Senin, 25 Januari 2021

Aku dan Kisahku: Nae Yuilhan Eonni (Si Kuning)

Halo, selamat malam dan selamat sekarang. Aku ingin berkisah. Sebuah cerita lama yang kutarik ke masa sekarang. Perjalanan yang cukup pahit untuk bisa berbuah manis. Tentang aku, dia, dan sebuah mimpi.

Dulu, saat aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, cita-citaku adalah menjadi penulis fiksi. Mungkin karena waktu itu aku banyak menghabiskan waktu di perpustakaan karena ketidaknyamananku berada di sekolah itu. Satu-satunya tempat berdiam ya perpustakaan.

Berbagai macam novel dan kumpulan cerpen kubaca. Entah di sana atau di bawa pulang, setidaknya, seminggu lebih dari satu buku kutamatkan. Sedikit demi sedikit keinginan untuk menulis kembali muncul. Ya, memang sejak lama aku suka menulis. Entah catatan harian, lirik lagu, resep masakan, sampai hal konyol tentang sebuah narasi cerita, kubuat, Media yang kugunakan ya buku--atau kertas. Kertas-kertas dari buku-buku yang sisa selama SD, kuambil dan kujilid kembali. Sebagian kujadikan ijiran (tempat menghitung dengan coret-coretan), sebagian lain kujilid. Kertas-kertas berisi puisi lirik lagu buatanku kukumpulkan bersama kertas-kertas lirik lagu Korea besera terjemahannya. Banyak sekali deh. Sekitar dua paper bag besar. Dan sekardus kertas-kertas lain berisi prosa. Mungkin sekarang aku tertawa melihat kalimat-kalimat yang tertulis di sana, namun jika kupikir lagi, itu sangat mengagumkan.

Suatu hari di tahun terakhirku, sekolah itu mengadakan banyak perlombaan. Entah untuk memperingati apa, yang jelas kami, tiap-tiap kelas, saling berkompetisi. Menulis, menggambar, membaca puisi, menyanyi, menari, bermain musik, mengaji, dan banyak lainnya. Sebenarnya, ketika mendengar nama satu lomba yang kudengar di awal, aku sangat ingin mengikutinya. Tapi, aku diam. Bukan pura-pura tak mau ikut, melainkan enggan berinteraksi dengan teman-teman. Tapi, sampai waktu pengiriman nama delegasi hampir berakhir, tak ada yang mengisi posisi itu. Jadilah aku maju.

Kesukaanku pada dunia menulis dan berimajinasi terpacu saat itu. Sepulang sekolah, aku mengambil kertas kosong dan sedikit demi sedikit menuliskan sesuatu di sana. Semula tentu tidak berjalan dengan lancar. Hampir separuh yang memenuhi lembar pertama adalah coretan yang menandakan jika kalimat itu kurang tepat, salah, dan harus diperbaiki. Belum lagi menyeting alur dan tema yang harus seuai tema. Ah, aku merutuki janji bapak yang bilang akan membelikanku laptop saat naik kelas 9. Sampai detik itu, di mana aku sangat membutuhkannya, tak ada tanda sedikit pun dari bapak. Ya sudah. 

Singkat cerita, aku memenagkan lomba cerpen. Dengan tema persahabatan, aku menceritakan dua teman yang kembali bersua setelah lama tidak bertemu. Saat itu, aku teringat salah satu teman SD-ku yang hampir setiap hari di kelas 7 kutangisi karena kami tak satu sekolah lagi. Dua sahabat itu bertemu di waktu yang tidak terduga. Saat tidak sengaja menemukan sebuah tempat penimbunan BBM. Wkwkwk, bisa-bisanya ya, aku dulu menulis hal seperti itu. Serius, ceritanya sederhana, tapi kok ada 'amanat' yang tidak kusangka saat ini. Meski cerita itu menang, aku tak lantas mengamini jika cerita itu benar-benar bagus. Pasalnya, seingatku, saat itu beberapa teman dari kelas lain ada yang membawa cerita jadi dari rumah. Ada pula yang menyalinnya dari hasil ketikan mereka sebelumnya. Dan itu diizinkan. Mungkin, akibatnya berimbas pada poin akhir yang mereka dapatkan. 

Setelah pencapaian itu, seorang guru Bahasa Indonesia yang terkenal killer mendekatiku. Memintaku ikut lomba cerpen. Tingkat kabupaten dengan peserta dari seluruh siswa SMP dan SMA. Ya, seluruh di sini hanya majas totem pro parte. Nah, masalahnya aku tidak punya laptop. Ya kali lomba tingkat kabupaten hanya sekedar tulis tangan. Ibu Killer dan Pak... siapa deh lupa namanya, guru bahasa Indonesia kelas 9 saat itu, mempersilakanku menggunakan laptop mereka. Ya tapi tetap saja, bagaimana bisa aku menulis dengan mereka di sekitarku? 

Akhirnya, aku menemui Mbak Pit. Nae yuilhan eonni. Panutanku. Bercerita tentang segala yang kualami dan berniat meminjam notebooknya. Selain karena sepertinya hanya Mbak Pit orang di sekitar rumahku yang punya PC, memang selama ini apapun masalahku terkait sekolah, dia solusinya. Di kelas satu, saat aljabar dan trigonometri merangsek pikiranku yang kacau akibat transisi dari masa SD ke SMP, dia penyelamat. Iya, ibuku cukup mampu untuk mengajariku matematika, tapi kan Mbak Pit ada di level yang berbeda. Setiap malam aku ke rumahnya. Belajar. Sampai-sampai, berkali-kali aku mendapat pujian dari guru Matematika karena pekerjaanku. Entah PR maupun saat aku maju ke depan. Tanpa menutup-nutupi apapun, aku bilang jika tugas-tugas rumahku dibantu kakak.

Kembali ke kelas 9, saat itu Mbak Pit sibuk. Aku lupa alurnya, yang jelas dia pernah membantu orang-orang di balai desa dan mengajar di PAUD dan TK dekat rumah. Aku bahkan ikut rekreasi cuma-cuma karena dia mengajakku untuk mengisi satu slot kursi kosong lain bagiannya, hehe. Ah, mengingat tentang jalan-jalan, aku mungkin tak akan tahu seluk beluk mal-mal besar di kota sana. Mbak Pit dulu alumni MAN Banyuwangi, jadi dia khatam jalan-jalan di kota sana. Banyak tempat yang kudatangi bersama Mbak Pit. Saat dia melajang, atau bahkan punya anak. Banyak yang kuingat dan banyak pula yang tidak. Ya bayangkan saja, sejak kecil aku dimong dia. Ngaji dan sekolah, aku ngintil dia. Bahkan teman-temannya yang tak kuingat siapa mereka, ingat aku. Ah, berharap apasih dengan ingatan payah balita. 

Loh heh, katanya kembali ke kelas 9, kok nggeladrah lagi?

Ya, ya, ya. Di kelas 9 itu, aku melanjutkan minat ke dunia sastra dengan ikut lomba. Sulit sekali bekerja di bawah tekanan? Nah, itu yang kurasakan kala itu. Deadline sempit dengan tema sulit. Tanpa riset yang muluk-muluk aku menuliskan kisah sederhana. Cenderung tidak masuk akal dan di luar nalar. Gaib. Kini, aku menyebutnya fantasi. Dan belakangan kutahu itu mungkin adalah satu bentuk karya sastra dengan unsur realisme magis. 

Ah, jadi ingat pertanyaanku ke dosen sastra di semester 1 yang baru terjawab olehku saat membaca skripsi kating.    

Untuk menyelesaikan cerpen itu, butuh gotong royong karena waktu yang semakin mepet. Sebenarnya, kala itu Mbak Pit ada acara beberapa hari di luar. (AH AKU INGAT DIA SEDANG MEMPERSIAPKAN PERNIAKANNYA, HUHUHU SEDIH). Oiya, saat itu dia juga sedang menempuh S1 di UT. Tapi, yaitu aku lupa urutannya. Nah, notebook kuning unyu Mbak Pit ditaruh di rumahku. Nah, karena sebenarnya aku enggan menyentuh barang milik orang lain jadi sangat berhati-hati saat membukanya. Karena seret, nggak bisa kebuka dong layarnya. Berat gitu. Takut kenapa-napa. Jadi berhari-hari ya cuma didiemin itu. Paling pas mas di rumah dia yang bukain... (Eh, wait, kayaknya ini sebelum kalo nggak setelah lomba deh. Lupa anjir. Huhu, miyanhae). 

Oke skip, Alit lelah nih! Maaf. Lupa lagi kronologisnya.

Ya, aku tetep nulis  ceritaku di kertas, lalu disalin di notebook Mbak Pit. Tapi karena skill ngetikku yang nggak jauh beda sama laju keong, aku kesulitan. Mbak Pit cuma ketawa lihat aku ngetik huruf per huruf. Mau ganti font bingung. Nyari tanda petik sampe manggil dia yang ada di belakang. Duh, gegara setiap kelas TIK cuma nyari lirik OST sama search foto-foto drama nih. Hiks. 

Alhasil, sampe hari H pengumpulan, cerpen belum selesai diketik. Padahal di sela-sela jam kosong dan istirahat, di perpustakaan aku mekanjutkan mengetik. Kadang pake komputer di sana, kadang pake laptop guru. Nah, hari itu karena sangat-sangat mepet, Riya, salah satu teman kutu bukuku membantu. Dia nggak serantan deh. Apalagi guru-guru sudah mewanti-wanti untuk segera menyelesaikan. Tinggal beberapa paragraf. Riya yang mengetik dan aku mendiktenya. Bahkan saat cara mengetiknya dua kali lebih cepat dariku, tulisan itu tidak selesai. Satu atau dua, aku lupa berapa tepatnya, yang jelas ada paragraf yang tidak ditulis di sana. 

Beberapa waktu kemudian, saat aku terjaring seleksi, aku sudah was-was jika diminta mengetik langsung di perlombaan. Ternyata itu sekedar mempresentasikan naskahku di depan dewan juri, para guru dari berbagai sekolah, serta peserta lainnya. Entah mendapat keberanian dari mana, saat itu aku menjelaskan dengan lancar jaya. Menjawab pertanyaan juri dengan tanpa hambatan. Ya, meski aku benar-benar tak tahu apa yang sebenarnya kulakukan saat itu.  

Saat pengumuman pemenang tiba, namaku tersebut pertama. Iya, hanya juara tiga. Namun, itu jadi pencapaian besar bagiku. Ah, sepertinya besar saja tidak cukup, melainkan terbesar. Yap, satu-satunya perlombaan yang kumenangkan (HEY U CUMA JUARA 3 YA!). Memegang piala dan berfoto bersama seorang siswa SMP, dan seorang lainnya siswi SMA sebagai juara satu dan dua. Jika melihat foto itu lagi... aw... pantas sih aku kena buli. Burek banget diriku. Apalagi mbak-mbak SMA di sebelahku sangat cantik dan... punya kisah lain denganku wkwk.Eh jangan dilanjut nyeritain Mbak Friska bisa ga habis-habis ini cerita!

Saat itu Pak Muchtar, guru bahasa Inggris sekaligus wali kelasku, yang mengantar ke sana. Dengan kata-kata halus yang sering disalahpahami oleh teman-teman dengan olok mengenai gender, Pak Muchtar memberi wejangan selama perjalanan pulang. Rasa canggungku selama ini lebur bersama senang. Pak Muchtar menurunkanku di depan rumah. Piala tetap berada di jok mobilnya. Aku hanya keluar dengan amplop putih yang kuterima bersama dengan piala. Ah, uang pertama hasil cerita. Terima kasih banyak. Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur.

Bu Diah, guru bahasa Indonesia kelas satu, yang katanya punya sense luar biasa alias punya indra ke enam alias bisa lihat apa yang tidak bisa dilihat manusia pada umumnya, berkata jika beliau sebenarnya pernah merasa aku mampu di bidang ini. Dan entah, kata-kata itu seperti mantra saja. Sebenarnya aku lupa kapan beliau berbicara demikian, entah sebelum atau sesudah lomba, yang jelas itu terjadi setelah  namaku dipanggil ke depan saat upacara. Entah ucapan selamat secara seremonial itu untuk kemenanganku di lomba cerpen antarkelas, atau antarsekolah, yang jelas kata-kata Bu Diah itu sangat membekas di ingatan. Ya, meski mantra itu kini sedang kuragukan. 

Alit, yang saat itu sangat pendiam, takut bersosialisasi dan pernah mendapatkan bulian di kelas 8, tiba-tiba saja dikenal. Jika aku mengingat bagaimana menyebalkannya teman-teman di kelas 8, memang rasanya sakit sekali. Tapi, ingat juga, ada masanya aku punya banyak teman di kelas satu. Anak rajin, pendiam, dan bahkan nakal. Anak polisi, dan bocah-bocah lain dari kalangan borju yang populer sejak dulu hingga sekarang. Sampai teman-teman indie alias yatim, yang strugle macam aku, yang memanfaatkan buku tulis lama untuk sekolah. Ah ya, aku juga cantik dalam pikiran seseorang--bukan aku sendiri tentunya. Alit, yang masuk ke sekolah itu dengan nilai hampir terendah, bisa lulus dengan nilai hampir tertinggi. Oh ya, temanku Riya, perempuan jangkung yang sama pendiamnya denganku, mendapat nilai tiga tertinggi. Aku lupa dia di urutan ke berapa, entah satu, dua atau tiga, yang jelas, aku nomer empat. Se-sekolah, hehehe. Bukannya sombong dengan pencapaian kecil, ini lebih karena hanya itu yang bisa kubanggakan. Ya, iya. 

Ah, dan ya, jika kutarik ke masa ini... aku hanya rindu. Rindu. Masa SMP dan kemenangan kala itu, akan selalu bercampur dengan kenanangan bersama Mbak Pit. Notebook kuningnya yang membawaku pada titik itu. Dan sekarang, saat laptop kuningnya tiba-tiba ada di rumahku, bolehkah jika aku berharap demikian. Setidaknya, aku bisa menulis kembali adalah hal yang cukup menyenangkan. Mengobati rindu dengan cara mengenang lewat tulisan. Mbak, begini banget ya, jalan cerita kita. Sebenarnya, sebenar-benarnya, aku takut segala hal yang menimpa kita, bukanlah akhir dari penderitaan. Ya, jelas sih, manusia hidup dan terus hidup. Menjalani banyak hal dan berakhir pada kematian. Tapi, mbak... aku... aku ingin banyak cerita. 

Melihat laptop ini, aku jadi ingat kalau belum paham tentang berbagai kegunaan microsoft yang pernah sampean kasih tahu. Ya yang biasanya sampean buat video conference juga Mbak. Ah, aku loh belum sempet ke kosanmu di Bali. Aku, aku pengen ke sana. Katanya... ah, Mbak, sedih. Sedih dan sakit. Sama halnya seperti kehilangan bapak, sama halnya saat kehilangan seorang teman dekat SMA, ini sama-sama sakit Mbak. Kalian orang terdekatku. Mbak... aku pengen ngobrol banyak hal.

Tahu nggak Mbak, kemarin saat aku merasa useless dan hopeless, aku bingung mau apa. Nonton drama ya nonton aja gitu, untuk ngisi waktu. Padahal kan, banyak hal ya, yang bisa kulakukan. Terus aku mikir, kalo kayak gini biasanya ada yang bisa kuajak ngobrol dan ya, itu sampean. I know sampean sibuk. Ngajar, dan mengurus keluarga. Tapi sampean bisa loh ngasih opsi-opsi untuk segala kebingnganku. Enggak stuck gitu aja. 

Oh ya, Mbak, sampean kan belum ke kosku. Tenang, kamar kosku nggak seberantakan kamarku di rumah kok--ya komper sama kamar yang dulu ya, soalnya I think I havent private room rn. Sampean sih nggak mampir waktu wisuda itu. Dan ya kosku pindah. Ah, aku mau cerita tentang laptop Aning yang rusak, tapi baru keinget Aning sudah lama nggak pulang. Bahkan, saat sampean... ah. Aku nggak tahu Mbak kayak gimana nanti pas kami ketemu. Mungkin hubungan kalian berdua, nggak sedeket ke aku. Tapi, for sure, kami sama-sama adikmu Mbak. Mbak... 

Ah, sudah lewat tengah malam. Lebih dari dua jam nih aku nulis. Terima kasih Mbak. Terima kasih atas kehadiranmu di pikiranku. Terima kasih atas kehadiranmu di saat-saat aku butuh. Mbak, bantu aku ya, untuk selalu ingat detail tentang dirimu. Agar kelak, saat anak-anakmu sudah dewasa dan mengerti, aku bisa bercerita, betapa kerennya dirimu. Aku merasa bertanggungjawab untuk itu. Serius. 

Sudah dulu deh, ya. Masih selamat malam, dan selamat sayang. Eh, selamat sekarang. 

 

Penuh cinta.

Selasa, 19 Januari 2021

Aku dan Satu Nama

 Halo, hai! 

Selamat malam, eh pagi. Gataulah pokoknya aku nulis di jam 02.07 WIB.

Beberapa hari belakangan, sebenarnya aku punya beberapa nama buat ditulis. Tapi sayang, karena tidak ada waktu--karena bukan prioritas, dan masih ada hutang tulisan di blog kemarin jadi ketunda hingga sekarang ini dapet nama lain. Wew, kupikir-pikir lagi, selain untuk konten Aku dan Satu Nama, kayaknya kesempatan ini bisa jadi confess deh wkwk. Dahlah, cus.

Aku dan satu nama, R. Dear R, dear Rizal. Entah karena apa aku punya keberanian nyebut nama ini. Karena di tulisan-tulisanku sebelumnya aku sering banget nyantumin inisial tanpa sebut nama. Sebelum menceritakan Rizal yang kumaksud, ada baiknya menyebutkan nama-nama Rizal lain yang kukenal. Nggak banyak sih. Seumur-umur cuma kenal Rizal adik temen SD--cuma tahu sih, nggak kenal, udah lama lagi. Dan Rizal temen kuliah. Pun, nama temen kuliahku nggak dipanggil Rizal. Selanjutnya, baru aku tahu Rizal yang ini. Rizal Esenzo--Ezenzo, Esenso--atau apalah itu wkwk.

Em, kalau sejak SMP dulu tahu istilah crush, mungkin R ini bisa disebut crush. Sejak kelas 2 SMP, setelah beberapa kali papasan di jalan sekitar rumahnya, aku selalu mencari-cari waktu untuk mengulang kesempatan itu. Ya, menunggu timing atau momen. Sekedar bersalipan, atau berpapasan, keduanya sama-sama menyenangkan. Dia ini, jadi pemacuku buat berangkat lebih pagi. Kutandai, kami bersalipan jalan di sekitar rumahnya tepat jam 06.30, jadi sebisa mungkin aku berangkat lebih awal dari itu agar sampai sana bersalipan. Pulang sekolah, aku kadang berharap juga berpapasan. Tak jarang, dia terlihat berjalan kaki di sana. Biasanya, itu terjadi saat aku pulang terlalu sore karena ekskul. Yap,--entah apa itu namanya--berlangsung hingga SMA. Sampai ketika aku naik ke kelas dua, dia jarang terlihat lagi. 

Pikirku, saat itu dia kuliah ke luar kota. Tapi beberapa kali kulihat dia berpakaian biasa--seperti habis kerja kasar, dan wara-wiri di jalanan depan rumahku. Hal-hal semacam kebetulan seperti berpapasan atau bersalipan jalan masih kerap terjadi. Selanjutnya tidak hanya di daerah jalanan depan rumahnya, namun juga daerah depan rumahku. Entah ada mantra atau apa, kadang jika aku hanya ingin menyebrang ke rumah saudara, selepas melangkah dari pintu rumah biasanya berpikir, "Ah, nanti mas itu lewat," dan boom! Itu kerap terjadi. Kadang, saat aku sudah di pinggir jalan tanpa memikirkan hal itu, dan tiba-tiba di kejauhan ada sosok menyerupainya, aku berpikir lagi, "Jangan-jangan itu mas itu," dan ya aku tertunduk di saat-saat seperti itu.

Suatu hari, saat aku menyadari jika halaman rumah tempat dia muncul selama ini bukan rumahnya, melainkan rumah neneknya, aku jadi tahu latar belakang keluarganya. Rumahnya dekat madrasah. Di belakang rumahnya ada sungai yang biasanya dijadikan tempat cuci mobil. Saat kecil, aku sering ikut bapak ke sana. Oh ya, saat TK pula, tanah lapang di belakang rumahnya jadi tempat bermain kami anak TK sampai Aliyah di madrasah itu. Itu saja kenanganku di sana. Selanjutnya aku sekolah ke SD yang berbeda lokasi.

Pernah aku menanyakan tentang dia ke saudara sebaya yang melanjutkan sekolah di sana. Tipis-tipis dan menurutku sangat tidak kentara. Dan dia menjelaskan dengan panjang lebar. Bodohnya, aku lupa siapa namanya. Nama tepatnya sih. Soalnya dia punya tiga saudara laki-laki. Aku tidak bisa langsung tanya tentang dia yang sekolah di SMA Z, enggak. Jadi ya, cukup meyakini saja kalau dia si anak nomer dua. Namanya... Ri..za? Rizal? Resa? Reza? Atau siapa?? Aku yakin huruf depannya R tapi R siapa??

Kembali ke masa SMP, saat itu tak ada sosmed yang kutahu selian Facebook. Kuketik semua nama yang berkemungkinan namanya. Tapi, dari puluhan akun yang muncul di tiap keyword, tak kutemukan namanya. Kucoba ketik nama bapaknya, siapa tahu ada, kan dia seorang pebisnis, ternyata tidak ada. Tak menyerah kumasuki tiap-tiap grup Facebook SMA-nya, kulihat satu per satu profil anggota grup dan nihil. Selepas itu aku pasrah. Lambat laun aku hanya meyakini inisial yang kuingat, R.

Aku yang susah tertarik pada lawan jenis ini, tetap setia menaruh R di sela-sela hati. Memunculkannya kala muncul pertanyaan pada diri, "Kok aku susah ya buat jatuh hati sama seseorang?". Sebenarnya aku tahu betul jika penyebabnya itu bukan R, melainkan sisi traumatikku sebelumnya, maka dari itu, si R jadi lentera. Obat dan penyemangat hehe. 

Waktu-waktu yang sangat jarang bertemu R adalah ketika aku gap year dan kerja. Saat itu, tak kutemui kesempatan-kesempatan lagi. Peluang yang kudapat kecil--ya meskipun di yang sedikit itu malah ada sedikit cahaya dengan saling lempar senyum sapaan yang canggung. Dan btw, aku yakin dia orang baik kok. Akhir dari usaha stalking-ku adalah saat aku baru punya akun Instagram di 2016. Dan lagi-lagi tak kudapatkan namanya.

Waktu berlalu begitu saja hingga aku sudah sibuk pada dunia baruku di kampus. Dia yang tak pernah tahu dan bahkan memikirkanku, kuyakin juga sibuk dengan dunianya. Pada tahun keduaku kuliah, di suatu sore yang menyedihkan, aku sengaja membuka akun Facebook untuk mengetahui lebih banyak tentang berita duka dari sanak di rumah yang sedang terkena musibah. Beranda Fb sudah seperti tetangga sendiri. Dan tahu, tanpa kuduga ada sosoknya lewat di sana. Muncul saat aku iseng men-sweep left saran teman. Namanya Rizal. Rizal pake Z. Aku tidak tahu harus senang atau sedih saat itu, yang jelas aku lega tahu namanya. Hanya ada dua--atau tiga-- teman bersama. Dua diantaranya aku tidak terlalu dekat pula. Dan taraaa, postingan-postingannya semua berbau agama. Serius, semua tentang agama. Kultum, ceramah, dan kata-kata mutiara. Yang membuatku terkejud, dia bergabung di Facebook pada tahun 2014. Pantas saja sih, meski aku jungkir balik kayak gimana pun ya ga bakal ketemu sih. Aku SMP 2012-2013 hahaha.

Di akun itu, tak banyak foto diri. Hanya foto profil dan satu fotonya bersama murid-muridnya di salah satu SMA di Srono. Wah, dia guru? Dia jadi guru? Dan ya, daerah itu jauh, pantas saja. ;(

Lanjut, suatu hari saat aku kembali mengecek Facebook, sekilas nampak foto dia dan seorang perempuan di profil berwarna sepia. Saat itu, aku mundur. Rasa ingin tahuku tentang namanya sudah terjawab, dan dia sepertinya sudah bahagia dengan pasangannya. Namun, di hari lain berhari-hari kemudian, saat aku penasaran kulihat lagi gambar itu. Astaganaga, itu foto dia dan neneknya. Astaga, bisa-bisanya aku berpikir seperti itu hahaha. Jika melihat postingannya kalaupun dia punya pasangan kemungkinan taaruf deh hehe.

Waktu berlalu tanpa ada kejelasan apa-apa. Ini bukan cinta sepihak, bukan. Seperti yang kubilang tadi, hanya crush. Eh, secret admirer maybe. Haha, I don't know I just want to know more and more. Dan ya, sampai sini saja ya. Bercerita tentang Rizal ini bisa sampe subuh. Eh, sudah hampir subuh deng huhuhu. INI SUDAH HAMPIR SUBUH!!

Sekarang sepertinya Mas Rizal sudah punya anak dan istri. Ada cerita lain kenapa aku bisa tahu, tapi enggak akan kuceritakan karena, ketika nama Facebook dia berganti dengan kearab-araban, kuanggap kisah Aku dan Satu Nama ini selesai haha. Sampai jumpa di cerita lainnya. Babay~


note: tanpa editing atau pembacaan ulang. sekali nulis dan udah. ngantuk tapi gabisa tidur tapi udah pagi. huhu bye~

Selasa, 12 Januari 2021

Dear Desember, Dear 2020

BAGIAN TIGA (TERAKHIR)


Hallo! Wah sudah lama sekali pasca kejadian sebelumnya. Tapi aku tetap ingin lanjut nulis. Apapun yang terjadi, masih akan kuabadikan momen mengesalkan itu.

Setelah mengetahui jika laptop itu masih belum bisa segera diperbaiki, aku pasrah. Waktu yang semakin mepet dan pikiran yang bertambah kacau membuatku pesimis. Ya sudah. Mungkin ini bukan jalanku. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk menulis. Mungkin, keinginan untuk menjadi seorang penulis adalah sebuah kesalahan. Dan, sepertinya dalam waktu dekat, aku tak bisa kembali menulis. 

Aku menghabiskan waktu di rumah masih seperti biasa. Tak kusisihkan waktu untuk menulis. Bahkan, untuk blog sekalipun. Ini, tulisan ini baru kutulis sekarang kan. Saat itu, aku terus berpikir dan berpikir. Bagaimana, bagaimana, dan bagaimana. Andai, andai, dan andai. Hari-hari itu berjalan setidaknya selama tiga hari sampai tenggat waktu pengumpulan naskah berakhir. Sedangkan tenggat waktu pengunggahan berkas KKN diperpanjang. Ah!

Keesokan harinya, Fikoh mengajakku ke pantai. Aku oke saja karena mungkin aku butuh refreshing. Setelah berdebat mengenai pantai mana yang bakal kami kunjungi, keputusannya adalah kami ke Jember saja. Fikoh ingin ke alun-alun. Ya, sudah. Aku iyakan lagi.

Minggu siang kami berangkat. Menembus hujan yang sangat deras di balik mantel. Biasanya sih, aku memilih berteduh jika seperti itu, tapi kali itu tidak. Bahkan sampai sepatuku basah kuyup. Singkat cerita, kami sampai di kosan Fikoh dengan masih mengenakan mantel. Padahal di Jember tidak hujan. Sejenak istirahat dan membersihkan diri. Mengobrol sedikit hal hingga tercetuk obrolan tentang kos. Aku yang sudah jauh-jauh hari memikirkan hal yang sama, semangat. Semangat untuk mengumpati kos hijau menyebalkan sekaligus tersayangku. Fikoh bilang ingin berhenti kos dan menginap di tempatku jika ke Jember, sedangkan aku yang sedang kesal dengan si kamar hijau itu bilang akan menyerah padanya. Menyerah. Menyerahkan semua kenangan pada lepas. Pasrah pada keputusan yang sejak dulu kuyakini kan datang. Mungkin sekarang saatnya, pikirku. 

Obrolan berhenti menggantung. Kami bergegas menunaikan rencana untuk pergi ke alun-alun setelah mampir ke kosan Rika. Kami pulang sekitar jam 11. Bagi Fikoh itu sudah sangat malam. Ia khawatir kosnya sudah dikunci. Sedangkan pintu kosku yang 24 jam kukendalikan sendiri tak dijadikan pilihan sama sekali oleh Fikoh. Sebenarnya aku juga bersikeras berniat pulang ke kos karena... karena... entahlah, sepertinya sudah lama aku tidak 'me time' di sana. Dan aku sangat ingin itu. Setidaknya, sebelum benar-benar pindah. Siapa tahu kan, di kesempatan lain saat aku ke Jember lagi, aku benar-benar meninggalkan kamar penuh kenangan itu.


Pagi harinya di kos fikoh, saat kami sedang sarapan obrolan seputar kos kembali muncul. Entahlah, aku gila atau apa. Yang jelas, saat ibu telah mengijinkanku pindah, aku bilang akan pindah. Pindah. Pindah! Baik, sepertinya aku tidak akan punya malam bersama kamar hijau itu lagi. Tidak akan. Bulan depan setelah mengurus berkas KKN aku akan bersiap dan pamit ke ibu kos.


"Sekarang aja loh, mumpung ada kesempatan." Kata Fikoh saat itu membuat aku berat untuk menentukan. 


Iya memang, aku masih benar-benar belum yakin jika ingin pindah. Besar kemungkinan aku akan membatalkan niat itu dan terus bertahan di sana. Dengan segala ketidakbergunaan yang telah aku lalui. Kamar itu, sekarang bertambah kenangannya dengan kesan mengesalkan. Kos yang penuh penyesalan. 


"Yasudah, iya."


Tak ada babibu lagi. Setelah melihat beberapa kamar kosong dan menentukan pilihan, aku pulang ke kos lama untuk mengambil barang-barangku yang... ah sangat banyak. Ah, akhirnya hal yang sangat tidak kusukai harus kulalui. Packing. Pindahan. Barang-barangku. Segala kenanganku. Ya Tuhan... 


Kapan terakhir aku berdiam di kamar hijau itu? Ah, iya. Saat menulis LPJ. Iya, saat terakhir kali membuka laptop. Saat sebelum aku dirundung masalah dan kesialan yang bertubi-tubi. Dan sekarang, aku harus meninggalkan ini semua. Meninggalkan zona nyaman dan berharap segala kutukan yang mungkin hinggap akan lenyap.

Annisa? Ya, Annisa, teman kosku, satu-satunya yang menjadi pemberat untuk keputusanku. Namun, aku sudah terlanjur kesal dengan kesialan yang terjadi di sana. Meninggalkan jalan Jawa dan ingatan di tiap selanya, mungkin memang berat untukku yang suka mengkoleksi kenangan. Tapi, meninggalkan teman kosku, adalah perkara lain yang berada di level lebih tinggi. Ya, bilang saja aku berlebihan. Tapi, begitulah yang kurasakan. 

Sama halnya saat aku bersumpah pada diri agar segera hengkang dari kos itu saat 6 bulan awal uang sewa yang kubayarkan habis masanya. Niatan itu, mungkin semamang niatan pindah ini. Beradaptasi dengan mbak-mbak kos sangat sulit, hingga kesemuanya sudah lulus, berumah tangga, punya anak, dan kami masih saling sapa lewat sosial media. Ya, Tuhan kok gini banget ya aku. Susah move on. Apapun itu.

Ya, mau bagaimana, berbagai ingatan terekam di tiap sudut ruang. Saat baru diterima kuliah, aku diantar bapak mencari kos di sekitar jalan jawa. Dan dari beberapa tempat yang kami datangi, bapak sreg dengan kamar itu. Padahal jika dibandingkan dengan kamar kos teman-teman yang lain, bulanannya lumayan mahal. Apalagi tempat itu menjorok ke dalam. Gang di dalam gang. Hanya ada dua rumah kos di sana. Dekat sungai pula. Tapi kata bapak, di sana saja. Ibu juga berkata hal yang sama ketika aku bilang ingin pindah saat tidak betah dengan lingkungan di sana. Kata ibu, tahan, di sana saja. Ibu yang pernah kuajak menginap saat daftar ulang juga sreg. 


Ya, aku bertahan saja. Bertahan terus. Mengundang satu per satu teman yang kukenal hingga merasa jika aku tidak sendiri. Aku bisa nyaman karena teman-teman silih berganti berdatangan. Keluarga, teman sekolah, teman kuliah, teman organisasi, juga teman yang kukenal secara insidensial, salah satunya Annisa. Sampai Annisa pun ikut pindah ke kos itu di semester dua. Kamarku yang cenderung berantakan meski sudah kubereskan, jadi zona nyaman teman-teman. Tempat curhat, mengerjakan tugas, rapat, masak-masak, makan-makan, karaoke, merayakan ulang tahun, digrebek dan... ah!

Meski aku suka sendiri--menyendiri tanpa ganguan apapun, siapapun, suara apapun, aku senang saja ada teman yang datang. Menginap, masak-masak, bercerita sampai pagi. Ah. Mereka yang datang secara mendadak karena kekunci pintu, mereka yang datang bersamaku setelah menghabiskan waktu bersama, dan mereka yang memang berencana menginap, aku rindu hey. Ya, meski menginap lebih dari seminggu saat aku banyak deadline tulisan itu berlebihan. Hehe. Untuk diketahui saja, aku tidak bisa menulis saat ada orang lain di sekitarku. Oiya, pesan terselubung lain buat teman-teman yang pernah nginep di kosku dan mungkin sekarang kita sudah seprti nggak kenal, plis, kalo ga bawa sikat gigi, jangan pake punyaku. Jangan izin make pas udah make. Dan apalagi yang engga izin kan. Atau enggak ngomong deh, aku punya stok insyaallah. Dan kalian yang kalau habis dari kosku pergi sambil ngucap salam, iya Walaikumsalam. Aku sayang kalian. 

Hai temen-temen, jika kalian membaca tulisan ini, ya, aku sudah tidak kos di sana lagi. Kalian, kalian yang sering main ke kosku, kalian yang sering nginep di kosku, aku sudah tidak berada di kos cozy itu. Dan ya, di kosku yang sekarang, aku masih mau kok diganggu. Kalau engga, malah aku yang bakal kesulitan beradaptasi seperti dulu-dulu. Ya, itu sedikit kenangan dengan teman-teman. 

Keluarga? Banyak. Ada yang pas rombongan, ada yang pas sendiri-sendiri. Paling sering ya bapak. Sekalinya pas masuk kamar kok ya alhamdulilah nggak dimarahin lihat kamar berantakan. Lainnya, ah bakal panjang dan menyedihkan.

Empat kali aku wara-wiri membawa barang dari kos lama ke kos baru. Sambil mengejar waktu karena sudah hampir sore. Ya pasti sih barang-barangku sangat amat banyak. Padahal beberapa pakaian sudah kubawa pulang dan sedang dipinjam teman-teman saat menginap sebelumnya. 

Jam 15.30 kami bersiap pulang. Waktu itu hanya mendung. Langit tak hujan seperti di perjalanan sebelumnya. Tapi mataku basah. Entah. Aku hanya sedikit memikirkan tentang apa yang baru saja kulakukan. Pindah. Pindah. Keluar dari zona nyaman dengan alasan terbesar yang mungkin tidak masuk akal; kesal dan menuduh konsleting listrik yang menyebalkan laptop rusak. Ah, aku menahan tangis yang menggelikan. Bisa-bisanya menangis hanya karena pindah kos. Ah... motor memang tempat terbaik untuk menangis. Di bis atau kereta, tetes air mata yang memaksa turun tertahan dengan keadaan. Di depan orang asing, aku akan terlihat sangat menyedihkan. Ya, meski tetap saja menangis. Tapi, saat berdua dengan Fikoh begini, aku yakin dia tidak peduli dengan tangisanku. Hahaha, sudah lama tidak menangis begini. Sekarang, mencari tempat menangis adalah hal sulit. 


Sekarang, aku sudah menempati kamar baruku. Dengan segala perubahan dan adaptasi yang kurupakan seperti dahulu, memulai dari awal. Tidak nyaman karena antar kamar tidak kedap suara dan penggunaan fasilitas umum bersama penghuni kos lama. Jika aku dulu berdoa ingin pergi jauh dari rumah, tinggal sendiri dan bisa menulis kapanpun, semauku, mungkin hal itu sudah pernah terwujud di kos hijau. Ya, meski dengan ketidakberhasilan yang kudapat. Dan sekarang, mungkin doa lain yang akan terwujud.


Sudah dan cukup. Terima kasih untuk kosan hijau yang sudah lebih dari tiga tahun menjadi tempat pulangku di Jember. Tempat ternyaman untuk berkeluh dan memupuk mimpi. Menjadi saksi hari gilaku, saat senang ataupun sedih. Bernyanyi bersama, menangis bersama. Tertawa bersama, juga marah-marah. Sudah dan cukup. Kenangan di sana, semoga bisa terabadikan di tulisan yang lebih panjang. Terima kasih juga yang sudah membaca tulisan tidak penting ini. Iya, ini juga panjang dan berbelit-belit. Tapi, ya beginilah caraku mengobati rindu.


Sekian, salam sayang dari aku yang masih terus berjuang.


Jember, 12 Januari 2021



Jumat, 08 Januari 2021

Dear Desember, Dear 2020

BAGIAN DUA (13 Desember)  

Konon, angka 13 identik dengan kesialan. Aku sendiri tidak begitu percaya dengan hal-hal seperti itu. Tapi, kebetulan sekali kesialan-kesialan yang kualami terjadi di tanggal 13.

13 Desember, tahun kemarin, aku sial. Iya, tahun kemarin, 2020. Bukan 2019. Mau dibilang kalau 13 Desember 2019 juga sial, nyatanya sepanjang Desember memang sial kan? Hahaha, maaf.

Alih-alih sial, sebenarnya yang terjadi hari itu bisa disebut gagal. Untuk yang kesekian kali, lagi dan lagi. Hari itu, hari yang kutunggu-tunggu. Hari pengumuman pemenang lomba kompetisi cerpen yang terakhir kuikuti. Sebelumnya, aku juga mengikuti beberapa kompetisi serupa. Hasilnya gagal. Tak ada satu pun yang menang. Pun, hari itu. Setelah sekian kali mengecek instastory akun penyelenggara, ternyata pengumumannya lewat postingan biasa. Tak semendebarkan saat mengeklik lingkar story sebelumnya karena di layar postingan, nyata nama dan judul ceritaku tak ada. Tak ada tangis. Hari itu, aku semakin kebal dengan penolakan. Janji awang-awang pada diri untuk berhenti jika gagal lagi, masih tak berlaku karena aku tak mau begitu saja menyerah. Satu lagi, satu kompetisi lagi. Caper. Catatan Perjalanan yang sudah separuh jalan itu, harus selesai. Harus!

Setelah mengetahui kekalahan itu, aku tak lantas uring-uringan seperti biasanya. Di hampir siang, aku bersiap memulai hari. Ya, malam sebelumnya aku sempat begadang. Memikirkan banyak hal tak penting alias overthinking. Dan sialnya lagi, saat aku pulang dari membeli makanan, lampu kosku mati. Lampunya saja. Ah, padahal tadi baik-baik saja. Andai ketika meninggalkan kamar tadi tidak kumatikan, apa juga bakal demikian? Aku meletakkan makanan yang kubeli dan kembali ke satu-satunya toko yang buka di gang sebelah. Dan masih juga sial, ternyata bukan si lampunya yang rusak melainkan listriknya. Oke. Shit. :)

Aku memutuskan untuk makan sebelum menghubungi Bu Kos. Secepet kilat, aku menyambilkan dengan menulis. Tidak efektif memang, hanya menambah sedikit saja hari itu. Singkat cerita, setelah Pak Kos memperbaiki lampu, aku melanjutkan menulis. Ah, waktu yang digunakan untuk membenahi lampu cukup lama. Itu artinya, waktuku menulis semakin berkurang. Menyebalkan. Apalagi, mendung sudah semakin menunjukkan eksistensinya. Aku tak bisa berlama-lama membuka laptop karena hujan gluduk bisa saja merusak laptop.

Selama hujan gluduk, Rika datang. Niat kami ingin melanjutkan revisi buku, namun anggota kelompok lain yang abai membuat kami kesusahan melanjutkan. Bukannya apa-apa, memang selama pengerjaan pun hampir tak semua dari mereka membantu. Namun, tetap saja chief editor alias ketua yang salah satu dari mereka dan jadi penghubung dengan penyelenggara tak bisa dihubungi. Itu berlangsung hingga keesokan hari. Aku dan Rika begadang bersama lewat chat karena dia sudah pulang saat itu. Tidak lupa umpatan dan sumpah serapah kami, beradu di monitor. Tulisanku? Tak ada penambahan. Muak, aku mematikan laptop. Menonaktifkan seluruh medsos dan menonton drama. True Beauty bukan genre mello, tapi aku menangis semalaman. Tidur hampir subuh, dan bangun dengan mata sembab.

Tak ada waktu sengang, besoknya aku mengundang teman-teman organisasi ke kos. Banyak yang harus kami bahas, dan kesempatan seperti waktu itu (tak pernah) hampir jarang terjadi. Menulis? Iya, aku sempat membuka laptop. Mungkin hanya beberapa ratus kata. Tak banyak karena otakku sudah lelah dan mata tak kuat lagi untuk lanjut begadang. Setelah  teman-teman pulang di hampir petang, kami lanjut rapat online dengan anggota lain sampai larut.

Keesokan harinya, aku bangun agak siang. Seorang teman yang mengajak ke kampus, tiba-tiba berhalangan. Ingin mulai menulis, ada anak magang naruh barang. Bukannya sibuk, tapi saat aku tidak benar-benar sendiri, di situ aku merasa kehilangan hari. Tapi tak apa, aku menghibur diri dengan pengingat jika malam hari nanti ada penampilan idolaku di TV nasional. Super Junior. Baiklah, menulis sebanyak mungkin, sebaik mungkin sebagai ganti harga untuk penampilan mereka. Belum selesai penampilan mereka, listrik di kos tiba-tiba mati. Ah, pasti eror. Dan benar saja, malam itu kami gelap-gelapan karena bahkan setelah Pak Kos datang lampunya masih belum normal. Laptop yang kupakai itu tak bisa menyala tanpa di-charge, jadi malam itu aku tak bisa meneruskan tulisan.

Keesokan harinya aku sudah berencana menghabiskan waktu di kampus. Selain karena ada perlu, lebih baik berdiam di sekret dengan aliran listrik yang memadai. Aku belum melengkapi LPJ untuk RAT lusa. Sayangnya, sepanjang hari di kampus, tak ada waktu untuk sekedar membuka laptop. Bahkan, saat semua teman sudah pulang dan menyisakkan aku sendiri di sekret seperti biasa, pikiranku kacau hari itu. Aku pulang saat hampir petang. Listik kos sudah menyala. Lampu kamarku yang baru juga sangat terang. Tapi, hari dan hatiku semakin redup saja. Malam harinya, ada rapat terakhir acara RAT. Tumben sekali pengurus yang hadir lengkap. Meski ada yang diam dan hanya keluar masuk room gmeet. Entah apa yang kulakukan semalaman di depan laptop kala itu, yang jelas tak ada progres banyak. Di hari ke 21, tulisanku belum mencapai angka itu.

Jumat, 17 Desember, pembukaan RAT kami. Acara itu dimulai siang hari. Meski begitu, persiapannya dari pagi, dan selesainya hampir sore. Aku bergegas pulang setelah mengembalikan alat dan menutup ruang. Ingin segera menyelesaikan LPJ yang masih belum rampung. Namun hujan, lagi-lagi jadi penghalang. Aku hanya tidur sepanjang sore di karpet biru kosan. Rika yang mengantarku pulang, juga tergeletak di sana. Aku baru bisa menulis saat malam tiba. Setelah membersihkan diri, kamar, pikiran, dan segala hal penggangu lainnya. LPJ-ku selesai saat hari sudah berganti. Di waktu-waktu yang melelahkan itu muncul notifikasi dari grup kepanitiaan. Ya Tuhan, ada masalah lagi. Otakku sudah hampir pecah di tiap-tiap rapat saat berhadapan dengan mereka, dan di saat itu lagi-lagi mereka menguji. Emosiku memuncak. Aku lelah menjadi tegas dan lunak di waktu bersamaan. Aku capek menjadi satu-satunya panutan yang tak patut dicontoh. Pun, aku kasihan dengan mulutku yang sering kali tak digubris hingga menyatakan hal berulang terus menerus. Aku lelah...

Hari ke 22 terlewat tanpa tambahan apa-apa.

Keesokannya, sidang dimulai. Setelah menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi semalam, acara digelar dengan keterlambatan waktu mulai. Hari itu, selesainya tidak begitu larut. Tak sampai jam 10 aku sudah di kos. Asa! Kesempatan. Aku melanjutkan menulis hingga hampir menyentuh angka 25000. Hampir sih.

Senang. Aku senang. Jangan dikira aku hanya mengejar angka ya! Catatan perjalanan itu pun sudah hampir selesai. Perjalanan di kota Jogja sendiri sudah selesai. 5000 kata sisanya bisa dilanjutkan dengan singgahnya aku di Jombang dan Kediri yang tak luput dari fakta-fakta baru yang kudapatkan di sana. Baiklah, sedikit lagi. Tahan ya, meski ingin menangis tapi masih ada satu minggu lagi. Semangat!

Tanggal 19 Desember, sidang kedua digelar. Aku semangat. Meski mengondisikan tempat yang offline-online, serta pikiran untuk keberlangsungan lembaga kedepan tidak mudah, aku semangat. :). Rapat berlangsung hingga pukul 11 malam--saat satpam mengusir kami. Dua orang teman pengurus menginap di kos. Satu rumahnya jauh, satu memang sengaja 'kabur' dari rumah om-nya karena dilarang ke kampus. Dua anak itu, adalah adik tingkat yang dulunya saat masuk ke organisasi ini makrab denganku. Ya, mengobrol banyak hal. Dan mengingat itu, ada sedikit ketenangan. Dari sekian anak, hanya mereka yang tersisa. Dengan satu lainnya yang belum bisa bergabung. Ah, berbicara mengenai itu tak ada habisnya. Kan, kan, pikiranku lari ke sana... intinya, hingga hari berganti, kami masih mengobrol. Iya, tak ada waktu menulis. Tak apa, tulisanku masih sedikit lebih banyak dari target. Hari ke 24 dengan 24850 kata.

Hari terakhir sidang, semua terasa semakin sulit. Tapi, sekarang ini, saat menulis ini, aku tersenyum loh. Hahahahahahahaha. Sidang selesai begitu saja. Aku pulang dengan segala pikiran. Benar saja, semakin malam, pikiranku semakin terkuras habis. Sesuatu yang berkaitan dengan sidang muncul. Ah, fisik dan otakku sudah lelah, ada saja masalah yang terjadi. Sialnya diriku. Malam itu, Rika menginap di kos karena lampu kamarnya mati. Untung ada dia karena jika tidak, malam itu pasti aku kebanjiran air mata.

Keesokan paginya, saat aku mencoba mendaftar akun untuk KKN, web di ponsel tidak bisa. Entah eror atau apa, yang jelas tak bisa. Padahal itu hari terakhir pendaftaran. Kata Rika memang di web ponsel begitu karena dia dulu daftar lewat laptop. Ah, aku enggan membuka laptop karena merasa bersalah dengan tulisanku yang sudah minus. Hari ke 25 kemarin, tak ada progres apa-apa. Dan hari itu, saat aku harus membuka laptop untuk mendaftar KKN, benda itu tidak bisa menyala. Sama sekali. Mati. Benar-benar mati. Matiii!

Aku linglung. Ada apa sih ini? Kenapa tiba-tiba? Kenapa? Tak ada yang salah dengan laptop ini saat terakhir kali kugunakan. Juga selama menggunakannya, tak kutemui eror di sistem atau virus. Rutinitasku hanya membuka word, dan mozila untuk membuka YouTube serta searching. Lalu, kenapa? Kenapa????!! Lima hari lagi dan aku belum selesai menulis. Tulisan-tulisan dan tugasku akhir-akhir ini masih di sana.

Seketika, harapanku hilang. Pikiran rasanya mau meledak. Bagaimana bisa? Apa laptopnya tak sengaja terkena air? Tidak. Aku bahkan tak pernah meletakkan minuman dingin dekat laptop. Apa? Atau habis terbanting? Tidak juga. 7 kali 24 jam, laptop itu berada di atas meja belajar. Hanya kubawa ke kampus sekali waktu itu. Lalu? Sudah kubilang juga kan aku tak pernah menyalakan laptop kala hujan atau geluduk. Bahkan mendung sekalipun. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Ah, ya. Aku ingat sesuatu. Entah sebelum atau sesudah, di tanggal 13 itu, kipas angin di kamar tiba-tiba saja bergerak lambat tak tentu. Aku pikir saat itu kipasnya eror. Tapi setelahnya kata teman kos voltase listrik memang naik turun. Ah, jangan-jangan karena itu. Mas-mas tukang servis berkata hal serupa. Dia belum yakin apanya yang terbakar, tapi yang jelas tegangannya tinggi saat baru saja dinyalakan. Sial sial sial! Sangat sial.

Jadi, bagaimana? Mengambil hardisk dan melanjutkan menulis di notebook bobrokku? Atau bagaimana? Yang jelas aku harus pulang karena tanggal 25, selain terakhir pengumpulan caper, juga terakhir pengumpulan berkas KKN yang belum kuurus sama sekali. Aku harus pulang karena KKN-ku KKN back to village.

Akhirnya aku pulang. Pulang dengan segala sesal dan kesialan. Meratapi nasib sambil menatap jendela kereta dengan pemandangan bukit dan persawahan. Sementara mata yang lelah, tak terasa sudah basah. Aku baru sadar jika belakangan tak punya waktu sendiri. Sepelik apapun masalah, dan sesedih apapun hati, air mata otomatis terbendung. Di kereta itu pun, tentu aku tak benar-benar sendiri. Tapi, air mata tanpa permisi terus berlinang. Sia-sia. Lantas, setelah ini aku harus bagaimana?

Rabu, 06 Januari 2021

Dear Desember, Dear 2020

BAGIAN PERTAMA

Halo, selamat sekarang teman-teman yang tersesat masuk ke blog ini. Bagaimana awal tahun kalian? Semoga bahagia dan sehat selalu.

Ini, kali pertama aku nulis selain status atau caption medsos dan tugas, setelah sekian lama. Sebenarnya sepanjang Desember, banyak yang ingin kucurahkan di sini. Ya, jika kalian pernah tergelincir masuk ke tautan ini setahun lalu, pasti tahu alasannya. Selain itupun, banyak, sangat banyak, hal random. Seperti tiba-tiba teringat satu nama--dan kalau dijumlah sampai sekarang sepertinya jadi tiga atau empat nama, lanjutan Throwback, lanjutan nae yuilhan eonnie, perjalanan setahun bersama kesalahpahaman, dan sebagainnya. Tapi, semua itu tak ada yang tertulis. Beberapa, yang sedikit, hanya mengendap jadi draft.

Mulai dari Desember, atau 2020 ya? Baiklah, Desember 2020 saja. 

Awal Desember, jadi hari-hari yang mendebarkan. Ada banyak ketakutan tentang hal buruk yang bisa saja terulang. Sebelumnya, di penghujung bulan November, ada saja sesuatu hal yang terjadi. Aku batal pulang. Tidak jadi datang ke acara 40 hari Mbak Pit cuma karena hujan. Ya, benar banyak kesibukan di Jember. Tapi, ini 40 hari mbakku?! Dengan banyak pertimbangan, akhirnya aku batal pulang. Alasan terbesar karena aku sakit. Sepertinya darah rendahku kumat. Beberapa hari belakangan aku menggunakan banyak tenaga untuk menulis.

Bukan, bukan tulisan fiksi seperti biasanya. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir melanjutkan novel fantasiku. Mungkin semester sebelumnya? Pun, bukan projek rutin yang sedikit demi sedikit kucicil saat ada waktu. Tiga hari pasca kedatanganku ke Jember, aku mulai menulis catatan perjalanan selama di Jogja. Aku berencana ikut even menulis caper. Kukira, itu hanya tulisan pendek semacam yang pernah kubaca di majalah kampus. Ternyata bukan. Jika kalian tahu buku-buku Agustinus Wibowo seperti Titik Nol atau Garis Batas, ya semacam itulah.

Minimal 30000 kata.

Salah satu syarat yang baru kusadari saat itu. Perjalananku ke Jogja sebelumnya, selain menemani teman yang sedang penelitian, adalah untuk caper ini. Aku tarik gas dalam-dalam. Mengatur rencana agar usahaku tak sia-sia. Batas waktu terakhir 25 Desember, sedangkan aku mulai menulis 26 November. Setidaknya aku harus menulis 1000 kata per hari, dengan harapan di hari-hari tertentu aku menulis lebih agar tersisa waktu untuk editing, proofreading, atau bahkan verifikasi ulang tentang detail yang kutulis. Toh, outline tulisan sudah kubuat sehari sebelumnya.

Hari pertama tak mengecewakan. Hampir 3000 halaman. Hari kedua, hampir 5000. Hari-hari itu aku aktif-aktifnya olahraga. Ya gimana, badan melar banget sampai celana pada nggak muat, termasuk trining. Sampai pada hari ketiga aku ambruk. Batal pulang ke rumah seperti yang kuceritakan tadi. Tidak menulis sama sekali. Jadi, aku membulatkan tekad untuk segera sembuh. 

Keesokannya, kepala masih pusing. Tapi, aku mencoba nulis lagi. Sedikit, hanya 275 kata. Iya, aku mencatatnya. Kata bapak, hal yang dihitung-hitung terus tidak baik. Tapi, pikirku, ini sebagai pecutan agar diriku yang deadliner garis sesal ini tobat. Hari selanjutnya, sedikit-sedikit lagi kugarap. Tidak sampai seribu per hari, tapi di hari ke-11. Tepat setahun setelah bapak meninggal, aku bisa menulis lebih banyak. Tidak ada hubungannya sih.

Rapat, ngopi, kuliah, ngedrakor, masih bisa kulakukan seperti biasa. Meski tiap hampir tengah malam ibu bertanya apa aku sudah tidur atau belum lalu kukirim pap layar laptop, aku tidak bangun kesiangan--tidak subuh juga sih. Yang jelas, waktu tidurku lumayan baik. 

Ah, ingat. Ada satu drama bagus yang kutonton kala itu, More Than Friend. Aku menahan diri dengan cara, boleh lanjut menonton asal tulisanku sudah bertambah. Aku masih sempat menghabiskan banyak waktu dengan teman-teman yang ke kos. Aku lebih banyak jajan juga. Ya, sebagai pengganti kopi. Justru, hari-hari kosong alias aku tidak menulis sama sekali adalah saat ada rapat. Fokus dan emosiku tercurah di sana. Saat itu sudah separuh waktu. Hari ke 15. Tapi, keesokannya aku bisa mengejar. Dan di hari-hari selanjutnya, semua berubah tak terkontrol.

Aku membuat komitmen lagi dengan diriku sendiri. Mencoba ikhlas menjalani semua hal. Apalagi terkait tanggung jawab. Ya, aku belajar untuk egois juga. Tapi, sulit. Embel-embel tanggung jawab yang harusnya juga ke diri sendiri, terus kukompromi. Oke, oke, oke. Memang, cerita sudah lewat separuh perjalanan--hampir selesai malah, tapi waktuku juga tinggal sedikit. Mepet sekali. Terbersit keinginan untuk menyerah. Lagi-lagi bayangan sesal muncul. Bagaimana aku bisa menyerah jika tiap malam ibu mengirimi pesan yang secara tidak langsung berisi semangat sekaligus harapan? Bagaimana aku menjelaskan pada diriku di masa depan? Apa aku hanya akan bercerita tentang kegagalan? Ah, tidak. Jangan. Jika ingin menyerah, nanti deh. Setelah tulisan ini. Kalau gagal lagi, mungkin aku harus meninggalkan dunia literasi. Pikirku kala itu. 

Yap, drama yang kutonton bercerita tentang tokoh utama yang menyerah pada mimpinya sebagai penulis. Awalnya aku getol sekali dengan prinsip hidupnya. Padahal bakatnya sudah terbukti. Tapi kenapa menyerah? Namun, suatu saat si tokoh itu kembali mengais mimpinya di kemudian hari. Saat-saat itu aku malah yang ingin menyerah. Ada saja perkaranya. Lucu sekali. Yang paling memoriable sih ya tanggal 13 Desember. 

13 Desember? 

Ada apa tanggal 13 Desember?

:))