Jumat, 08 Januari 2021

Dear Desember, Dear 2020

BAGIAN DUA (13 Desember)  

Konon, angka 13 identik dengan kesialan. Aku sendiri tidak begitu percaya dengan hal-hal seperti itu. Tapi, kebetulan sekali kesialan-kesialan yang kualami terjadi di tanggal 13.

13 Desember, tahun kemarin, aku sial. Iya, tahun kemarin, 2020. Bukan 2019. Mau dibilang kalau 13 Desember 2019 juga sial, nyatanya sepanjang Desember memang sial kan? Hahaha, maaf.

Alih-alih sial, sebenarnya yang terjadi hari itu bisa disebut gagal. Untuk yang kesekian kali, lagi dan lagi. Hari itu, hari yang kutunggu-tunggu. Hari pengumuman pemenang lomba kompetisi cerpen yang terakhir kuikuti. Sebelumnya, aku juga mengikuti beberapa kompetisi serupa. Hasilnya gagal. Tak ada satu pun yang menang. Pun, hari itu. Setelah sekian kali mengecek instastory akun penyelenggara, ternyata pengumumannya lewat postingan biasa. Tak semendebarkan saat mengeklik lingkar story sebelumnya karena di layar postingan, nyata nama dan judul ceritaku tak ada. Tak ada tangis. Hari itu, aku semakin kebal dengan penolakan. Janji awang-awang pada diri untuk berhenti jika gagal lagi, masih tak berlaku karena aku tak mau begitu saja menyerah. Satu lagi, satu kompetisi lagi. Caper. Catatan Perjalanan yang sudah separuh jalan itu, harus selesai. Harus!

Setelah mengetahui kekalahan itu, aku tak lantas uring-uringan seperti biasanya. Di hampir siang, aku bersiap memulai hari. Ya, malam sebelumnya aku sempat begadang. Memikirkan banyak hal tak penting alias overthinking. Dan sialnya lagi, saat aku pulang dari membeli makanan, lampu kosku mati. Lampunya saja. Ah, padahal tadi baik-baik saja. Andai ketika meninggalkan kamar tadi tidak kumatikan, apa juga bakal demikian? Aku meletakkan makanan yang kubeli dan kembali ke satu-satunya toko yang buka di gang sebelah. Dan masih juga sial, ternyata bukan si lampunya yang rusak melainkan listriknya. Oke. Shit. :)

Aku memutuskan untuk makan sebelum menghubungi Bu Kos. Secepet kilat, aku menyambilkan dengan menulis. Tidak efektif memang, hanya menambah sedikit saja hari itu. Singkat cerita, setelah Pak Kos memperbaiki lampu, aku melanjutkan menulis. Ah, waktu yang digunakan untuk membenahi lampu cukup lama. Itu artinya, waktuku menulis semakin berkurang. Menyebalkan. Apalagi, mendung sudah semakin menunjukkan eksistensinya. Aku tak bisa berlama-lama membuka laptop karena hujan gluduk bisa saja merusak laptop.

Selama hujan gluduk, Rika datang. Niat kami ingin melanjutkan revisi buku, namun anggota kelompok lain yang abai membuat kami kesusahan melanjutkan. Bukannya apa-apa, memang selama pengerjaan pun hampir tak semua dari mereka membantu. Namun, tetap saja chief editor alias ketua yang salah satu dari mereka dan jadi penghubung dengan penyelenggara tak bisa dihubungi. Itu berlangsung hingga keesokan hari. Aku dan Rika begadang bersama lewat chat karena dia sudah pulang saat itu. Tidak lupa umpatan dan sumpah serapah kami, beradu di monitor. Tulisanku? Tak ada penambahan. Muak, aku mematikan laptop. Menonaktifkan seluruh medsos dan menonton drama. True Beauty bukan genre mello, tapi aku menangis semalaman. Tidur hampir subuh, dan bangun dengan mata sembab.

Tak ada waktu sengang, besoknya aku mengundang teman-teman organisasi ke kos. Banyak yang harus kami bahas, dan kesempatan seperti waktu itu (tak pernah) hampir jarang terjadi. Menulis? Iya, aku sempat membuka laptop. Mungkin hanya beberapa ratus kata. Tak banyak karena otakku sudah lelah dan mata tak kuat lagi untuk lanjut begadang. Setelah  teman-teman pulang di hampir petang, kami lanjut rapat online dengan anggota lain sampai larut.

Keesokan harinya, aku bangun agak siang. Seorang teman yang mengajak ke kampus, tiba-tiba berhalangan. Ingin mulai menulis, ada anak magang naruh barang. Bukannya sibuk, tapi saat aku tidak benar-benar sendiri, di situ aku merasa kehilangan hari. Tapi tak apa, aku menghibur diri dengan pengingat jika malam hari nanti ada penampilan idolaku di TV nasional. Super Junior. Baiklah, menulis sebanyak mungkin, sebaik mungkin sebagai ganti harga untuk penampilan mereka. Belum selesai penampilan mereka, listrik di kos tiba-tiba mati. Ah, pasti eror. Dan benar saja, malam itu kami gelap-gelapan karena bahkan setelah Pak Kos datang lampunya masih belum normal. Laptop yang kupakai itu tak bisa menyala tanpa di-charge, jadi malam itu aku tak bisa meneruskan tulisan.

Keesokan harinya aku sudah berencana menghabiskan waktu di kampus. Selain karena ada perlu, lebih baik berdiam di sekret dengan aliran listrik yang memadai. Aku belum melengkapi LPJ untuk RAT lusa. Sayangnya, sepanjang hari di kampus, tak ada waktu untuk sekedar membuka laptop. Bahkan, saat semua teman sudah pulang dan menyisakkan aku sendiri di sekret seperti biasa, pikiranku kacau hari itu. Aku pulang saat hampir petang. Listik kos sudah menyala. Lampu kamarku yang baru juga sangat terang. Tapi, hari dan hatiku semakin redup saja. Malam harinya, ada rapat terakhir acara RAT. Tumben sekali pengurus yang hadir lengkap. Meski ada yang diam dan hanya keluar masuk room gmeet. Entah apa yang kulakukan semalaman di depan laptop kala itu, yang jelas tak ada progres banyak. Di hari ke 21, tulisanku belum mencapai angka itu.

Jumat, 17 Desember, pembukaan RAT kami. Acara itu dimulai siang hari. Meski begitu, persiapannya dari pagi, dan selesainya hampir sore. Aku bergegas pulang setelah mengembalikan alat dan menutup ruang. Ingin segera menyelesaikan LPJ yang masih belum rampung. Namun hujan, lagi-lagi jadi penghalang. Aku hanya tidur sepanjang sore di karpet biru kosan. Rika yang mengantarku pulang, juga tergeletak di sana. Aku baru bisa menulis saat malam tiba. Setelah membersihkan diri, kamar, pikiran, dan segala hal penggangu lainnya. LPJ-ku selesai saat hari sudah berganti. Di waktu-waktu yang melelahkan itu muncul notifikasi dari grup kepanitiaan. Ya Tuhan, ada masalah lagi. Otakku sudah hampir pecah di tiap-tiap rapat saat berhadapan dengan mereka, dan di saat itu lagi-lagi mereka menguji. Emosiku memuncak. Aku lelah menjadi tegas dan lunak di waktu bersamaan. Aku capek menjadi satu-satunya panutan yang tak patut dicontoh. Pun, aku kasihan dengan mulutku yang sering kali tak digubris hingga menyatakan hal berulang terus menerus. Aku lelah...

Hari ke 22 terlewat tanpa tambahan apa-apa.

Keesokannya, sidang dimulai. Setelah menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi semalam, acara digelar dengan keterlambatan waktu mulai. Hari itu, selesainya tidak begitu larut. Tak sampai jam 10 aku sudah di kos. Asa! Kesempatan. Aku melanjutkan menulis hingga hampir menyentuh angka 25000. Hampir sih.

Senang. Aku senang. Jangan dikira aku hanya mengejar angka ya! Catatan perjalanan itu pun sudah hampir selesai. Perjalanan di kota Jogja sendiri sudah selesai. 5000 kata sisanya bisa dilanjutkan dengan singgahnya aku di Jombang dan Kediri yang tak luput dari fakta-fakta baru yang kudapatkan di sana. Baiklah, sedikit lagi. Tahan ya, meski ingin menangis tapi masih ada satu minggu lagi. Semangat!

Tanggal 19 Desember, sidang kedua digelar. Aku semangat. Meski mengondisikan tempat yang offline-online, serta pikiran untuk keberlangsungan lembaga kedepan tidak mudah, aku semangat. :). Rapat berlangsung hingga pukul 11 malam--saat satpam mengusir kami. Dua orang teman pengurus menginap di kos. Satu rumahnya jauh, satu memang sengaja 'kabur' dari rumah om-nya karena dilarang ke kampus. Dua anak itu, adalah adik tingkat yang dulunya saat masuk ke organisasi ini makrab denganku. Ya, mengobrol banyak hal. Dan mengingat itu, ada sedikit ketenangan. Dari sekian anak, hanya mereka yang tersisa. Dengan satu lainnya yang belum bisa bergabung. Ah, berbicara mengenai itu tak ada habisnya. Kan, kan, pikiranku lari ke sana... intinya, hingga hari berganti, kami masih mengobrol. Iya, tak ada waktu menulis. Tak apa, tulisanku masih sedikit lebih banyak dari target. Hari ke 24 dengan 24850 kata.

Hari terakhir sidang, semua terasa semakin sulit. Tapi, sekarang ini, saat menulis ini, aku tersenyum loh. Hahahahahahahaha. Sidang selesai begitu saja. Aku pulang dengan segala pikiran. Benar saja, semakin malam, pikiranku semakin terkuras habis. Sesuatu yang berkaitan dengan sidang muncul. Ah, fisik dan otakku sudah lelah, ada saja masalah yang terjadi. Sialnya diriku. Malam itu, Rika menginap di kos karena lampu kamarnya mati. Untung ada dia karena jika tidak, malam itu pasti aku kebanjiran air mata.

Keesokan paginya, saat aku mencoba mendaftar akun untuk KKN, web di ponsel tidak bisa. Entah eror atau apa, yang jelas tak bisa. Padahal itu hari terakhir pendaftaran. Kata Rika memang di web ponsel begitu karena dia dulu daftar lewat laptop. Ah, aku enggan membuka laptop karena merasa bersalah dengan tulisanku yang sudah minus. Hari ke 25 kemarin, tak ada progres apa-apa. Dan hari itu, saat aku harus membuka laptop untuk mendaftar KKN, benda itu tidak bisa menyala. Sama sekali. Mati. Benar-benar mati. Matiii!

Aku linglung. Ada apa sih ini? Kenapa tiba-tiba? Kenapa? Tak ada yang salah dengan laptop ini saat terakhir kali kugunakan. Juga selama menggunakannya, tak kutemui eror di sistem atau virus. Rutinitasku hanya membuka word, dan mozila untuk membuka YouTube serta searching. Lalu, kenapa? Kenapa????!! Lima hari lagi dan aku belum selesai menulis. Tulisan-tulisan dan tugasku akhir-akhir ini masih di sana.

Seketika, harapanku hilang. Pikiran rasanya mau meledak. Bagaimana bisa? Apa laptopnya tak sengaja terkena air? Tidak. Aku bahkan tak pernah meletakkan minuman dingin dekat laptop. Apa? Atau habis terbanting? Tidak juga. 7 kali 24 jam, laptop itu berada di atas meja belajar. Hanya kubawa ke kampus sekali waktu itu. Lalu? Sudah kubilang juga kan aku tak pernah menyalakan laptop kala hujan atau geluduk. Bahkan mendung sekalipun. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Ah, ya. Aku ingat sesuatu. Entah sebelum atau sesudah, di tanggal 13 itu, kipas angin di kamar tiba-tiba saja bergerak lambat tak tentu. Aku pikir saat itu kipasnya eror. Tapi setelahnya kata teman kos voltase listrik memang naik turun. Ah, jangan-jangan karena itu. Mas-mas tukang servis berkata hal serupa. Dia belum yakin apanya yang terbakar, tapi yang jelas tegangannya tinggi saat baru saja dinyalakan. Sial sial sial! Sangat sial.

Jadi, bagaimana? Mengambil hardisk dan melanjutkan menulis di notebook bobrokku? Atau bagaimana? Yang jelas aku harus pulang karena tanggal 25, selain terakhir pengumpulan caper, juga terakhir pengumpulan berkas KKN yang belum kuurus sama sekali. Aku harus pulang karena KKN-ku KKN back to village.

Akhirnya aku pulang. Pulang dengan segala sesal dan kesialan. Meratapi nasib sambil menatap jendela kereta dengan pemandangan bukit dan persawahan. Sementara mata yang lelah, tak terasa sudah basah. Aku baru sadar jika belakangan tak punya waktu sendiri. Sepelik apapun masalah, dan sesedih apapun hati, air mata otomatis terbendung. Di kereta itu pun, tentu aku tak benar-benar sendiri. Tapi, air mata tanpa permisi terus berlinang. Sia-sia. Lantas, setelah ini aku harus bagaimana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar