BAGIAN TIGA (TERAKHIR)
Hallo! Wah sudah lama sekali pasca kejadian sebelumnya. Tapi aku tetap ingin lanjut nulis. Apapun yang terjadi, masih akan kuabadikan momen mengesalkan itu.
Setelah mengetahui jika laptop itu masih belum bisa segera diperbaiki, aku pasrah. Waktu yang semakin mepet dan pikiran yang bertambah kacau membuatku pesimis. Ya sudah. Mungkin ini bukan jalanku. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk menulis. Mungkin, keinginan untuk menjadi seorang penulis adalah sebuah kesalahan. Dan, sepertinya dalam waktu dekat, aku tak bisa kembali menulis.
Aku menghabiskan waktu di rumah masih seperti biasa. Tak kusisihkan waktu untuk menulis. Bahkan, untuk blog sekalipun. Ini, tulisan ini baru kutulis sekarang kan. Saat itu, aku terus berpikir dan berpikir. Bagaimana, bagaimana, dan bagaimana. Andai, andai, dan andai. Hari-hari itu berjalan setidaknya selama tiga hari sampai tenggat waktu pengumpulan naskah berakhir. Sedangkan tenggat waktu pengunggahan berkas KKN diperpanjang. Ah!
Keesokan harinya, Fikoh mengajakku ke pantai. Aku oke saja karena mungkin aku butuh refreshing. Setelah berdebat mengenai pantai mana yang bakal kami kunjungi, keputusannya adalah kami ke Jember saja. Fikoh ingin ke alun-alun. Ya, sudah. Aku iyakan lagi.
Minggu siang kami berangkat. Menembus hujan yang sangat deras di balik mantel. Biasanya sih, aku memilih berteduh jika seperti itu, tapi kali itu tidak. Bahkan sampai sepatuku basah kuyup. Singkat cerita, kami sampai di kosan Fikoh dengan masih mengenakan mantel. Padahal di Jember tidak hujan. Sejenak istirahat dan membersihkan diri. Mengobrol sedikit hal hingga tercetuk obrolan tentang kos. Aku yang sudah jauh-jauh hari memikirkan hal yang sama, semangat. Semangat untuk mengumpati kos hijau menyebalkan sekaligus tersayangku. Fikoh bilang ingin berhenti kos dan menginap di tempatku jika ke Jember, sedangkan aku yang sedang kesal dengan si kamar hijau itu bilang akan menyerah padanya. Menyerah. Menyerahkan semua kenangan pada lepas. Pasrah pada keputusan yang sejak dulu kuyakini kan datang. Mungkin sekarang saatnya, pikirku.
Obrolan berhenti menggantung. Kami bergegas menunaikan rencana untuk pergi ke alun-alun setelah mampir ke kosan Rika. Kami pulang sekitar jam 11. Bagi Fikoh itu sudah sangat malam. Ia khawatir kosnya sudah dikunci. Sedangkan pintu kosku yang 24 jam kukendalikan sendiri tak dijadikan pilihan sama sekali oleh Fikoh. Sebenarnya aku juga bersikeras berniat pulang ke kos karena... karena... entahlah, sepertinya sudah lama aku tidak 'me time' di sana. Dan aku sangat ingin itu. Setidaknya, sebelum benar-benar pindah. Siapa tahu kan, di kesempatan lain saat aku ke Jember lagi, aku benar-benar meninggalkan kamar penuh kenangan itu.
Pagi harinya di kos fikoh, saat kami sedang sarapan obrolan seputar kos kembali muncul. Entahlah, aku gila atau apa. Yang jelas, saat ibu telah mengijinkanku pindah, aku bilang akan pindah. Pindah. Pindah! Baik, sepertinya aku tidak akan punya malam bersama kamar hijau itu lagi. Tidak akan. Bulan depan setelah mengurus berkas KKN aku akan bersiap dan pamit ke ibu kos.
"Sekarang aja loh, mumpung ada kesempatan." Kata Fikoh saat itu membuat aku berat untuk menentukan.
Iya memang, aku masih benar-benar belum yakin jika ingin pindah. Besar kemungkinan aku akan membatalkan niat itu dan terus bertahan di sana. Dengan segala ketidakbergunaan yang telah aku lalui. Kamar itu, sekarang bertambah kenangannya dengan kesan mengesalkan. Kos yang penuh penyesalan.
"Yasudah, iya."
Tak ada babibu lagi. Setelah melihat beberapa kamar kosong dan menentukan pilihan, aku pulang ke kos lama untuk mengambil barang-barangku yang... ah sangat banyak. Ah, akhirnya hal yang sangat tidak kusukai harus kulalui. Packing. Pindahan. Barang-barangku. Segala kenanganku. Ya Tuhan...
Kapan terakhir aku berdiam di kamar hijau itu? Ah, iya. Saat menulis LPJ. Iya, saat terakhir kali membuka laptop. Saat sebelum aku dirundung masalah dan kesialan yang bertubi-tubi. Dan sekarang, aku harus meninggalkan ini semua. Meninggalkan zona nyaman dan berharap segala kutukan yang mungkin hinggap akan lenyap.
Annisa? Ya, Annisa, teman kosku, satu-satunya yang menjadi pemberat untuk keputusanku. Namun, aku sudah terlanjur kesal dengan kesialan yang terjadi di sana. Meninggalkan jalan Jawa dan ingatan di tiap selanya, mungkin memang berat untukku yang suka mengkoleksi kenangan. Tapi, meninggalkan teman kosku, adalah perkara lain yang berada di level lebih tinggi. Ya, bilang saja aku berlebihan. Tapi, begitulah yang kurasakan.
Sama halnya saat aku bersumpah pada diri agar segera hengkang dari kos itu saat 6 bulan awal uang sewa yang kubayarkan habis masanya. Niatan itu, mungkin semamang niatan pindah ini. Beradaptasi dengan mbak-mbak kos sangat sulit, hingga kesemuanya sudah lulus, berumah tangga, punya anak, dan kami masih saling sapa lewat sosial media. Ya, Tuhan kok gini banget ya aku. Susah move on. Apapun itu.
Ya, mau bagaimana, berbagai ingatan terekam di tiap sudut ruang. Saat baru diterima kuliah, aku diantar bapak mencari kos di sekitar jalan jawa. Dan dari beberapa tempat yang kami datangi, bapak sreg dengan kamar itu. Padahal jika dibandingkan dengan kamar kos teman-teman yang lain, bulanannya lumayan mahal. Apalagi tempat itu menjorok ke dalam. Gang di dalam gang. Hanya ada dua rumah kos di sana. Dekat sungai pula. Tapi kata bapak, di sana saja. Ibu juga berkata hal yang sama ketika aku bilang ingin pindah saat tidak betah dengan lingkungan di sana. Kata ibu, tahan, di sana saja. Ibu yang pernah kuajak menginap saat daftar ulang juga sreg.
Ya, aku bertahan saja. Bertahan terus. Mengundang satu per satu teman yang kukenal hingga merasa jika aku tidak sendiri. Aku bisa nyaman karena teman-teman silih berganti berdatangan. Keluarga, teman sekolah, teman kuliah, teman organisasi, juga teman yang kukenal secara insidensial, salah satunya Annisa. Sampai Annisa pun ikut pindah ke kos itu di semester dua. Kamarku yang cenderung berantakan meski sudah kubereskan, jadi zona nyaman teman-teman. Tempat curhat, mengerjakan tugas, rapat, masak-masak, makan-makan, karaoke, merayakan ulang tahun, digrebek dan... ah!
Meski aku suka sendiri--menyendiri tanpa ganguan apapun, siapapun, suara apapun, aku senang saja ada teman yang datang. Menginap, masak-masak, bercerita sampai pagi. Ah. Mereka yang datang secara mendadak karena kekunci pintu, mereka yang datang bersamaku setelah menghabiskan waktu bersama, dan mereka yang memang berencana menginap, aku rindu hey. Ya, meski menginap lebih dari seminggu saat aku banyak deadline tulisan itu berlebihan. Hehe. Untuk diketahui saja, aku tidak bisa menulis saat ada orang lain di sekitarku. Oiya, pesan terselubung lain buat teman-teman yang pernah nginep di kosku dan mungkin sekarang kita sudah seprti nggak kenal, plis, kalo ga bawa sikat gigi, jangan pake punyaku. Jangan izin make pas udah make. Dan apalagi yang engga izin kan. Atau enggak ngomong deh, aku punya stok insyaallah. Dan kalian yang kalau habis dari kosku pergi sambil ngucap salam, iya Walaikumsalam. Aku sayang kalian.
Hai temen-temen, jika kalian membaca tulisan ini, ya, aku sudah tidak kos di sana lagi. Kalian, kalian yang sering main ke kosku, kalian yang sering nginep di kosku, aku sudah tidak berada di kos cozy itu. Dan ya, di kosku yang sekarang, aku masih mau kok diganggu. Kalau engga, malah aku yang bakal kesulitan beradaptasi seperti dulu-dulu. Ya, itu sedikit kenangan dengan teman-teman.
Keluarga? Banyak. Ada yang pas rombongan, ada yang pas sendiri-sendiri. Paling sering ya bapak. Sekalinya pas masuk kamar kok ya alhamdulilah nggak dimarahin lihat kamar berantakan. Lainnya, ah bakal panjang dan menyedihkan.
Empat kali aku wara-wiri membawa barang dari kos lama ke kos baru. Sambil mengejar waktu karena sudah hampir sore. Ya pasti sih barang-barangku sangat amat banyak. Padahal beberapa pakaian sudah kubawa pulang dan sedang dipinjam teman-teman saat menginap sebelumnya.
Jam 15.30 kami bersiap pulang. Waktu itu hanya mendung. Langit tak hujan seperti di perjalanan sebelumnya. Tapi mataku basah. Entah. Aku hanya sedikit memikirkan tentang apa yang baru saja kulakukan. Pindah. Pindah. Keluar dari zona nyaman dengan alasan terbesar yang mungkin tidak masuk akal; kesal dan menuduh konsleting listrik yang menyebalkan laptop rusak. Ah, aku menahan tangis yang menggelikan. Bisa-bisanya menangis hanya karena pindah kos. Ah... motor memang tempat terbaik untuk menangis. Di bis atau kereta, tetes air mata yang memaksa turun tertahan dengan keadaan. Di depan orang asing, aku akan terlihat sangat menyedihkan. Ya, meski tetap saja menangis. Tapi, saat berdua dengan Fikoh begini, aku yakin dia tidak peduli dengan tangisanku. Hahaha, sudah lama tidak menangis begini. Sekarang, mencari tempat menangis adalah hal sulit.
Sekarang, aku sudah menempati kamar baruku. Dengan segala perubahan dan adaptasi yang kurupakan seperti dahulu, memulai dari awal. Tidak nyaman karena antar kamar tidak kedap suara dan penggunaan fasilitas umum bersama penghuni kos lama. Jika aku dulu berdoa ingin pergi jauh dari rumah, tinggal sendiri dan bisa menulis kapanpun, semauku, mungkin hal itu sudah pernah terwujud di kos hijau. Ya, meski dengan ketidakberhasilan yang kudapat. Dan sekarang, mungkin doa lain yang akan terwujud.
Sudah dan cukup. Terima kasih untuk kosan hijau yang sudah lebih dari tiga tahun menjadi tempat pulangku di Jember. Tempat ternyaman untuk berkeluh dan memupuk mimpi. Menjadi saksi hari gilaku, saat senang ataupun sedih. Bernyanyi bersama, menangis bersama. Tertawa bersama, juga marah-marah. Sudah dan cukup. Kenangan di sana, semoga bisa terabadikan di tulisan yang lebih panjang. Terima kasih juga yang sudah membaca tulisan tidak penting ini. Iya, ini juga panjang dan berbelit-belit. Tapi, ya beginilah caraku mengobati rindu.
Sekian, salam sayang dari aku yang masih terus berjuang.
Jember, 12 Januari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar