Senin, 25 Januari 2021

Aku dan Kisahku: Nae Yuilhan Eonni (Si Kuning)

Halo, selamat malam dan selamat sekarang. Aku ingin berkisah. Sebuah cerita lama yang kutarik ke masa sekarang. Perjalanan yang cukup pahit untuk bisa berbuah manis. Tentang aku, dia, dan sebuah mimpi.

Dulu, saat aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, cita-citaku adalah menjadi penulis fiksi. Mungkin karena waktu itu aku banyak menghabiskan waktu di perpustakaan karena ketidaknyamananku berada di sekolah itu. Satu-satunya tempat berdiam ya perpustakaan.

Berbagai macam novel dan kumpulan cerpen kubaca. Entah di sana atau di bawa pulang, setidaknya, seminggu lebih dari satu buku kutamatkan. Sedikit demi sedikit keinginan untuk menulis kembali muncul. Ya, memang sejak lama aku suka menulis. Entah catatan harian, lirik lagu, resep masakan, sampai hal konyol tentang sebuah narasi cerita, kubuat, Media yang kugunakan ya buku--atau kertas. Kertas-kertas dari buku-buku yang sisa selama SD, kuambil dan kujilid kembali. Sebagian kujadikan ijiran (tempat menghitung dengan coret-coretan), sebagian lain kujilid. Kertas-kertas berisi puisi lirik lagu buatanku kukumpulkan bersama kertas-kertas lirik lagu Korea besera terjemahannya. Banyak sekali deh. Sekitar dua paper bag besar. Dan sekardus kertas-kertas lain berisi prosa. Mungkin sekarang aku tertawa melihat kalimat-kalimat yang tertulis di sana, namun jika kupikir lagi, itu sangat mengagumkan.

Suatu hari di tahun terakhirku, sekolah itu mengadakan banyak perlombaan. Entah untuk memperingati apa, yang jelas kami, tiap-tiap kelas, saling berkompetisi. Menulis, menggambar, membaca puisi, menyanyi, menari, bermain musik, mengaji, dan banyak lainnya. Sebenarnya, ketika mendengar nama satu lomba yang kudengar di awal, aku sangat ingin mengikutinya. Tapi, aku diam. Bukan pura-pura tak mau ikut, melainkan enggan berinteraksi dengan teman-teman. Tapi, sampai waktu pengiriman nama delegasi hampir berakhir, tak ada yang mengisi posisi itu. Jadilah aku maju.

Kesukaanku pada dunia menulis dan berimajinasi terpacu saat itu. Sepulang sekolah, aku mengambil kertas kosong dan sedikit demi sedikit menuliskan sesuatu di sana. Semula tentu tidak berjalan dengan lancar. Hampir separuh yang memenuhi lembar pertama adalah coretan yang menandakan jika kalimat itu kurang tepat, salah, dan harus diperbaiki. Belum lagi menyeting alur dan tema yang harus seuai tema. Ah, aku merutuki janji bapak yang bilang akan membelikanku laptop saat naik kelas 9. Sampai detik itu, di mana aku sangat membutuhkannya, tak ada tanda sedikit pun dari bapak. Ya sudah. 

Singkat cerita, aku memenagkan lomba cerpen. Dengan tema persahabatan, aku menceritakan dua teman yang kembali bersua setelah lama tidak bertemu. Saat itu, aku teringat salah satu teman SD-ku yang hampir setiap hari di kelas 7 kutangisi karena kami tak satu sekolah lagi. Dua sahabat itu bertemu di waktu yang tidak terduga. Saat tidak sengaja menemukan sebuah tempat penimbunan BBM. Wkwkwk, bisa-bisanya ya, aku dulu menulis hal seperti itu. Serius, ceritanya sederhana, tapi kok ada 'amanat' yang tidak kusangka saat ini. Meski cerita itu menang, aku tak lantas mengamini jika cerita itu benar-benar bagus. Pasalnya, seingatku, saat itu beberapa teman dari kelas lain ada yang membawa cerita jadi dari rumah. Ada pula yang menyalinnya dari hasil ketikan mereka sebelumnya. Dan itu diizinkan. Mungkin, akibatnya berimbas pada poin akhir yang mereka dapatkan. 

Setelah pencapaian itu, seorang guru Bahasa Indonesia yang terkenal killer mendekatiku. Memintaku ikut lomba cerpen. Tingkat kabupaten dengan peserta dari seluruh siswa SMP dan SMA. Ya, seluruh di sini hanya majas totem pro parte. Nah, masalahnya aku tidak punya laptop. Ya kali lomba tingkat kabupaten hanya sekedar tulis tangan. Ibu Killer dan Pak... siapa deh lupa namanya, guru bahasa Indonesia kelas 9 saat itu, mempersilakanku menggunakan laptop mereka. Ya tapi tetap saja, bagaimana bisa aku menulis dengan mereka di sekitarku? 

Akhirnya, aku menemui Mbak Pit. Nae yuilhan eonni. Panutanku. Bercerita tentang segala yang kualami dan berniat meminjam notebooknya. Selain karena sepertinya hanya Mbak Pit orang di sekitar rumahku yang punya PC, memang selama ini apapun masalahku terkait sekolah, dia solusinya. Di kelas satu, saat aljabar dan trigonometri merangsek pikiranku yang kacau akibat transisi dari masa SD ke SMP, dia penyelamat. Iya, ibuku cukup mampu untuk mengajariku matematika, tapi kan Mbak Pit ada di level yang berbeda. Setiap malam aku ke rumahnya. Belajar. Sampai-sampai, berkali-kali aku mendapat pujian dari guru Matematika karena pekerjaanku. Entah PR maupun saat aku maju ke depan. Tanpa menutup-nutupi apapun, aku bilang jika tugas-tugas rumahku dibantu kakak.

Kembali ke kelas 9, saat itu Mbak Pit sibuk. Aku lupa alurnya, yang jelas dia pernah membantu orang-orang di balai desa dan mengajar di PAUD dan TK dekat rumah. Aku bahkan ikut rekreasi cuma-cuma karena dia mengajakku untuk mengisi satu slot kursi kosong lain bagiannya, hehe. Ah, mengingat tentang jalan-jalan, aku mungkin tak akan tahu seluk beluk mal-mal besar di kota sana. Mbak Pit dulu alumni MAN Banyuwangi, jadi dia khatam jalan-jalan di kota sana. Banyak tempat yang kudatangi bersama Mbak Pit. Saat dia melajang, atau bahkan punya anak. Banyak yang kuingat dan banyak pula yang tidak. Ya bayangkan saja, sejak kecil aku dimong dia. Ngaji dan sekolah, aku ngintil dia. Bahkan teman-temannya yang tak kuingat siapa mereka, ingat aku. Ah, berharap apasih dengan ingatan payah balita. 

Loh heh, katanya kembali ke kelas 9, kok nggeladrah lagi?

Ya, ya, ya. Di kelas 9 itu, aku melanjutkan minat ke dunia sastra dengan ikut lomba. Sulit sekali bekerja di bawah tekanan? Nah, itu yang kurasakan kala itu. Deadline sempit dengan tema sulit. Tanpa riset yang muluk-muluk aku menuliskan kisah sederhana. Cenderung tidak masuk akal dan di luar nalar. Gaib. Kini, aku menyebutnya fantasi. Dan belakangan kutahu itu mungkin adalah satu bentuk karya sastra dengan unsur realisme magis. 

Ah, jadi ingat pertanyaanku ke dosen sastra di semester 1 yang baru terjawab olehku saat membaca skripsi kating.    

Untuk menyelesaikan cerpen itu, butuh gotong royong karena waktu yang semakin mepet. Sebenarnya, kala itu Mbak Pit ada acara beberapa hari di luar. (AH AKU INGAT DIA SEDANG MEMPERSIAPKAN PERNIAKANNYA, HUHUHU SEDIH). Oiya, saat itu dia juga sedang menempuh S1 di UT. Tapi, yaitu aku lupa urutannya. Nah, notebook kuning unyu Mbak Pit ditaruh di rumahku. Nah, karena sebenarnya aku enggan menyentuh barang milik orang lain jadi sangat berhati-hati saat membukanya. Karena seret, nggak bisa kebuka dong layarnya. Berat gitu. Takut kenapa-napa. Jadi berhari-hari ya cuma didiemin itu. Paling pas mas di rumah dia yang bukain... (Eh, wait, kayaknya ini sebelum kalo nggak setelah lomba deh. Lupa anjir. Huhu, miyanhae). 

Oke skip, Alit lelah nih! Maaf. Lupa lagi kronologisnya.

Ya, aku tetep nulis  ceritaku di kertas, lalu disalin di notebook Mbak Pit. Tapi karena skill ngetikku yang nggak jauh beda sama laju keong, aku kesulitan. Mbak Pit cuma ketawa lihat aku ngetik huruf per huruf. Mau ganti font bingung. Nyari tanda petik sampe manggil dia yang ada di belakang. Duh, gegara setiap kelas TIK cuma nyari lirik OST sama search foto-foto drama nih. Hiks. 

Alhasil, sampe hari H pengumpulan, cerpen belum selesai diketik. Padahal di sela-sela jam kosong dan istirahat, di perpustakaan aku mekanjutkan mengetik. Kadang pake komputer di sana, kadang pake laptop guru. Nah, hari itu karena sangat-sangat mepet, Riya, salah satu teman kutu bukuku membantu. Dia nggak serantan deh. Apalagi guru-guru sudah mewanti-wanti untuk segera menyelesaikan. Tinggal beberapa paragraf. Riya yang mengetik dan aku mendiktenya. Bahkan saat cara mengetiknya dua kali lebih cepat dariku, tulisan itu tidak selesai. Satu atau dua, aku lupa berapa tepatnya, yang jelas ada paragraf yang tidak ditulis di sana. 

Beberapa waktu kemudian, saat aku terjaring seleksi, aku sudah was-was jika diminta mengetik langsung di perlombaan. Ternyata itu sekedar mempresentasikan naskahku di depan dewan juri, para guru dari berbagai sekolah, serta peserta lainnya. Entah mendapat keberanian dari mana, saat itu aku menjelaskan dengan lancar jaya. Menjawab pertanyaan juri dengan tanpa hambatan. Ya, meski aku benar-benar tak tahu apa yang sebenarnya kulakukan saat itu.  

Saat pengumuman pemenang tiba, namaku tersebut pertama. Iya, hanya juara tiga. Namun, itu jadi pencapaian besar bagiku. Ah, sepertinya besar saja tidak cukup, melainkan terbesar. Yap, satu-satunya perlombaan yang kumenangkan (HEY U CUMA JUARA 3 YA!). Memegang piala dan berfoto bersama seorang siswa SMP, dan seorang lainnya siswi SMA sebagai juara satu dan dua. Jika melihat foto itu lagi... aw... pantas sih aku kena buli. Burek banget diriku. Apalagi mbak-mbak SMA di sebelahku sangat cantik dan... punya kisah lain denganku wkwk.Eh jangan dilanjut nyeritain Mbak Friska bisa ga habis-habis ini cerita!

Saat itu Pak Muchtar, guru bahasa Inggris sekaligus wali kelasku, yang mengantar ke sana. Dengan kata-kata halus yang sering disalahpahami oleh teman-teman dengan olok mengenai gender, Pak Muchtar memberi wejangan selama perjalanan pulang. Rasa canggungku selama ini lebur bersama senang. Pak Muchtar menurunkanku di depan rumah. Piala tetap berada di jok mobilnya. Aku hanya keluar dengan amplop putih yang kuterima bersama dengan piala. Ah, uang pertama hasil cerita. Terima kasih banyak. Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur.

Bu Diah, guru bahasa Indonesia kelas satu, yang katanya punya sense luar biasa alias punya indra ke enam alias bisa lihat apa yang tidak bisa dilihat manusia pada umumnya, berkata jika beliau sebenarnya pernah merasa aku mampu di bidang ini. Dan entah, kata-kata itu seperti mantra saja. Sebenarnya aku lupa kapan beliau berbicara demikian, entah sebelum atau sesudah lomba, yang jelas itu terjadi setelah  namaku dipanggil ke depan saat upacara. Entah ucapan selamat secara seremonial itu untuk kemenanganku di lomba cerpen antarkelas, atau antarsekolah, yang jelas kata-kata Bu Diah itu sangat membekas di ingatan. Ya, meski mantra itu kini sedang kuragukan. 

Alit, yang saat itu sangat pendiam, takut bersosialisasi dan pernah mendapatkan bulian di kelas 8, tiba-tiba saja dikenal. Jika aku mengingat bagaimana menyebalkannya teman-teman di kelas 8, memang rasanya sakit sekali. Tapi, ingat juga, ada masanya aku punya banyak teman di kelas satu. Anak rajin, pendiam, dan bahkan nakal. Anak polisi, dan bocah-bocah lain dari kalangan borju yang populer sejak dulu hingga sekarang. Sampai teman-teman indie alias yatim, yang strugle macam aku, yang memanfaatkan buku tulis lama untuk sekolah. Ah ya, aku juga cantik dalam pikiran seseorang--bukan aku sendiri tentunya. Alit, yang masuk ke sekolah itu dengan nilai hampir terendah, bisa lulus dengan nilai hampir tertinggi. Oh ya, temanku Riya, perempuan jangkung yang sama pendiamnya denganku, mendapat nilai tiga tertinggi. Aku lupa dia di urutan ke berapa, entah satu, dua atau tiga, yang jelas, aku nomer empat. Se-sekolah, hehehe. Bukannya sombong dengan pencapaian kecil, ini lebih karena hanya itu yang bisa kubanggakan. Ya, iya. 

Ah, dan ya, jika kutarik ke masa ini... aku hanya rindu. Rindu. Masa SMP dan kemenangan kala itu, akan selalu bercampur dengan kenanangan bersama Mbak Pit. Notebook kuningnya yang membawaku pada titik itu. Dan sekarang, saat laptop kuningnya tiba-tiba ada di rumahku, bolehkah jika aku berharap demikian. Setidaknya, aku bisa menulis kembali adalah hal yang cukup menyenangkan. Mengobati rindu dengan cara mengenang lewat tulisan. Mbak, begini banget ya, jalan cerita kita. Sebenarnya, sebenar-benarnya, aku takut segala hal yang menimpa kita, bukanlah akhir dari penderitaan. Ya, jelas sih, manusia hidup dan terus hidup. Menjalani banyak hal dan berakhir pada kematian. Tapi, mbak... aku... aku ingin banyak cerita. 

Melihat laptop ini, aku jadi ingat kalau belum paham tentang berbagai kegunaan microsoft yang pernah sampean kasih tahu. Ya yang biasanya sampean buat video conference juga Mbak. Ah, aku loh belum sempet ke kosanmu di Bali. Aku, aku pengen ke sana. Katanya... ah, Mbak, sedih. Sedih dan sakit. Sama halnya seperti kehilangan bapak, sama halnya saat kehilangan seorang teman dekat SMA, ini sama-sama sakit Mbak. Kalian orang terdekatku. Mbak... aku pengen ngobrol banyak hal.

Tahu nggak Mbak, kemarin saat aku merasa useless dan hopeless, aku bingung mau apa. Nonton drama ya nonton aja gitu, untuk ngisi waktu. Padahal kan, banyak hal ya, yang bisa kulakukan. Terus aku mikir, kalo kayak gini biasanya ada yang bisa kuajak ngobrol dan ya, itu sampean. I know sampean sibuk. Ngajar, dan mengurus keluarga. Tapi sampean bisa loh ngasih opsi-opsi untuk segala kebingnganku. Enggak stuck gitu aja. 

Oh ya, Mbak, sampean kan belum ke kosku. Tenang, kamar kosku nggak seberantakan kamarku di rumah kok--ya komper sama kamar yang dulu ya, soalnya I think I havent private room rn. Sampean sih nggak mampir waktu wisuda itu. Dan ya kosku pindah. Ah, aku mau cerita tentang laptop Aning yang rusak, tapi baru keinget Aning sudah lama nggak pulang. Bahkan, saat sampean... ah. Aku nggak tahu Mbak kayak gimana nanti pas kami ketemu. Mungkin hubungan kalian berdua, nggak sedeket ke aku. Tapi, for sure, kami sama-sama adikmu Mbak. Mbak... 

Ah, sudah lewat tengah malam. Lebih dari dua jam nih aku nulis. Terima kasih Mbak. Terima kasih atas kehadiranmu di pikiranku. Terima kasih atas kehadiranmu di saat-saat aku butuh. Mbak, bantu aku ya, untuk selalu ingat detail tentang dirimu. Agar kelak, saat anak-anakmu sudah dewasa dan mengerti, aku bisa bercerita, betapa kerennya dirimu. Aku merasa bertanggungjawab untuk itu. Serius. 

Sudah dulu deh, ya. Masih selamat malam, dan selamat sayang. Eh, selamat sekarang. 

 

Penuh cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar