Rabu, 06 Januari 2021

Dear Desember, Dear 2020

BAGIAN PERTAMA

Halo, selamat sekarang teman-teman yang tersesat masuk ke blog ini. Bagaimana awal tahun kalian? Semoga bahagia dan sehat selalu.

Ini, kali pertama aku nulis selain status atau caption medsos dan tugas, setelah sekian lama. Sebenarnya sepanjang Desember, banyak yang ingin kucurahkan di sini. Ya, jika kalian pernah tergelincir masuk ke tautan ini setahun lalu, pasti tahu alasannya. Selain itupun, banyak, sangat banyak, hal random. Seperti tiba-tiba teringat satu nama--dan kalau dijumlah sampai sekarang sepertinya jadi tiga atau empat nama, lanjutan Throwback, lanjutan nae yuilhan eonnie, perjalanan setahun bersama kesalahpahaman, dan sebagainnya. Tapi, semua itu tak ada yang tertulis. Beberapa, yang sedikit, hanya mengendap jadi draft.

Mulai dari Desember, atau 2020 ya? Baiklah, Desember 2020 saja. 

Awal Desember, jadi hari-hari yang mendebarkan. Ada banyak ketakutan tentang hal buruk yang bisa saja terulang. Sebelumnya, di penghujung bulan November, ada saja sesuatu hal yang terjadi. Aku batal pulang. Tidak jadi datang ke acara 40 hari Mbak Pit cuma karena hujan. Ya, benar banyak kesibukan di Jember. Tapi, ini 40 hari mbakku?! Dengan banyak pertimbangan, akhirnya aku batal pulang. Alasan terbesar karena aku sakit. Sepertinya darah rendahku kumat. Beberapa hari belakangan aku menggunakan banyak tenaga untuk menulis.

Bukan, bukan tulisan fiksi seperti biasanya. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir melanjutkan novel fantasiku. Mungkin semester sebelumnya? Pun, bukan projek rutin yang sedikit demi sedikit kucicil saat ada waktu. Tiga hari pasca kedatanganku ke Jember, aku mulai menulis catatan perjalanan selama di Jogja. Aku berencana ikut even menulis caper. Kukira, itu hanya tulisan pendek semacam yang pernah kubaca di majalah kampus. Ternyata bukan. Jika kalian tahu buku-buku Agustinus Wibowo seperti Titik Nol atau Garis Batas, ya semacam itulah.

Minimal 30000 kata.

Salah satu syarat yang baru kusadari saat itu. Perjalananku ke Jogja sebelumnya, selain menemani teman yang sedang penelitian, adalah untuk caper ini. Aku tarik gas dalam-dalam. Mengatur rencana agar usahaku tak sia-sia. Batas waktu terakhir 25 Desember, sedangkan aku mulai menulis 26 November. Setidaknya aku harus menulis 1000 kata per hari, dengan harapan di hari-hari tertentu aku menulis lebih agar tersisa waktu untuk editing, proofreading, atau bahkan verifikasi ulang tentang detail yang kutulis. Toh, outline tulisan sudah kubuat sehari sebelumnya.

Hari pertama tak mengecewakan. Hampir 3000 halaman. Hari kedua, hampir 5000. Hari-hari itu aku aktif-aktifnya olahraga. Ya gimana, badan melar banget sampai celana pada nggak muat, termasuk trining. Sampai pada hari ketiga aku ambruk. Batal pulang ke rumah seperti yang kuceritakan tadi. Tidak menulis sama sekali. Jadi, aku membulatkan tekad untuk segera sembuh. 

Keesokannya, kepala masih pusing. Tapi, aku mencoba nulis lagi. Sedikit, hanya 275 kata. Iya, aku mencatatnya. Kata bapak, hal yang dihitung-hitung terus tidak baik. Tapi, pikirku, ini sebagai pecutan agar diriku yang deadliner garis sesal ini tobat. Hari selanjutnya, sedikit-sedikit lagi kugarap. Tidak sampai seribu per hari, tapi di hari ke-11. Tepat setahun setelah bapak meninggal, aku bisa menulis lebih banyak. Tidak ada hubungannya sih.

Rapat, ngopi, kuliah, ngedrakor, masih bisa kulakukan seperti biasa. Meski tiap hampir tengah malam ibu bertanya apa aku sudah tidur atau belum lalu kukirim pap layar laptop, aku tidak bangun kesiangan--tidak subuh juga sih. Yang jelas, waktu tidurku lumayan baik. 

Ah, ingat. Ada satu drama bagus yang kutonton kala itu, More Than Friend. Aku menahan diri dengan cara, boleh lanjut menonton asal tulisanku sudah bertambah. Aku masih sempat menghabiskan banyak waktu dengan teman-teman yang ke kos. Aku lebih banyak jajan juga. Ya, sebagai pengganti kopi. Justru, hari-hari kosong alias aku tidak menulis sama sekali adalah saat ada rapat. Fokus dan emosiku tercurah di sana. Saat itu sudah separuh waktu. Hari ke 15. Tapi, keesokannya aku bisa mengejar. Dan di hari-hari selanjutnya, semua berubah tak terkontrol.

Aku membuat komitmen lagi dengan diriku sendiri. Mencoba ikhlas menjalani semua hal. Apalagi terkait tanggung jawab. Ya, aku belajar untuk egois juga. Tapi, sulit. Embel-embel tanggung jawab yang harusnya juga ke diri sendiri, terus kukompromi. Oke, oke, oke. Memang, cerita sudah lewat separuh perjalanan--hampir selesai malah, tapi waktuku juga tinggal sedikit. Mepet sekali. Terbersit keinginan untuk menyerah. Lagi-lagi bayangan sesal muncul. Bagaimana aku bisa menyerah jika tiap malam ibu mengirimi pesan yang secara tidak langsung berisi semangat sekaligus harapan? Bagaimana aku menjelaskan pada diriku di masa depan? Apa aku hanya akan bercerita tentang kegagalan? Ah, tidak. Jangan. Jika ingin menyerah, nanti deh. Setelah tulisan ini. Kalau gagal lagi, mungkin aku harus meninggalkan dunia literasi. Pikirku kala itu. 

Yap, drama yang kutonton bercerita tentang tokoh utama yang menyerah pada mimpinya sebagai penulis. Awalnya aku getol sekali dengan prinsip hidupnya. Padahal bakatnya sudah terbukti. Tapi kenapa menyerah? Namun, suatu saat si tokoh itu kembali mengais mimpinya di kemudian hari. Saat-saat itu aku malah yang ingin menyerah. Ada saja perkaranya. Lucu sekali. Yang paling memoriable sih ya tanggal 13 Desember. 

13 Desember? 

Ada apa tanggal 13 Desember?

:))


Tidak ada komentar:

Posting Komentar