bising. Kawanan anak laki-laki itu kusebut bocah selatan. Rumah mereka berada di daerah selatan. Si yang paling gendut namanya Geri, si yang paling tinggi namanya Dedi, si yang paling nakal namanya Heri. Aku menyebut Heri paling nakal bukan karena dua lainnya tidak, hanya saja Heri sangat-sangat nakal. Dari 1-100, jika peringkat nakal Geri 78 dan Dedi 95, maka Heri bisa sampai 300. Sebegitu nakalnya dia. 

Dari Trio I (Heri, Dedi, Geri), yang sangat kuingat adalah Dedi. Saat itu, dia masuk dengan menyerotkan sepatu kotornya di kursiku. Aku berteriak kepadanya. Dia membalas dengan bentakan sambil berlalu. Duduk di depan menyebalkan. Apalagi di sisi jalan menuju bangku anak nakal-nakal itu. Lumpur tanah mengotori kursiku. Ah, lagi-lagi kelas ini menyebalkan. Meski tidak hujan, karena kelasku berada di paling ujung dan dekat gumuk, tanahnya selalu basah. Belum lagi jika hujan sampah di pojok gumuk turun dan aromanya sangat mengganggu. 

Eka, teman sebangkuku mengomentari kelakuan Dedi. Ya, hanya mengomel sendiri. Sedari tadi dia asyik mengobrol dengan teman-teman yang duduk di belakang. Stefani, Luky, atau siapa ya? Entahlah, yang jelas di sisi kananku, seberang jalan yang dilewati bocah selatan tadi ada Tansa dan Eldie. Belakangnya lagi ada Faan, Dwiki, Wildan, dan siapa lagi ya? Yang jelas belakangnya lagi ya para bocah selatan. Ah, ingatanku tentang perbangkuan lumayan ya. Kesemua yang kusebutkan tadi, laki-laki. Bangku deret kanan, dipenuhi laki-laki. 

Suatu saat, entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja Kholif memintaku beralih duduk denganku. Aku diminta duduk di deret nomer tiga dari kanan. Tepatnya di bangku baris ketiga, bersama Eka. Bukan, Eka yang ini, Eka Briyani. Nama depannya Briyani, tapi katanya biasa dipanggil Eka juga. Aku sendiri lebih sering memanggilnya Bri atau Brin. Brin bukan karena rambutnya yang brintik ya, hanya lebih singkat dari Briyani. Dan entah karena apa, mau-mau saja aku pindah. Padahal di tempat sebelumnya, tak begitu buruk. Ada Tansa yang bisa sedikit banyak kutanyai perkara pelajaran. Otaknya lebih encer dari teman-teman yang lain di sana. Dan sepertinya, alasan Kholif memintaku pindah karena ia ingin duduk di tempatku, tempat yang bersebelahan dengan Tansa. 

Aku menyayangkan Eka yang tidak menahan kepindahanku. Bagaimanapun, dia satu-satunya orang yang kukenal di sini. Eka, anak teman bapak. Aku ingat pernah bertemu dia saat Galungan ke rumahnya. Jadi, karena itu aku memutuskan duduk bersamanya. Setelahnya, saat sudah pindah tempat duduk, mau tak mau aku berkenalan dengan Eka satunya, Briyani Eka. Awalnya aku tak begitu suka dengan dia. Pasti ada alasan kan, kenapa sampai seseorang yang duduk bersamanya pindah? Namun, lama kelamaan, aku cocok-cocok saja berteman dengan dia. Kholif saja yang gatel (Astaga!). Briyani adalah teman yang cukup pintar. Aku bisa bilang, dia mungkin sedikit lebih di atasku. Dan satu hal yang sangat membuatku selalu menjadikannya spesial, dia lahir tepat sehari sebelum aku. Kami, sama-sama Aries. 

Hari-hari berjalan dengan menyenangkan. Aku tak begitu memikirkan Pita. Masalah ekonomi yang diderita keluargarku saat itu, tak lagi mengganggu. Aku sudah bisa beli buku tulis baru saat duduk bersama Briyani. Guru Matematika yang ternyata tetangga suami kakak sepupuku, sudah sangat mengenalku. Tak memalukan, ajaran dari kakak sepupuku yang lain perlara aljabar dan sebagainya, membuat aku semakin menonjol di Matematika. Aku dan Briyani bagai rival. Selalu menjadi yang maju ke depan untuk mengerjakan. Namun, kami tak pernah bertengkar. Ya, kalau ketika Briyani sedang tidak mood dan tiba-tiba kesal kepadaku sih, sering. Silent treatment yang baru kusadari itu. Dulu aku biasa saja karena sudah biasa menghadapi bapak yang tempramental. Jadi, Briyani bukan apa-apa. 

Lain deret kanan, lain deret kiri. Di bangku seberangku ada Arif dan Kadek. Di depannya Yoga dan Riky. Keempat laki-laki itu, selanjutnya akan menjadi teman dekatku. Aku sering mengobrol bersama mereka, terlebih bersama Arif. Bocah laki-laki itu tingginya tak lebih dariku. Dia, tak senakal yang lain. Namun jika sudah perang dasi, dia akan mengejar sampai terbalaskan pecutan. Kadek, teman yang lucu. Dia berbadan kurus. Tak begitu tinggi, namun lebih tinggi dari Arif dan Riky. Dia agak pendiam. Namun, sekalinya berbicara, asal sekali. Tipikal yang ceplas-ceplos. Yoga biasa kami panggil Ndas Pacul. Tingginya sepertinya sedikit lebih dari Kadek. Namun, itu mungkin berkat rambut jabriknya. Rambut lurus yang mengembang. Ternyata panggilan Ndas Pacul itu bertahan sampai kuliah kelak. Sebenarnya ada julukan untuk tiap orang. Namun, yang sangat kuingat hanya Ndas Pacul. Dan Riky adalah sumber sebutan-sebutan itu. Julukan untukku, banyak dan beragam. Tentu saja jelek dan menjijikkan. Untung saja aku sudah lupa. 

Keempat laki-laki itu, selain suka mengajak ngobrol, juga suka menyontek. Ya, kadang aku juga menyontek mereka sih. Simbiosislah. Paling benci kalau teman-teman di belakang mereka ikut-ikutan. Saiful dan Setyadi, semacam bocah selatan versi Tampo (sebuah desa di kecamatan sebelah). Belakangnya lagi, tempat duduk yang sering kosong. Andis dan harusnya Heri. Andis teman yang rumahnya ternyata tak jauh dari rumahku. Dan Heri, si anak paling nakal yang hampir tak pernah masuk sekolah. Aku bahkan tak ingat di mana tempat duduknya sebenarnya. Kalau anak-anak nakal di belakang itu sudah mendekati Arif, dia mau tak mau menyerahkan bukunya. Saat-saat itulah saat yang menyebalkan. Tak mau ikut mikir sama sekali. Boro-boro sih, aku yakin mereka tak mendengarkan penjelasan dari guru. 

Selain mereka, aku punya teman dekat lain. Perempuan. Namanya Lucita. Dia anak polisi. Kalau di kelasku ada Vita yang terkenal di seantero sekolah (bahkan sekolah lain), kepopuleran Lucita ini kira-kira ada di bawah Vita. Dia duduk di seberang Briyani bersama Vita. Entah kenapa kami dekat. Sepertinya karena kami sering ke kantin bareng, bersama Briyani juga. Aku tak ingat jajan mereka, tapi tentu ingat jajanku. Minumnya, kalau tak teh hijau, ya frenta. Jajannya apa ya? Pokoknya, total tak lebih dari dua ribu. Kalau pas ada lebih ya beli pentol. Ah, benar-benar finansialku jeblok sekali. Uang jajan SD-ku bahkan dua-tiga kali lebih banyak dari saat SMP. 

Lucita ini yang mengenalkanku dengan dunia K-pop. Setelah menerima hadiah ranking 2 berupa ponsel bekas dari suami atasan bapak (kelak jadi kepsek SMA-ku yang problematik), Lucita mengirimkan berbagai lagu K-pop lewat bluetooth. Saat-saat itulah, aku baru tahu kalau sinema Asia yang selalu kutonton di TV setiap sore berasal dari Korea. Serius, aku sudah sangat menggilai drama-drama itu sebelum tahu asal muasalnya. Karena sering bergaul denganku, Lucita juga lumayan dekat dengan Arif cs. Dan tentu saja dia mendapat julukan juga dari Riky, meski aku lupa apa itu. Lucita juga sering kena pecut dasi anak-anak, namun ia tak bisa membalas pecutan seperti diriku. Ya, bagaimana ya? Sebagai adik yang sering dipecut sarung Mas, aku tentu bisa melawan. Mungkin kakak Lucita tak senakal kakakku. (Oh ya, kakak Lucita kelak jadi seniorku di marching SMA).

Selain kebersamaan dengan teman-teman, ada satu hal yang sedikit membuatku bahagia. Pada waktu itu, SMS jadi alat komunikasi alternatif yang bisa diakses semua anak. Sering ada satu broadcast kata-kata mutiara atau template tertentu. Di salah satu template yang berisi semacam, "Meski kamu tak sepintar A, tak setampan B, tak sekaya C, tak sebaik D,..." Dan kalian tahu namaku ada di mana? Ada di 'tak secanti Alit'. Jujur saja, saat itu rasanya lebih seperti ejekan. Bagaimana bisa aku disebut cantik, alih-alih pintar? Ya Tuhan, aku dulu sangat amat jelek. Jauh lebih jelek dari saat SMA. Dan, jika kuingat hanya cemooh yang kudapat dari teman-teman sebelumnya. Si pengide template itu sepertinya terlalu baik. Atau tak tahu saja menempatkanku di bagian mana. Jadi, pikiran semacam, 'semua perempuan kan cantik' pasti muncul. Meski sampai saat ini aku tak tahu orangnya. 

Hal menyenangkan lain di kelas itu? Keberadaan Tansa? Hahaha tidak. Aku si denial ini pernah mengira Tansa suka aku. Tapi, logikaku sudah berani menolak. Aku sudah tahu diri rupanya. Tansa, meski tak sepopuler Faan, dia tak kalah keren. Hanya tinggi badannya saja yang jauh. Nyatanya kelak akan ada masa dimana dia diperebutkan oleh perempuan-perempuan termasuk Kholif. Oh dan tentang Tansa, alasanku berpikir demikian adalah karena ketika aku pindah dia juga ikut pindah. Tansa sering mengambil tempat Kadek. Jadi, dia mengalah pindah ke tempatnya bersama Eldie. Tak jarang juga Eldie yang tiba-tiba mengambil tempat Kadek. Namun, sulit untuk dipungkuri kalau aku jadi lebih sering memperhatikan Tansa. Tak hanya di tempat Kadek, kadang dia duduk di tempat Uut atau Risky, dua baris di belakangku. Entah kenapa, aku pernah sedikit berpikir demikian. Hanya sekilas dan semua berlalu bergitu saja. Kegeeranku sebatas pada pikiran yang baru kutelurkan sekarang. Baik Tansa dan Eldie, keduanya tak lepas dari permainan pecut dasi. Mereka juga koloni dalam bermain, meski tak serutin empat laki-laki lainnya. 

Aku tak menyangka masa menyenagkanku di SMP hanya sebatas itu. Selanjutnya, hal yang dalam hati kudengungkan, menjadi nyata. Sebersit keinginan untuk bisa sekelas dengan teman-teman SD, terjawab dengan masuknya aku ke kelas E. Lebih tepatnya VIIIE. Kelas eksklusif yang benar-benar eksklusif. Kelas berisi anak-anak pilihan yang benar-benar pintar. Dan aku membenci kelas itu. Tak ada Candra atau Angga, alih-alih Riska. Aku tak begitu dekat dengan dia. Dan lingkar pertemanan di kelas eksklusif itu semakin membuat renggang hubunganku dan Riska. Padahal dia duduk tepat di depanku. Aku yakin Candra dan Angga pun sudah berbeda--ya jika tidak harusnya mereka juga bisa masuk kelas E juga dong.

Ah, masa-masa di kelas delapan itu sudah banyak kuceritakan di kisah-kisah sebelumnya. Saat itu, saat yang redup. Duniaku saat keluar menuju sekolah hanyalah gelap. Terikku sudah hilang. Teman-teman yang menyenangkan tak lagi ada. Briyani, satu-satunya yang bersamaku di kelas itu, tak jarang melukai. Aku bertumpu pada duniaku sendiri. Buku, dan obrolan tentang Korea sedikit menghibur. Namun, tetap saja itu semu. Aku kehilangan dunia yang sesungguhnya. Terik tak lagi milikku.

Sabtu, 09 April 2022

I don't know

Aku nggak tahu mau nulis apa. Padahal, kemarin-kemarin banyak banget yang pengen kusampaikan. Beberapa udah kupost langsung. Beberapa yang lain mengendap di kepala. Sampai-sampai, draft Tiga-Tigaku, juga tersisih. Padahal part 2 telah selesai, dan part 3 sudah hampir selesai.

Omong kosong. Ini pembahasan yang tidak penting. Tadi, tadi saat aku mencuci baju, banyak ide dan topik yang bermunculan. Niat menceritakannya juga ada. Namun, saat sekarang ini aku mulai menuliskannya, semua itu hilang. Sebenarnya, aku ingat salah satu judul. Tapi, percuma. Aku tak tahu apa yang akan kutulis.

Hari ini kosong. Tidak sangat kosong, namun membuat diriku lelah. Progres skripsiku tak berjalan baik. Waktu seminar yang semakin dekat, sedikit membuat takut. Padahal sebelum-sebelumnya ingin cepat-cepat. Kesal. Kenapa hari merahku adalah hari ini? Harusnya besok atau lusa, agar ketika sempro tak begitu ngos-ngosan. 

Oh ya, aku akan sempro. Hmm, tidak mengejutkan harusnya. Bukan juga hal yang spesial. Tapi, ini benar-benar memerlukan persiapan lama. Jika waktu yang kuhabiskan untuk menganggurkan skripsi dihilangkan, maka waktu yang kugunakan untuk mengerjakan skripsi tak selama menunggu proses seminar. Paham kan? Ya, coba mulai. Semampunya. Sedikit dipaksa dari pada enggak ngapa-ngapain. Jadi ya... begini. 

Aku masih agak cemas sama dua dosen pengujiku. Selain memang dosen-dosen sastra terkenal tidak objektif, kedua yang kudapat kebetulan sangat.... spesial. Aku harus menginjak diriku lebih keras agar sakit yang kurasa kelak dapat kukendalikan. Jika kalian merasa aku berlebihan menanggapi kedua dosenku itu, kalian salah. Aku pernah ada di situasi yang selalu sial di hadapan mereka. Ini mengerikan. Urusannya bukan lagi kemampuan, manner, atau apapun tentang diriku, namun tentang mereka dan keadaan. Bagaimana mereka menanggapi orang-orang yang serius dan benar-benar berjuang serta bagaimana Tuhan memploting jalan kami agar kebersinggungan yang terjadi tak menghasilkan hal negatif. 

Sudah pernah kusampaikankah jika usaha untuk mengerjakan skripsi ini adalah langkah awal aku untuk sedikit berubah menjadi lebih baik? Menjadi aku yang setidaknya meski tidak baik-baik amat, namun bukan golongan orang jahat? Aku masih tetap berjuang di titik itu. Tidak sekedar dari apa yang kubaca, namun juga apa yang kurasakan. Mulai mengilhami diri dengan semakin melihat ke sudut-sudut lain. Aku tak ingin orang-orang di sekitarku merasakan kesedihan yang kurasakan. 

Sedikit kesenangan di sore ini, paketku tiba. Sebenarnya sudah sampai dari siang. Tapi karena perut yang sakitnya aneh, aku tidur lama sekali. Menanggalkan tanggung jawabku yang akhir-akhir ini jadi pikiran. Aku banyak pikiran tapi malas berpikir. Hanya mengendapkan diri pada kemuraman. Harusnya aku membuka laptop ini sedari pagi, sedari tadi. Harusnya aku melepaskan beban pikiran dari awal. Ah sudahlah. 

Baik, sepertinya cukup. Ada banyak yang masih ingin kusampaikan. Mungkin setelah ini akan kulanjut di tulisan lain. Aku mau makan atau mandi dulu. Semoga setelah ini aku ingiat apa yang sebenarnya ingin kusampaikan. Sekian ya, semoga bahagia.

 

Selasa, 05 April 2022

Pernah Nggak Sih Dikado Kenangan?

Aku pernah dikado kenangan. Hadiah ulang tahun yang nggak akan pernah kulupa. Seumur hidup, untuk pertama kalinya diberi kejutan oleh teman-teman. Iya, teman. Teman rasa keluarga.

Sepertinya aku pernah berkisah tentang ini, di salah satu cerita yang kutulis untuk merayakan ulang tahunku. Saat itu, aku cukup senang dengan kenangan yang kupunya. Momen membahagiakan menginjak umur 20.

Berawal di hari Senin, hari ulang tahunku. Seperti biasa aku membuat jejak digital yang harusnya kupahami sendiri. Membuat beragam kata-kata ambigu yang kusebar di berbagai mediaku. Instagram, Facebook, dan WhatsApp. Jujur saja, aku ingin ada teman yang mengucapkan selamat padaku. Namun, aku tak berharap besar. Teman-teman tak ada yang tahu aku ulang tahun hari itu.

Senin terasa semakin berat. Setelah malamnya aku dan beberapa teman pulang pelatihan jurnalistik, beberapa matkul hari itu sangat menguras emosi. Bukan, bukan dosen yang bermasalah. Saat itu teman kelompok yang dari sirkel sosialita berulah. Aku dibuat geram olehnya. Hariku terasa menyedihkan. Ya, meski tanda mediaku masih penuh dengan tawa.

Keesokan harinya seperti biasa. Selepas jam ketiga kuliah, teman-teman bilang akan mampir ke tempatku. Kosan hijauku itu memang biasa jadi tempat kami melepas penat di jam-jam sela kuliah, base camp. Tapi, tumben sekali mereka kompak mau ke sana. Padahal biasanya aku yang menawari terlebih dahulu. Siang yang terik membuat mereka kewalahan. Salah satu teman berkata jika ingin beli es batu di dekat kosan dan berencana membuat es teh. Ide bagus.

Personil kami tak lengkap saat itu. Seingatku Fikoh dan seorang lain yang pamit beli es batu. Lalu, aku, Vera, dan entah siapa satu orang lainnya duluan ke kos. Tak ada yang aneh, tak ada yang ganjil. Biasanya ya begini. Sampai tiba-tiba mataku menangkap ramai di depan gerbang. Aku menduga-duga itu mereka yang beli es batu tadi. Tapi, sepatu biru yang kelihatan dari bawah gerbang, sepertinya itu Rosie. Dia tak ikut kami hari ini. Suara-suara gaduh semakin muncul. Aku... Sial, aku lupa bagaimana kelanjutannya.

Yang ada di ingatanku selanjutnya adalah gambaran Defi membawa sepiring besar tumpukan pisang goreng. Di atasnya, ada lilin putih polos berapi. Untuk sesaat aku tak paham apa yang sedang terjadi. Hingga lagu Selamat Ulang Tahun dinyanyikan. Ya Tuhan, ini kejutan? Aku mungkin tertawa saat itu, mungkin tersenyum, atau mungkin menangis. Yang jelas terharu. Mereka tahu tanggal lahirku yang jauh beda dengan di KTP saja, adalah sebuah hal membahagiakan.

Defi bilang ia tak mendapatkan lilin ukuran normal, jadi seadanya. Lantas aku mengeluarkan segepok lilin kecil dari lemari. Kalau mereka bilang kan bisa kukasih, wkwk. Semua temanku ada di sana. Seingatku begitu. Mungkin, hanya Anisa yang tak hadir. Aku lupa detailnya, tapi tak teringat ada sosoknya di adegan manapun.

Acara selanjutnya, dengan pisang goreng yang masih utuh, tentu berfoto. Aku yang masih mengenakan kaos oblong dan celana boxer hijau dipaksa buru-buru ganti. Tapi, namanya juga alit, hanya bajuku saja yang berganti. Bawahan tidak. Mereka yang menyarankanku untuk memakai jilbab juga kuturuti. Awalnya kupikir foto setengah badan. Setelah melihat hasilnya, kebanyakan adalah fotoku dengan baju panjang, jilbab, dan celana pendek. Menyebalkan--juga menyenangkan.

Sudah terlanjur malas ganti, aku hanya menutupi celana itu dengan rok. Teman-teman senang melihatku demikian. Mengenakan rok layaknya perempuan pada standar tertentu. Sebagai rasa terima kasih, aku berjanji pada mereka akan mengenakan rok di kelas Sosiologi malam nanti. Rasa maluku mungkin akan sedikit berkurang karena intensitas bertemu orang di malam hari semakin kecil. Dan tentu saja gelap. Lagi pula di kelas itu kami akan bertemu lagi. Dari kami berdelapan, hanya Fikoh satu-satunya yang tak ada kelas nanti malam. Aku agak sedih sih. Dia teman dekatku dari SMA. Dan menurut teman-teman, Fikoh yang mengatakan jika aku ulang tahun bulan ini. Karena dia sendiri tak yakin, teman-teman yang lain mencari tahu lewat jejak mediaku. Namanya juga anak sastra, keambiguitasku dianalisis. Jadilah, mereka menemukan makna tersembunyi yang kuselubungkan.

Malam harinya di kampus, aku menepati janji, mengenakan rok. Itu kali pertamaku selain ospek tentu saja. Sayangnya Fikoh tak menyaksikannya. Meski dia telah melihatku memakai rok selama 3 tahun di SMA momen seperti itu akan sangat langka di kampus. Kelas selesai dengan canda teman-teman tentang rokku. Tumben, tumben, dan tumben. Tak hanya dari mereka-mereka yang dekat, beberapa yang lain juga berkomentar. Aku hanya haha hihi seperti biasa.

Tiba-tiba salah satu teman mengajakku ke belakang, ke sekretariat. Dia ada perlu dengan anak-anak di belakang. Dua dari sirkelku akan diklat mapala, seperti aku dan tiga lainnya yang ikut pelatihan jurnalistik kemarin. Kalo dipikir-pikir, kami aktif juga ya. Dua yang lain, sisanya, ikut UKM seni univ dan UKM Reog univ. 

Aku berjalan ke bagian belakang kampus yang gelap. Saat itu, kami masih tak paham dengan seluk beluk kampus. Meski jalanan di daerah kantin gelap gulita, teras ruang-ruang sekretariat ramai. Anak-anak UKM seni sedang latihan teater di depan ruangnya. Lainnya, entah apa kegiatan mereka, juga sibuk. Dari salah satu sudut kantin yang gelap, pendar kecil terlihat. Bulatan-bulatan cahaya serupa lilin--yang memang lilin, terlihat. Seseorang di kegelapan muncul dengan sekotak roti warna-warni. Di titik itu, aku menangis.

Sesosok perempuan yang kata orang mirip denganku, Fikoh. Dia dan entah bagaimana bisa, memperisapkan hal yang akan kukenang seumur hidup. Mungkin kalian-kalian yang tidak tahu seperti apa temanku itu, akan berpikir jika aku berlebihan. Kurang perhatian dan apalah-apalah. Tapi, aku tahu betul karakter temanku itu. Dia tahu dan INGAT bulan lahirku saja sudah merupakan hal mengejutkan. Jadi, wajar sekali jika aku akan merayakan kejutan yang dibuatnya seumur hidup. Serius, Fikoh bukan orang yang biasa berbuat demikian.

Agaknya tak ada yang abadi selain kenangan. Meski demikian, kenangan itu tak selamanya baik untuk dikenang. Maksudku begini, cukupkah kita mengingat masa itu tanpa ada di masa sekarang? Masa dimana semua sudah berubah? Mereka sekarang dimana? Mereka sekarang apa kabar? Mereka apakah juga rindu? Apakah, apakah masalah di antara kami, satu dan satu yang lain, sudah tuntas? Apakah berkas kebahagiaan masa lalu mengikis luka yang seiring berjalannya waktu terus tumbuh sudah sembuh? Tanpa sadar saling melukai. Maaf yang bahkan terlambat, sepertinya tak akan terjadi. Aku yakin kami baik-baik saja. Sayangnya, kami tak lagi bersama-sama.

Kami terluka. Luka yang membuat kenangan indah itu mulai memudar. Berganti ingatan-ingatan lain yang menyesakkan. Dinamika pertemanan memang jangan datar-datar saja. Tapi, terlalu naik turun juga berakibat jatuh ke jurang juga. Aku, dengan kecacatan ingatanku, mungkin bisa memaklumi, alih-alih memaafkan. Namun, sebagian yang lain, yang punya kekelaman tersendiri antara satu sama lain mungkin masih menyimpan duka. Andai kami hanya jadi kupu-kupu kampus, apakah kenangan itu bisa tertuai jadi bunga?

Senin, 04 April 2022

De Javu: Sesuatu yang Nggak Enak Untuk Diulang

04/04/22

Pagi tadi, aku menulis catatan untuk Ramadan di Medium. Awalnya tidak berniat menggunakan bahasa Inggris. Namun, urung dan ya catatan singkat berisi kisah hari kemarin yang berjalan lancar selesai dalam waktu satu setengah jam. Tak ada yang spesial memang. Tapi, poin pada kisah itu adalah lancar. Satu hari berjalan dengan tanpa kesialan atau hal menyesakkan apapun. 

Setelah menuntaskannya, aku mulai melakukan aktivitas yang sudah lama tertunda. Skripsi. Menghubungi beberapa teman yang katanya mau ke kampus hari ini. Tak lupa, aku menghubungi dosen juga--hal yang sangat membuatku frustrasi. Aku juga mengirim DM ke Twitter Acer Indonesia. Sudah sebulan baterai laptopku bermasalah. Lampu indikator dan notif persentase-nya eror.Sambil menunggu balasan-balasan itu, aku mulai membaca-baca draft-ku. Tidak sedang berlagak rajin, tapi aku sudah di titik tak tahu harus melakukan apa. 

Satu dosen membalas. Menjawab panjang lebar menjelasanku dengan, "OK", seperti sebelumnya. Satunya lagi hanya membaca. MEMBACA! Harusnya aku tidak terkejut ya. Sudah pernah diperlakukan demikian, dan memang dosen itu terkenal begitu. Tapi, rasanya menakutkan. Sampai beberapa kali balasan dari Acer Indonesia muncul, dosen itu belum membalas. Aku yakin jika tak kuchat lagi, lagi, lagi, dan lagi, tak akan ada balasan. 

Selanjutnya, aku melakukan instruksi untuk berusaha memperbaiki indikator bateraiku. Hasilnya tak begitu bagus, namun lebih baik. Persentase baterai bisa turun meski lampu masih berkedip. Aku melanjutkan tulisanku sebelumnya. Namun, karena baterai semakin menipis, ketakutan muncul lagi. Dulu, di notebook lamaku, kejadian laptop tiba-tiba mati dan membuat garapanku hilang pernah terjadi. Aku takut hal demikian terulang. Lantas, sambil menunggu sore untuk bersiap masak, aku menonton variety show. 

Tak sampai dua jam aku menonton. Baterai laptop belum habis betul. Masih sekitar 30 lebih. Aku menyalakan Spotity sambil memilah seladah. Pai tadi, aku beli separuh yang ternyata masih banyak. Namun, warnanya sudah menguning. Sambil mengirim pesan ke tetangga-tetangga kos untuk iuran gas dan meminjam ayakan, lagu masih berputar. Hebat betul masih lebih dari 30 persen. Sampai ketika aku mencuci ayakan, laptop mati. Oh, segitu. 

Aku menyalakan laptopku lagi. Mendengarkan musik sambil mengayak tepung yang meski tak banyak namun karena ayakannya jebol, aku harus berhati-hati agar kotorannya tak ikut tersaring. Hampir satu jam aku mengayak tepung. Sambil sedikit kesal melihat semut-semut lewat di depan mata. Kesal karena tak menemukan kapur ajaibku. Kesal karena sebelumnya aku menumpahkan minyak. Kesal karena aku lupa dimana menaruh plastik-plastik kecil. Kesal karena menumpahkan teh di kasur. Kesal karena menyempar gelas berisi air yang ditinggalkan temanku. Kesal-kesal yang tak kuperlihatkan secara berlebih seperti biasa. Aku puasa. Aku sedang menahan.

Kekhawatiran yang menghantui berangsur berubah menjadi ketakutan telak. Saat tepung-tepung telah kuadon, ubi-ubi kupotong untuk siap dimasak kompor gas habis. Belum lagi, baterai laptop yang sudah satu jam kucharge tak menunjukkan kenaikan yang significant. Hanya 11 persen. Bahkan, setelah kucharge dengan keadaan mati selama satu jam lagi,hanya naik 2 persen. Sungguh membuatku gila. 

Aku punya banyak trauma dan ketakutan. Laptop yang tiba-tiba mati, dan hal-hal sial yang tak bisa dihindar. Aku mulai memikirkan kesialan yang kutimpa tahun lalu. Sama-sama saat puasa. Aku semakin takut. Kepalaku pusing. Badanku lemas. Pikiranku rancu ke mana-mana. Pekerjaan belum selesai. Minyak habis. Uang kubuat iuran. Sisa tepung masih berserak. Nasi masih jadi beras. Sampah-sampah belum kubuang. Belum mandi dan solat ashar. Aku haus sekali. Tapi, aku tak mau memecahkan uang 20k terakhirku. Aku segan beli es di tempat langganan dengan uang receh lagi. Aku juga takut mau ambil uang di ATM. Bagaimana... bagaimana jika kesialan itu muncul lagi? Kartu tertelan mesin ATM misal. 

Awalnya aku bingung dengan kesuraman yang kurasa. Kekesalan-kekesalan itu, mungkin benar adalah bentuk ketakutan. Aku tak yakin masakanku hari ini enak. Semua gagal. Ubi masih sisa, dan yang matang gosong dan keras. Aku tak menakar berapa banyak garam yang kutuang di sayur bening. Tak mempedulikan komposisi tomat, bawang, dan cabai untuk sambelku. Hingga kejutan lain muncul. Sabun cuci piring yang baru kubeli, yang tadinya ingin kubawa ke kamar tak jadi, tumpah ruang di lantai tempat cuci piring. Ini benar-benar menakutkan. De javu. Dulu, ceritanya mirip seperti ini.  

Persetan! Aku harus menghapus pikiran itu. Harus! Aku tak ingin berpikir negatif lagi. Tidak boleh. Dulu, dulu saat kejadian itu mendatangiku, awalnya ya begini. Aku cemas karena kakakku tak mengirim kabar. Tak ada kemungkinan positif yang kupikir sama sekali. Jangan-jangan... jangan-jangan... sampai akhirnya kesialan itu benar-benar menimpa. Lebih buruk dari apa yang kuperkirakan. Satu yang sangat kusyukuri, kakakku muncul dengan sehat walafiat--setidaknya fisiknya. Aku yakin mentalnya ikut bobrok. Hari itu, mimpi buruk terjadi lagi. Setelah kematian bapak, aku bisa meletakkan kejadian itu tepat di peringkat bawahnya. 

Sial. Aku tak boleh berpikir negatif. Tidak. Seperti kata ibu, semua baik-baik saja. Tak ada yang terulang. Ini hanya tanda jika aku bisa melewati masa itu--pun masa ini. Di tengah-tengan mencurahkan kepiluanku di sini tadi, ibu menelpon. Aku menceritakan segalanya. Semua ketakutan dan apa yang kualami hari ini. Hal-hal yang ingin kusampikan di sini, kuceritakan ke Ibuk terlebih dahulu. Tak kuasa, aku menangis. Ibuk sepertinya menahan juga. Untungnya, setelah itu aku tenang.

Aku mengurungkan niat membeli es atau kerupuk. Berpikir jika ini hanya kebetulan. Tak ada pengulangan kesialan, tidak. Dulu, karena takut sabun cuci piringku habis percuma dipakai orang-orang tak bertanggung jawab, maka kubawa ke kamar. Sialnya, aku tak sadar jika beberapa waktu kemudian ambruk dan membuat sebagian lantai kamarku penuh sabun. Jika dibandingkan saat ini, bukannya keterbalikan? Aku tidak membawa balik sabun itu. Mau dipakai silakan, tidak juga tidak apa-apa. Namun, saat kulihat itu tumpah ruah sedang orang lain yang terakhir menggunakannya rasanya impas. Maksudku, iya aku rugi. Namun, ini bukan salahku. Misal disebut sial, ya mau bagaimana lagi? Mungkin orang itu ceroboh, tapi aku yakin dia tidak sengaja. 

Adzan bunyi. Tapi, itu dari ponsel bapak kos. Masjid belum 

Aku melanjutkan pekerjaanku memasak selada. Memutar-mutar sayuran hijau itu di dalam panci. Aromanya khasnya amat kusuka. Namun, hatiku masih kelabu. Aku lelah. Aku ingin pulang. Namun, apakah di rumah semua akan berbeda? Apakah bateraiku tiba-tiba normal? Apakah kejadian gas habis di waktu sahur, seperti kejadian tahun lalu di sini tak terulang di rumah? Apakah magic com yang tiba-tiba rusak bisa hidup lagi? Apakah aku akan menjadi kaya jika di rumah? Tidak. 

Mungkin aku akan merasa sedikit tenang dengan keberadaan ibuk dan keluarga lain. Namun, bagaimana dengan privasiku? Pribadiku? Keperluanku? Aku tak bisa bebas melakukan kerja-kerjaku di rumah. Tidak dengan tulisan-tulisan maupun skripsi. 

Aku berpikir untuk mereset baterai laptop lagi. Kalau sampai masih seperti tadi, aku menyerah. Tak berencana membawa ke tukang servis karena tak ada pegangan uang. Hanya akan menggunakan seadanya. Itu saja. Akhirnya, kutemui laptop ini tak lagi kekurangan baterai. Meski aku tak yakin sudah normal atau sekedar bisa, setidaknya aku kembali tenang. Baterai penuh dengan bar notifikasi yang berangsur turun. 

Semut-semut semakin banyak bermunculan. Kini mengerubungi magic com milik temanku yang kupinjam untuk jangka panjang. Memang kapur ajaib belum ketemu, tapi aku memindahkan magic com itu ke luar. Aku yakin nanti akan hilang juga, Sisa sabun cuci piringku sudah kuamankan. Aku tak jadi menegur tetangga kos yang tadi menumpahkannya. Tak apa minyak habis, toh itu hadiah dan sudah dari lama kusimpan. Aku sudah minum air putih--minuman favoritku, dan ini cukup. Kalau-kalau nanti pengen banget jajan, ya nggak apa-apa ambil uang. Selama ini nggak pernah bermasalah di mesin ATM terdekat itu. Pun, jika kejadian mengerikan itu terjadi, aku masih punya kontak teman-teman yang bisa dimintai tolong. Entah seperti apa nanti. 

Aku tak jadi ingin pulang. Bukan karena takut kesialan di jalan seperti yang dulu. Lebih karena ingin menuntaskan sesuatu terlebih dahulu. Ah, panjang sekali. Sekarang aku sedikit lega. Pikiran terpositifku hari ini sekedar, "Mungkin aku lapar," dan yah, meski sekarang belum makan, aku sudah jauh lebih tenang.

Seperti menulis di buku diary. Kisah hari ini, tak ada yang harus kututupi. Namun, sepertinya terlalu 'diary' untuk dibagi. Entahlah, aku lama tidak bermain intim dengan tulisan. Kebanyakan yang kusalurkan di sini, meski sesuai kehendak hati, tetap kufilter. Kali ini tidak. Namun, justru ini yang membuatku senang. Selamat malam, selamat malam ramadan, dan selamat makan. Terima kasih untuk kalian semua, juga diriku sendiri. 

 Oh, btw barusan kucoba. Masakanku enak semua.