Sabtu, 17 Desember 2022

Aku dan Satu Nama

Hai, lama nggak nulis konten ini. 

Tadi siang, kepikiran satu nama buat kutulis. Berkat obrolan di grup marching yang melibatkan dia. Tapi, pas sore, ketemu seseorang dari masa SMP di warung bakso deket rumah. Belio dulu yang nyapa, dan karena namanya unik, aku pengen juga nulis tentang dia. Tapi, kayaknya satu kesempatan ini nggak cukup buat keduanya. Jadi aku nulis tentang si yang pertama tadi ya. 

Namanya Anggih. Satu-satunya Anggih yang kukenal ya dia. Kalau tidak salah, aku masih ingat nama lengkapnya. Dia adek kelas di SMA. Satu dari tiga player laki-laki yang baru gabung marching di tahun kedua mereka. Anggih jadi satu-satunya dari mereka yang masuk section trompet. Masuknya Anggih di trompet menjadikan dia satu-satunya player trompet laki-laki DSB saat itu.

Anggih nggak sepopuler dua teman laki-lakinya yang baru masuk itu. Mereka juga kelihatan nggak dekat meski satu kelas. Justru Anggih dekat sama Alm. Fadil, anak perkusi yang sejak tahun pertamanya SMA udah ikut kejurkab. Fadil ini, yang kata anak-anak mirip aku. Kayaknya aku pernah cerita tentang dia, tapi entah dimana. Kesamaan Fadil dan Anggih sama-sama ngelamak. Ya emang hampir semua adek kelas waktu itu emang tambeng-tambengnya. Tapi, ngelamak mereka tu yang nyebelin tapi bisa ditolerir. Blak-blakan di muka, jadi sini hayuk kalo mau kelahi wkwk. 

Seingetku, Anggih ga pernah manggil namaku. Ada atau nggak ada embel-embel 'mbak'. Pas kita udah masuk chart dan punya nomor display masing-masing, dia selalu manggil aku pake nomor itu. Nomer tiga. Telu. Dia manggil aku telu. Itu nyebelin sih. Tapi, ya sudahlah. Aku juga ga enak dipanggil mbak. Apalagi dia manggil mbak-nya mengintimidasi karena bawa fakta kalo dia lebih tua dari aku. Aku ga terintimidasilah. Cuma gitu aja. Cuma ya, yaudahlah ya, gitu. 

Anggih ini Hindu. Jadi, hubungannya sama ketum kami, my bestie yang saat ini seakan musnah entah kemana, mayan dekat karena aktivitas keagamaan mereka. Kadang aku iri, anak baru kayak dia bisa reach ketum langsung. Padahal dia juga nggak yang menonjol atau ahli. Biasa aja. Bawahnya bare minimum apa ya? Beda sama si Fadil yang emang sudah jago dari SMP. Jadi mau iri pun aku sadar. Tapi, lambat laun aku tahu kalo Anggih ga cuma deket sama si ketum, tapi ada juga alumni yg sama Hindunya. Enggak, ini bukan karena agama. Kebetulan aja emang agama mereka sama. Mungkin si alumni tadi saudara Anggih, aku nggak tahu dan nggak nyari tahu. 

Sampai sekarang Anggih masih aktif di DSB. Kayaknya sih ikut ngelatih karena selanjutnya dia juga dekat sama para pelatih. Dulu aku sempat pengen juga ikut ngelatih. Aku yakin Pak Much dan serentetan tim-nya yang semua laki-laki bakal oke-oke aja. Tapi, akunya yang ga berani. Aku bisa percaya Pak Much yg meski aku tahu dia bukan orang suci, tapi aku ga bisa percaya orang-orang di lingkungannya. Bahkan, hal-hal yang kualami bersama para kakak kelas yang dulunya kukira hal romantis, kalau kuingat lagi, itu agak creepy. Ada opsi tidak untuk setiap akan. Urung bisa jadi pilihan untuk setiap keinginan. 

Hmm, mulai melebar. Oke, Anggih. Terakhir mendengar kabarnya... Kayaknya nggak pernah denger sama sekali. Setelah lulus, saat aku ke sekolah lihat anak-anak marching kayaknya nggak ketemu dia. Cuit-cuitnya si grup, nggak lain cuma ngasih kabar tentang DSB. Aku nggak penasaran sih. Sejak dulu bareng-bareng di DSB pun nggak ada rasa penasaran ke dia. Pun ke adik kelas yang lain. Jangankan mereka, kakak kelas yang top-top aja nggak begitu kuhiraukan. Tapi, ya secara keseluruhan, secara... umum, pernah ada rindu masa itu. Ya masa pas aku jadi senior bareng Anggih dan adik-adik kelas 1, maupun pas aku jadi noob dan cuma bisa merekam segala gerak DSB di kepala. Aku pernah rindu.

Kalau membaca buku diary yang kutulis selepas SMA (SMA aku ga nulis diary wkwk), aku banyak banget ngomongin DSB. Ya, apalagi dong. Kegiatanku selama sekolah ya itu. Yang bikin aku seneng sekolah ya main musik bareng-bareng. Jadi, pas udah ga sekolah lagi, cuma itu kenangan menyenangkan yang kupunya. Anggih ada di satu masa yang sebenarnya nggak menimbulkan kesan. Tapi, mau bagaimana pun, kenyataan nggak akan menghapus itu. Kesan bisa dibuat kan? 

Oh ya! Baru saja mau bikin kesan, udah keinget sebuah kesan. Kesanku ke Anggih, selain adik kelas tua (wkwk, ini joke kami) adalah orang yang bikin iri. Wkwkwk, iri terus ya dari tadi. Nggak cukup iriku prihal dia yang udah langsung masuk T1 (sopran 1, tertinggi), dia juga solo dong di kejurprov. Padahal masih ada aku dan si ketum. Okelah, aku nggak selama ketum di brass karena sebelumnya perkusi. Tapi, kenapa kudu Anggih? Kenapa nggak si ketum aja? Padahal, dulu pas aku masih jadi tukang nonton ngelihat Mas Renold solo... Duh sumpah bagussss banget. 

Awalnya, aku ga tau siapa Renold dan kenapa namanya sering disebut. Tiap latihan dia melulu yang dibahas. Nggak kakak kelas nggak temen seangkatan. Aku sampai hapal chart dia yang nggak pernah keisi karena dia masih lomba di Kalimantan cukup lama. Ya, kan aku masuk agak akhir jadi nggak nyimak keseluruhan muka kakak kelas. Pas dia muncul dan niup trompet, serius, sampai sekarang pun belum kutahu ada yang secakep dia mainnya. Pun, kuakui mukanya juga cakep. Pantes temen-temen jingkrak kegirangan tiap dia lewat depan kelas. 

Angkatan bawah Mas Renold, kakak kelas satu tingkat di atasku, banyak player trompet. Tapi, kebanyakan dari mereka bangor. Badung. Susah diatur. Iya, Mas Renold katanya juga nakal dibanding teman seangkatannya, tapi serius, angkatan atasku bener-bener rata ndableknya. Cuma Mas Ketum yang mending. Itu karena dia pendiam aja sih kayaknya wkwk. Dibilang cakep nggak secakep Mas Renold, tapi ya lebih mending dari temen-temennya. Nggak, aku nggak pernah ngecrush dia. Justru segen. Aneh. Aneh aja kalo deket dia wkwkwk. Terakhir ketemu Mas Ketum tuh bukber tahun kemarin. Nggak sengaja dan dia lupa namaku wkwk. 

Waduh, melebar lagi. 

Yak, tahun keduaku, Mas Ketum gantiin posisi Mas Renold buat solo. Kebetulan lagu dan chart mereka emang sama. Dan meski penampilan Mas Ketum bagus, kayaknya Mas Renold tetep juara. Dan Anggih, bahkan saat dia udah jago main trompet saat itu, aku nggak bisa bilang bagus sama sekali. Pertama karena teknik. Aku nggak paham banget, tapi pas kulihat videonya di youtube, agak ganjil. Kedua karena lagunya kayaknya nggak cocok buat ada solo. Kayak maksain banget biar ada solo. Kalau Mas Renold dan Mas Ketum di awal main dan bener-bener solo tanpa musik apapun, ini beda. Di tengah lagu dan lagu terakhir pula. Cuma tuit-tuit kedepan dengan instumen lain bunyi selain trompet. Ketiga--angka menyebalkan, kemungkinan besar dia jadi solo bukan karena mampu, tapi karena dia laki-laki. Okelah, saat kami tampil di Madiun itu ada Wibi dan Soni (angkatanku) yang masuk lagi, tapi mereka muncul pas menjelang lomba. Padahal harusnya mereka nerusin jejak Mas Renold dan Mas Ketum. 

Hikss jadi panjang. Andai aku nggak inget Anggih pernah solo, tulisan ini berhenti sejak tadi. Tapi, ya sudahlah. Anggih masih di DSB. Kayaknya ngelatih sih, jadi timnya Pak Much. Cuma ada kemungkinan sesekali dia main jadi player samaran pas lomba wkwk.

Rabu, 30 November 2022

Aku dan Kisahku

Hai! Selamat malam.

Sudah lama blog ini nggak muncul dengan judul orisinilnya hehe. Udah lama juga nggak nulis langsung begini. Banyak pikiran dan langsung ngetik di hape.

Sebenernya kalo perkara banyak pikiran ya setiap hari. Ada aja masalah dan ya sedikit demi sedikit aku berhasil melaluinya tanpa nulis di sini. Iya, aku nulis di media lain juga. Tapi, serius, itu nggak akan bisa menggantikan peran blog ini.

Seperti yang dulu-dulu akhir tahun selalu bikin takut. Ada aja ketakutan-ketakutan yang muncul bebarengan sama masalah tertentu. Aku juga masih sama bangornya. Nakal dan malas-malasan. Berpikir dan berpikir. Dikit-dikit nangis, tapi selalu sambat kalau pengen nangis.

Beberapa bulan yang lalu, aku pernah bilang takut mati. Dengan alasan-alasan yang sudah pernah kuceritakan. Dan ya, aku tidak ingin mati. Tidak pula ditinggal mati. Oleh siapapun. Aku masih ingin bersama mereka. Sangat berkebalikan dg aku tiga tahun lalu. Ingin mati dan menghilang, menghindari mereka semua. Sekarang, meski aku kerap menghindar aku tak ingin berpisah dari mereka. Kesendirianku hanya fase yang sialnya jadi zona nyaman. Em, ga nyaman juga sih. Menawan diri.

Meski gitu, aku tetep sering terjebak di lubang yang kubuat itu. Aku sudah lelah menyesal. Aku juga sudah lelah menghindar. Kayak kata sosok misterius di sebuah buku yang kukagumi, "Jangan dilawan, dialami saja." Perlahan aku mencoba menerapkan hal itu. Meski genre hidupku bukan magis, namun bolehlah dicoba.

Tapi, tetap saja. Rasanya berat. Hal-hal yang agak ganjil muncul. Em, mungkin tidak ganjil juga sih. Bergantung dari sudut mana melihatnya. Dan di titik tertentu, aku melihat kesuraman yang tak ada habisnya pada hidupku. Orang-orang, teman dan keluargaku, bukannya yang tidak memberi semangat atau positive thoughts. Tapi, aku tetap saja berpikir sisi terburuknya. Aku takut dan bingung. Seakan, meski sekarang aku masih bernapas, rasanya napas ini tidak lagi panjang. Aku takut. Takut sekali. Aku tidak ingin mati. Aku tidak ingin menjadi beban dan kenangan.

Tulisan ini, prihal sesuatu yang tak bisa kuceritakan secara tekstual. Sesuatu yang ingin kuceritakan ke orang-orang terdekatku, tapi aku yakin mereka tak punya solusi untuk masalah ini selain saran-saran yang sudah kuketahui. Aku ingin hidup biasa saja. Aku ingin menjadi normal. 

Senin, 28 November 2022

Setiap September, Aku Jatuh dan Memutuskan Cinta?

Halo dan hai! Selamat malang! EH, TYPO. Yaudahlah.

Aku nggak sedang ingin nulis atau cerita. Tapi, tangan ini tiba-tiba buka laptop. Alih-alih buka sosmed, aku menuju blog dan ya.. aku nulis. 

Kalo ditanya mau nulis apa, rasanya banyak unek-unek yang pengen kumuntahkan. Tapi, aku nggak punya cukup kekuatan untuk merangkai kalimat dan mengingat. Lalu, aku coba nengok ke belakang. Ke tulisan-tulisan di blog ini sebelumnya. Ternyata, aku punya utang tulisan dan tulisan lainnya juga berkaitan.

Ini tulisan pertama di bulan ini. Bulan kemarin, ada tiga tulisan. Salah satu tulisan, ada yang berhubungan dengan satu-satunya tulisan di bulan sebelumnya lagi. Dua tulisan yang lain, sekedar pelepasan dari penat di waktu itu. 

Di satu-satunya tulisan di bulan September, aku bertanya-tanya (sih keinget cepmek) dimana aku menemukan kalimat "Setiap September aku jatuh dan memutuskan cinta." Kukira sekedar caption, ternyata itu adalah awal mula tulisan di THROWBACK 9. Ini jadi menggelikan ketika aku tidak bermaksud memposting THROWBACK 9 untuk melanjutkan atau mengingatkanku tulisan di bulan September itu. Sekedar... memposting saja. Mengenang masa itu yang membuatku lagi-lagi tersadar pernah merasakan yang demikian. Itu sudah lama dan melewati berbagai hal untuk sampai di waktu ini. 

Di tulisan di bulan September itu, aku berjanji akan melanjutkan. Tentang kisah cinta di bulan September tahun 2021 dan 2022. Aku sempat lupa sampai barusan melihatnya. Untuk kembali ke bulan September tahun ini saja, rasanya berat, apalagi kembali ke bulan September 2021? Tapi, tak apa lah. Hal yang mengusikku akhir-akhir ini juga nggak jauh-jauh dari masalah perasaan. Baik, mari kembali ke tahun 2021. 

Wow, aku baru menjelajah September 2021. Bulan September tahun itu, aku terlihat damai. Bersenang-senang dengan berbagai drakor dan sesekali flashback ke hal-hal di masa lalu. Hari-hariku dipenuhi kenangan. Belum mulai ngerjain skripsi dan kayaknya masih berusaha ngelanjutin THROWBACK dan bikin beberapa outline tulisan. Oh, pantes ya banyak flashback, selain THROWBACK pun ya tulisannya tentang masa lalu sih.

Terlihat damai, nggak bener-bener damai. Bulan itu, aku nggak mungkin sempet ngurusin cinta-cintaan. Ya meski nggak ada noise atau signal yang muncul juga. Waktu itu, aku baru ngelewati masa krisis yang jangan sampai keulang. Satu-satunya duniaku hampir ilang. Dan berbagai hal menyesakkan datang bertubi-tubi. 

Tapi, di keseluruhan hal-hal yang terjadi di bulan itu. Ada satu masa dimana aku tidak hanya mengenang hal-hal menyenangkan, juga menyesakkan. Tentang perasaan, hahaha. Ada satu masa di bulan itu, aku teringat kata-kata yang menyesakkan hati. Aku nggak nyangka jika hal itu jadi trauma. Ya, iya sih ya. Omongan jelek temen-temen di sekolah aja masih berbekas di ingatan.Apalagi tentang itu yang jauh lebih seger masa itu. Meski di September 2020 aku bilang aku sudah lega, aku baik-baik saja, sesaknya sesekali masih muncul. 

Untungnya, masa itu aku bisa mengelola stres. Drakor dan masalah keluarga bisa mengalihkan dari perasaan-perasaan menyebalkan itu. Ada krenteg yang sulit kujelaskan. Ada rasa ingin melawan situasi dan diriku saat itu. Tapi, aku hanya berdiam. Tidak melakukan usaha apa-apa untuk krenteg-ku tadi. Melalang mencari pekerjaan ini-itu untuk menghasilkan uang dan mengisi waktu. Hidup yang sebenernya sulit, namun kelihatan keren. Kelihatannya.

Wow, aku skip tulisan ini selama 10 hari. Apa masih ingat mau lanjut nulis apa? Hahaha.

September 2021, aku menjadi saksi teman-teman yang sedang jatuh cinta. Tidak semuanya berlabuh, tapi ungkapan perasaan mereka seperti menamparku. Bisa ya orang-orang tahu kalau dirinya sedang jatuh cinta? Bisa ya mereka mengakui itu dan yakin atas perasaannya? Apa yang ada di pikiran mereka saat memutuskan mengatakannya? Aku belajar banyak. Lebih-lebih, untuk tetap menjadi diriku yang begini ini. 

aku lupa mau nulis apa wkwk

Hahaha aku men-skip lagi sampe sekarang. Entah berapa lama pokoknya aku mulai nulis ini awal November hahaha.

Oke lanjut. Masih di 2021 ya. Melihat kisah temen-temen, kayaknya udah cukup buatku nggak jatuh cinta. Minimal, menghindar dari yang namanya cinta. Berat gais. Rumit. Bikin nyeseklah pokoknya. Terus apa ya? Duhkan, lupa. Pokoknya September kemarin, ngetik-ngetik-ngetik. Ya nulis fiksi, ya nulis non fiksi, ya nyari duit. Pokoknya ngetik terus sampe lupa prihal cinta-cintaan. 

Tahun ini, aku juga kerja. Sama-sama part time. Kalau dulu full online, sekarang full offline (kecuali koordinasi). Kerjaan yang baru kutahu dan sangat-sangat menguras tenaga dan emosi. Berawal di bulan Agustus dan baru jalan September. Saat-saat menunggu kerjaan itu, iseng aku main Slowly lagi. Aplikasi surat-menyurat yang dikenalkan seorang teman dua tahun lalu. Aku tidak seaktif dia karena tidak ada respon menyenangkan dari sana. Mungkin aku kurang sabar ya karena namanya saja Slowly. Ternyata, saat kubuka akunku lagi, ada sebuah surat dari Italy. Seorang perempuan. Berbekal google, aku bersemangat membalas pesannya. Namun, tak ada balasan setelah pesanku sampai beberapa jam kemudian. Tak ada tanda-tanda dia aktif juga karena terakhir dilihatnya dua bulan sebelumnya. Baiklah.

Aku mulai mengeksplorasi Slowly. Mencari-cari teman yang minat dan zodiaknya cocok. Ya, selain minat dan identitas diri, di Slowly juga ditunjukkan zodiak masing-masing. Oh, juga lokasi. Kebanyakan yang lewat berandaku ya orang-orang Asia. Tentu pula aku memilih orang-orang Korea untuk menjadi teman pena. Seingatku, ada dua orang Korea yang kukirimi pesan. Orang pertama merespon beberapa minggu kemudian, berkata jika dia tidak tertarik menjadi sahabat penaku. Orang kedua tidak membalas sama sekali. Sepertinya, dia tidak berminat membaca suratku karena berbahasa Inggris. Mirip LinkedIn, Slowly juga menunjukkan preferensi bahasa yang dikuasai. Nah, orang itu hanya menuliskan bahasa Korea saja. Ya, begitulah. 

Salah satu orang yang muncul di suggest pertemanan, ada yang tanggal lahirnya sama denganku. Hanya beda tahun. Dia satu atau dua tahun lebih muda dariku, lupa. Aku buru-buru mengiriminya pesan. Hanya menyapa dan mengatakan jika tanggal lahir kami sama. Sekedarnya. Sampai beberapa hari kemudian balasan muncul. Aku sampai tidak ingat pernah mengirim pesan terlebih dahulu jika tidak membaca history suratku saking banyaknya aku mengirim surat ke stranger. Dan dari beberapa itu, orang yang kubilang tanggal lahirnya sama denganku tadi yang lumayan lama berkirim pesan. 

Awalnya hanya membahas kegiatanku dan kegiatannya. Menceritakan arti nama kami masing-masing. Bertukar judul novel dan film kesukaan. Dia seorang dokter dan referensi novelnya tidak jauh-jauh dari genre kesehatan. Dia juga menonton drama Korea. Tentu saja bergenre rumah sakit. Dia menyebutkan Hosplay. Aku balas jika dia pasti akan suka Dr. Romantic. Iya, dia juga menonton drama itu dan memang suka. Kalau tidak terkendala bahasa, mungkin aku bakal menulis banyak tentang drakor. 

Dia suka Thomas Shelby di Peaky Blinders. Aku tahu series itu, tapi tidak suka tontonan 'gelap'. Namun, karena pengaruhnya aku sampai menonton series itu. Tanpa paksaan dan aku juga tidak merasa terpaksa. Dia juga memberiku semangat ketika aku mengeluh atas diriku yang masih gini-gini aja di usia ini. Jika membandingkan dengan dirinya, aku kalah jauh. Tapi, bukan itu poinnya. Dia seperti mengerti keadaanku, padahal waktu itu aku belum bercerita tentang masalah-masalah yang ada di hidupku. Kata-katanya manis dan mudah dipahami, padahal bahasa ibunya bukan bahasa Inggris. Level bahasa Inggrisnya nggak sebanding sama bahasa Inggrisku. Aku juga meminta maaf atas hal itu. Katanya, nggak apa-apa. Dia malah memuji. Ah, kami saling memuji. Hohoho, kayak My Liberation Notes ya. Ah, drakor lagi. Kalo kata dia, nggak apa-apa bahas drakor banyak-banyak juga.

Pesan terakhir yang dikirimnya sangat-sangat menyenangkan untuk dibaca. Tiap kalimat berisi pesan yang menyiratkan pujian. Aku senang. Tapi, bingung harus membalas apa. Dia baik, dan aku sudah bilang dia baik. Terus, apa? Membalas surat, nggak sama dengan bales chat. Lebih kayak nulis blog begini. Dan aku harus menerjemahkannya ke bahasa Inggris dahulu. Aku perlu waktu. Sialnya, saat itu pekerjaanku sedang gencar-gencarnya. Jangankan menulis surat, membuka sosmed saja aku nggak sempat. Saking banyaknya pikiran, aku tahu jawaban apa yang akan kusampaikan padanya. Prihal pertanyaannya tentang bapakku, atau melanjutkan membahas drakor? Aku juga ingin membahas penanganan pandemi di negaranya yang terkenal bagus. Aku mengurungkan pertanyaan itu jauh-jauh hari karena kurasa agak berat. Dan aku perlu menyampaikan padanya terkait pekerjaan paruh waktu yang sibuk dan menyiksa itu. Aku bingung harus menulis dari mana. Sampai, setelah pekerjaan itu selesai kemudian, aku membalasnya. Tidak begitu panjang, tapi lebih panjang dari surat-suratku sebelumnya. Dan hingga kini, surat itu masih centang satu alias belum dibaca. 

Saat aku mengirim surat itu, dia sudah tidak terlihat aktif lebih dari seminggu. Dan sekarang, saat kulihat lagi, itu sudah dua bulan yang lalu. Surat terakhirnya malah tiga bulan yang lalu. Aku jadi rindu. Saat-saat menunggu kemunculannya lagi, surat demi surat berdatangan. Biasanya, aku yang mengirim pesan terlebih dahulu, seperti pada dia tadi. Tapi, kali itu aku tidak ada niatan sama sekali. Orang-orang yang berkirim surat sebelumnya juga jadi menyebalkan. Entah, rasanya tidak semenyenangkan bersurat dengan dia. Beberapa lain, yang menyurati terlebih dahulu, juga sama tidak menyenangkan. Ada saja yang tidak kusuka dari tulisan atau preferensi mereka. 

Aku juga dapat sahabat pena dari Indonesia. Ada beberapa dan salah satu yang paling kuingat dan lumayan sering bertukar surat adalah seorang mas-mas gojek yang tinggal di Jabodetabek. Lebih ke saling sambat sih. Tapi, pada akhirnya aku malas membalas surat-suratnya lagi. Entah, ada kejenuhan bahkan di aplikasi yang harusnya sangat kusukai. Berinteraksi dengan tulisan, seperti aku saat ini. Saat ini, ada beberapa pesan baru masuk yang belum kubuka. Sudah sebulan mungkin. Ada yang dari luar negeri dan Indonesia. Tapi, aku malas. Malas berkenalan dengan orang baru. Padahal aku sadar hal itu mungkin akan bermanfaat di masa depan. Koneksi. Entahlah, aku lelah.

Menceritakan kisah hidupku yang panjang ini, sangat melelahkan. Aku bukannya malu atau takut, hanya capek. Perlu tenaga dan emosi. Iya, kalau orang-orang itu menetap, kalau tidak? Aku juga tidak bisa berkenalan dengan orang begitu saja tanpa menunjukkan diriku sebenarnya. Aku tidak setertutup itu. Apalagi jika mereka juga terbuka. Aku akan dengan senang hati membuka diri. Meski aku tetap punya batasan. 

Hal itu juga terjadi pada seseorang yang bersamaku selama bekerja part time itu. Dia... ah akan sangat panjang untuk dijelaskan. Bahkan akan lebih panjang dari keseluruhan blog yang sudah kutunda-tunda ini. Yang jelas, orang itu sangat terbuka, sepertinya. Aku pun demikian. Tidak, aku tidak meyesal berbagi cerita kepadanya. Namun, fakta jika aku berbagi kenangan bersama dia selama lebih dari seminggu di banyak tempat yang menjadi ganjalan. Dia baik. Namun, ada banyak hal-hal yang membuatku sakit kepala. Hal yang mungkin sebenarnya biasa saja, namun menjadi berbeda ketika berkenaan dengan diriku. Sungguh menyebalkan mengingatnya. Saat bertemu langsung, kami sangat nyambung. Saat lewat chat, sangat banyak cacat. 

Dia pernah bilang memang tidak suka menulis, padahal dia sangat cakap. Jika ada masalah atau hal serius yang dibahas, dia langsung menelpon. Dan ya, memang semua orang punya keahlian masing-masing. Aku tidak masalah karena itu urusannya, selama tidak menganggu komunikasi kami. Hanya saja, itu semakin menyadarkanku jika aku suka orang-orang yang bisa menulis. Aku yang mengira diriku tidak judging ini, menilai segala hal lewat tulisan. Baru saja, aku mengobrol dengan seorang teman tentang orang-orang terdekat kami, dan ya, kesimpulan itu semakin bulat. 

Selama aku menjalani hidupku yang hanya seperti itu, kisah cinta teman-teman juga mengisi hariku. Jika tahun lalu ada hati-hati yang terluka, maka hati itu sekarang telah sembuh. Jika tahun lalu ada hati yang masih hangat saja, sekarang hati itu telah meleleh dalam suka cita. Jika tahun lalu ada yang mulai mencinta, tahun ini keduanya telah terpisah jauh. Dan jika tahun lalu ada hati yang selalu merasa redup, kali ini redupnya kembali meski sempat ada bara. Ragam kisah cinta membuat hariku selalu ramai dan sibuk. Sayangnya, aku lupa kabar hati dan perasaanku sendiri. Aku kembali menulis dan menulis. Sesekali membaca sedikit hal yang membuatku merasa lega. Berpindah dari media ini ke media itu. Dari teks rekreasi ke teks ambigu.Tulisan serius dan yang hanya sekedar membuang pikiran. Aku suka menulis, sangat.

Seperti halnya rasa suka lainnya, mungkin aku pernah bosan dan muak. Namun, itu tidak membuatku berpaling. Saat senang dan sedih, aku kembali menulis. Meninggalkan catatan-catatan agar bisa terkenang. Atau mungkin sebagai bekal untuk siapapun orang yang akan menemaniku di masa depan, agar aku tidak repot-repot bercerita ulang tentang hidupku, hahaha. Tidak, aku tetap suka bercerita, kok. 

Aku jadi ingat, sempat membayangkan punya pasangan yang sama-sama suka menulis. Lebih-lebih kalau dia memang seorang penulis. Pasti menyenangkan mendengar keyboard kami saling beradu. Atau kertas-kertas yang penuh coretan kami. Lalu, saat lelah dan kembali pada kenyataan, ada dia yang nyata. Iya, itu selintas angan yang baru kuingat. 

Ah, kalau begini, apa aku jadi punya kriteria? Kayaknya nggak juga deh ya. Negosiasi. Eh, kok jadi merembet ke mana-mana. Hiks kata 'merembet' mengingatkanku pada keyboard laptop yang eror kemarin lusa. Ah, itu pembahasan lain lagi. Duh, panjang banget tulisan ini. Tapi, nggak apa-apa, draf sebulan woi. Ya kali nggak panjang. 

Terus, setiap September, aku jatuh dan memutuskan cinta?

Ini ambigu banget. Jatuh sih iya, memutuskan cinta yang ambigu. Memutuskan cinta, bukan memutuskan untuk cinta, tapi memutuskan diri dari cinta. Jadi, ya setelah aku jatuh di bulan September, aku memutuskan untuk putus dengan cinta di bulan itu juga. Sejauh ini sih begitu. Kebanyakn terjadi di bulan September. Selain tahun ini kali ya. Kalau nggak jatuh, ya putus, gitu dah. Cuma karena aku jatuh seorang diri, maka aku putus juga sendiri. Yiksss, definisi jomblo ngenes kah? Nggak. Ini cuma caraku aja. Udah gitu. 

Apa lagi ya?

Ya, karena hampir Desember dan aku lagi stres, semoga Desember bersahabat lah ya. Semoga aku sembuh dari segala rasa yang aneh ini. Semoga juga aku nggak capek sama hidupku, pun temen-temen juga nggak capek punya teman kayak aku.


Rabu, 26 Oktober 2022

THROWBACK 9

Selasa, 3 September 2019: penyakitku ketika sedang jatuh cinta cuma satu, sulit mengaku.

Is love just a feeling? GAK TAHU! Begitulah kira-kira jawabanku saat itu. Perkara hati, tak ada yang bertanya secara langsung kepadaku selain akun Twiter Vice Indonesia. Cuitannya, kemarin lewat berandaku. Aku jadi ikut berpikir. Apakah cinta hanya sekedar perasaan?

Pagi tadi, aku masih sempat begadang. Bukan sengaja. Seperti biasa, memang tidak bisa tidur. Tidak memaksakan diri untuk tidur. Berdebat dengan pikiran yang selalu perang dengan perasaan. Rasanya ingin sekali menangis, tapi aku tak tahu penyebabnya. Rasanya, rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang tak jelas benar atau salah. Sesuatu yang aku sendiri tak tahu, apa itu. Aku tak bisa berandai apa-apa.

Satu demi satu pertanyaan muncul. Apakah deg-degan adalah satu-satunya tanda jatuh cinta? Aku bertanya pada salah satu teman. Ia laki-laki. Kali ini, sepertinya aku perlu perspektif lain. Sudah sering aku membahas masalah perasaan dengan seluruh teman perempuanku. Dan aku masih belum tercerahkan. Jadi, aku bertanya pada teman yang satu itu. Meski dia sering tidak sengaja membocorkan suatu hal yang harusnya tidak ia katakan, dia teman mengobrol yang cukup baik.

Singkat. Pertanyaanku hanya mengenai, tanda jatuh cinta. Apakah orang yang membuat berdegup, ataukah orang yang membuat kepikiran. Setelah memutar-mutar jawaban, tanpa tanya pada siapa aku sedang—mungkin—jatuh cinta, jawabannya adalah orang yang membuat jantungku berdegup. Aku kembali berpikir, apakah benar jika debaranku selama ini adalah pertanda jatuh cinta? Dia? Hanya ke dia seorang? Aku ingin mempercayai kata-kata temanku itu, tapi pikiranku masih tak sepakat. Ya, aku masih memikirkan sosok yang membuatku kepikiran, tapi tidak ada debaran.

Hal itu, kurasa aku pernah merasakannya. Tapi, aku tak yakin jika itu cinta. Tentu sih ya. Cinta bukan agama yang perlu diyakini—sepertinya. 

Tentu atau masih seperti, nih? 

Ah, ini nih. Pikiranku selalu melawan hati dengan logika bodoh yang selalu saja punya jawaban. Debar jantung yang akhir-akhir ini sering kurasa mungkin karena stres. Apalagi, tentang organisasi. Dan mungkin juga karena kekosongan hati—yang sedang bingung dengan suatu hal, jadi debar itu adalah bentuk pelepasan. Jadi, sepertinya itu debar yang wajar.

Ah, lelah berpikir, lelah merasa, lelah mencerna. Aku harus apa? Harus bagaimana? Dan mengapa? Melihat teman-teman yang sibuk berbisnis, berorganisasi, berkarya, kuliah sungguh-sungguh, ngebucin dengan pasangan mereka, rasanya aku ingin terbenam saja. Serius, sebenarnya aku tak ada niatan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Poin terakhir itu adalah bentuk tekanan batin yang entah kenapa mengganggu pikiran. Cinta? Aku ingin tidak peduli.

Minggu, 23 Oktober 2022

SETELAH DATANG DAN SEBELUM PERGI, MEREKA PERNAH MENETAP

Setelah datang dan sebelum pergi, mereka pernah menetap. 

Ada di lingkar terdekat dan selalu jadi penyemangat. Tanpa mereka tahu saja, keberadaan mereka sangat mempengaruhi hidupku. Tak ada satu pun orang di sekitarku yang tidak berpengaruh. Mereka ada dan selalu ada. Karena setelah datang dan sebelum pergi, mereka pernah menetap.

Hidup bersama tanpa sekat. Berbagi segalanya seperti tak akan berpisah saja. Padahal siapa sih yang tidak sadar jika di setiap pertemuan akan ada perpisahan? Aku si paling susah move on saja, sadar. Kita, siapapun kita, tak akan bisa bersama selamanya. Akan selalu ada kekosongan. Pergantian demi pergantian menunggu henti. Ada. Mereka ada pada sela. Bahkan, mereka selalu ada tanpa mereka duga. Dan apakah aku pernah menetap di kehidupan mereka juga? 

Aku lelah dengan pikiran-pikiran yang menganggu ini. Mereka yang silih berganti, lama kelamaan jadi menyesakkan. Aku ingin berkata, jika datang, datang saja, jangan pergi. Menetaplah di sini. Tapi, ujung perpisahan yang entah apa kelak turut menghantui. Karena aku yakin, ini pasti akan berakhir. Kisah hidupku yang sudah berliku ini, kuyakin masih panjang. Aku sudah lelah dengan pikiran ini. Aku sudah capek dengan kecemasan ini. Aku sudah tidak mau memikirkan narasi-narasi ambigu. Tapi, aku tidak tahu kudu bagaimana. Karena aku tidak punya daya untuk mengendalikan situasi. Mereka yang datang dan pergi itu, tidaklah salah. Aku pun juga tidak. Namun, aku lelah menghadapi itu. Aku senang. Sangat senang. Namun, aku si manja ini, kudu membayar mahal untuk pilihan-pilihan bodoh tak bertuan. Aku harus mengeraskan hati untuk meneruskan hidup. Seperti hari-hariku dulu yang keras, tidak bisakah aku kembali seperti itu lagi? Menguatkan hati dan sesak? Mereka-mereka itu hanya datang untuk pergi. Hanya pernah menetap, bukan benar-benar menetap. Jadi, singkirkan fatamorgana kesenangan yang akan lekas lebur seiring waktu berlalu. Kesengsaraan tak berujung yang menyesakkan. Jangan jatuh di lubang yang sama lagi. Cerita hidupku sudah terlampau banyak untuk ditulis. Mereka yang pernah menetap itu, juga sudah punya bagian masing-masing. Cukup, cukup. Tangismu tak penting bagi mereka yang hanya pernah saja. Cukup cukup. Cukup. Seperti halnya kamu mendoakan mereka untuk terus bahagia, agar jangan sampai seperti dirimu yang sangat sial, kamu juga harus mendoakan dirimu sendiri. Ya, silakan berpikir doa apa yang akan kau ucap karena sulit sekali memohon pada Yang Maha Kuasa untuk diriku yang... seperti ini. Aku tidak tahu. Kenapa mereka jahat sekali? Tidak. Kenapa diriku mudah sekali tersakiti? Kenapa aku harus melalui ini? Kenapa aku terus menerus seperti ini? Kenapa aku? Kenapa harus aku? Jangan. Jangan dijawab motivasi konyol yang tak lebih dari omong kosong. Aku lelah mendengar pun mengatakannya. Aku tidak mau memikirkan jawabannya juga. Aku tidak mau memikirkannya. Aku lelah. Meski ada jawaban yang tepat sekalipun, apa gunanya? Apa? Apa? Hidupku tetap begini-begini saja. Mungkin aku pernah berlaku jahat kepada orang lain. Entah aku menetap atau hanya sekedar lewat untuk mereka. Tapi, yang harus ditahu, tak ada sedikit pun niat seperti itu. Aku hanya... aku... entah...

Sekarang ini, aku akan berusaha mengabulkan permintaan seorang teman. Satu itu saja.


Kamis, 20 Oktober 2022

Tipu-Tipu-Tipu

Kebiasaan baru yang sempat kulakukan sejak tiga bulan yang lalu adalah menulis mimpi. Tidak semua. Hanya yang ingin-ingin saja. Tidak juga membiasakannya terus menerus, takut ketergantungan. Apalagi mimpi kan fatamorgana ya. 

Karena bingung mau ngapain--padahal banyak yang musti dilakuin, aku memilih baca mimpi-mimpi yang udah kutulis itu. Rumit dan tidak jelas. Ya, kan, biasanya ditulis mendadak baru bangun. Konon, mimpi akan hilang dari ingatan setelah 3 menit. Untungnya, di beberapa kasus, ingatan tentang mimpi di kepalaku bisa bertahan lama. Bahkan pernah dua-tiga hari. 

Hingga, sampailah aku ke salah satu mimpi yang bikin nangis. Kisah mimpi yang pernah kutulis juga di sini, di Mimpi Tipu-Tipu. Aku baru ingat itu. Ingatan tentang hal-hal nyata malah berkebalikan ya sama ingatan mimpi, kabur-kaburan. Aku nangis aja bacanya. Padahal, nggak lagi di momen melo. Cuma mau nyari referensi cerita, pengen nulis. Makanya kabur ke sana. Tapi, malah begitu jadinya. Aku lanjut men-scroll sampai bawah. Baca sekilas saja. Dan sepertinya, aku memang sengaja mengurangi intensitas menulis mimpi.

Setelahanya, aku mau bermimpi, tidur. Siapa tahu kan dapet ide cerita yang keren dari sana. Emang sih, aku tipe orang yang nggak bisa langsung tidur gitu. Tapi, aku tuh kek bisa gitu loh mimpi. Kek, mau mimpi ah, terus mimpi. Dan hasilnya mesti aneh-aneh. Kadang kalo request gitu, hasinya agak nyerempet. Cuma ya ada plot twits-plot twist yang nggak terduga. Tapi, mimpi ga selalu sih. Akhir-akhir ini kayaknya jarang. Baru tadi lagi deh, aku mimpi dan inget. Karena anget juga kali ya. Iya, aku tidur dan mimpi. Cuma dua jam dan mimpinya biasa aja. Cuma masuk jadi draf ahahaha. 

Seneng. 

Seneng bukan perkara mimpinya. Seneng karena apa yang terjadi sebelum masuk ke mimpi itu. Lagi-lagi kenangan jadi senjataku untuk ketawa sekaligus nangis. Aku dengerin rekaman-rekaman suara dari kartu memori lamaku. Siapa tahu kan, ada suara bapak. Bisalah jadi obat rindu. Kangen ke belio tuh kayak ada tombolnya. Aku bisa sadar waktu. Tapi, kalau kelamaan dipendem, pas lagi on bakal lumayan juga sih aahaha. 

Rekaman suara yang kuputar dari folder rekaman biasa. Artinya bukan rekaman-rekaman masa dulu banget yang sudah kuorganisir dan dengarkan terus-terusan di masa lalu. Rekaman suara pertama aku nyanyi. Ya sudah biasalah. Nggak mungkin nemu suara bapak di sana. Aku kalau mau nyanyi kan ya nunggu sepi, sendiri. Rekaman berikutnya cuma gembrebek. Oke skip. Selanjutnya nyanyi-nyanyi lagi. Tapi, kayaknya pas itu lagi ngumpul sama RYFAR karena ada suara Mbak Rima. Aku nggak minat denger lebih lanjut karena tentu saja nggak mungkin ada suara bapak. Pikirku, aku akan nemu suara belio marah-marahin aku pas lagi rekam suara OST drakor di TV.

Ternyata, aku mendapati suara beliau samar terdengar di rekaman selanjutnya. Rekaman saat aku ngaji. Ya, awalnya kukira ngaji sih. Soalnya dulu sering juga ngerekam gitu. Khususnya surat Yasin. Tapi, ternyata itu rekaman buat hapalan. Kayaknya sih. Kalau tebakanku benar itu hapalan buat ujian praktek lisan SMA, harusnya habis itu aku rawat inap di Puskesmas deket sekolahan, alih-alih ikut ujian. Mau bilang sia-sia hapalan kalo endingnya nggak ikut ujian, tapi hapalannya surat-suratan. Kan nggak enak ya, sama Tuhan, hehe.

Sejak awal ayat, aku kedengeran suara bapak lagi telponan. Ya, biasa sih, ngobrol sama kawan-kawannya. Lirih banget, karena suaraku lebih keras. Apalagi bapak di luar kamar. Untung aja suara belio menggelegar. Jadi masih masuk-masuk aja. Aku nggak nyimak sama sekali surat apa yang kubaca. Memilih menerka-nerka siapa-siapa dan apa yang sedang dibicarakan bapak. Sepertinya panggilan yang tadi selesai. Bapak masih mengobrol. Entah dengan siapa, tapi kemudian halo-halo yang terdengar menunjukkan kalau dia masih melanjutkan obrolannya. Pasti ada paketan ngobrol. 

"Halo Kawan!" begitulah kebiasaan pembuka obrolan yang sering kudengar. Ekstrover garis keras. 

Saat suara obrolan terdengar semakin jelas, aku meninggikan suaraku. Mungkin berusaha tetap konsen dan menandaskan suara-suara lain. Padahal sekarang ini, aku kesal sekali. Ingin kuhilangkan saja suaraku itu. Aku ingin mendengar obrolan masa itu. Ternyata aku yang sedang mengaji itu juga kesal. Dia meninggikan suara bukan semata-mata karena ingin menandaskan suara bapak. Lebih karena ada gangguan menyebalkan. Masku terus-terusan menggoda. Ya, hari-hariku di masa itu penuh dengan jenakanya dia dan segala oloknya. Aku kesal, dan aku rindu. Sudah kubilang kan, rindu ke orang yang masih ada di dunia, tidak lantas tidak lebih menyakitkan daripada rindu kepada orang yang sudah tidak ada di dunia. Dan aku mendapati momen itu kembali di rekaman itu. Aku tidak menangis sekeras saat membaca Mimpi Tipu-Tipu tadi. Tapi, ya menangis. Sedikit sih. Lebih banyak senyumnya. Masku sekonyol itu. Dan aku juga banyak menyebutkan berbedanya dia sekarang di tulisan-tulisanku lainnya di sini. Kabar baiknya, Masku sekarang sudah mulai menjadi Masku. Tidak benar-benar kembali seperti dulu. Tapi, setidaknya tidak semenyebalkan kemarin-kemarin. 

Surat Adduha sampai Annas selesai. Banyak sekali salah-salahnya. Padahal cuma surat pendek loh. Emang the power of Mas Put. Bener-bener pinter bikin aku emosi. Aku berhenti dengerin setelah selesai rekaman yang itu. Tidur. Dan akhirya bermimpi itu tadi. Tidak ada bapak sama sekali. Ya, mimpi sederhana sih. Yang jelas, ada Mbak Rima di sana.

Ah, janji nulisku yang sebelum-sebelumnya belum ya. Hehe, tidak tahu kapan menebusnya. Nulisku bener-bener suka-suka ya. Hmm ya sudah. Mau tenggelam di malam penuh batuk ini. Iya, batuk. If you know you know. 

Minggu, 25 September 2022

Aku dan Kisahku: Setiap September, Aku Jatuh dan Memutuskan Cinta

Cerita dalam cerita. 

Memasuki bulan ke sembilan, aku selalu ingat dengan kata-kata yang pernah tercetus di kepala, "Setiap September, Aku Jatuh dan Memutuskan Cinta". Kisah-kisah masa lalu perihal jatuh cinta terkilas. Samar, namun menampar. Ah, aku pernah ya ada di titik itu. 

Perlahan aku lancang menerka apa yang akan terjadi padaku selanjutnya. Apakah September tahun ini aku akan jatuh atau memutuskan cinta? Rasanya, sedikit percik kesenangan di hati sebelum-sebelumnya, yang sempat juga kucurahkan di sini, tak cukup kuat untuk jadi alasan aku jatuh dan memutuskan cinta. Lalu, Tuhan memberi adimarga yang menuntunku pada kiat-kiat agar aku memilih untuk jatuh atau memutuskan cinta.

Sampai saat ini, kata, Setiap September, Aku Jatuh dan Memutuskan Cinta, masih terngiang. Padahal aku telah menafikan titik-titik yang diberikan Tuhan itu agar tidak jadi temu. Bukannya sengaja, hanya... ya... katanya itu qadarullah. Kan? Meski begitu, aku tetap gelisah. Ingin menumpahkan isi kepala, tapi tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kutumpahkan. Kepalaku penuh, tapi di saat yang bersamaan kepalaku kosong. Aku ingin teriak, tapi sedang terbungkam. 

Ah, aku harus menulis blog. Tentang hal-hal yang terjadi di bulan September, aku rasa dua tiga part tulisan bersambung seperti biasanya pun tidak cukup. Urung, aku menenggelamkan diri ke asa yang terus menciut. Kesalahan-kesalahan yang terus berulang, dan penyesalan yang jadi kesal. Harusnya, setiap September kan aku jatuh dan memutuskan cinta? Lantas, kenapa Septemberku jadi ruwet begini? 

Aku lari ke mari. Ingin membaca tulisanku yang dulu-dulu tentang September. Namun, ternyata tulisan itu tertimbun jadi draf saja. Entah selesai atau belum, dan entah September tahun kapan ini. Berikut draf tentang Setiap September, Aku Jatuh dan Memutuskan Cinta. Aku belum membaca isinya sih, mari kita simak bersama saja.

Setiap September, Aku Jatuh dan Memutuskan Cinta

September. Kabar baik untuk pecinta akhir tahun. Awal semester baru bagi manusia-manusia pemuja angka, bahasa, dan segala ilmu dunia. Juga segala kekalutan tentang akhir yang semakin dekat. Lembar baru yang dari waktu ke waktu selalu ambigu.

Pada September ini, biar kuceritakan sebuah cerita. Kisah klise percintaan yang menyentil bagian terapuh diri alih-alih uwuu, hati. Menyenangkan, juga menyakitkan. Penuh perjuangan dan pengorbanan. Ya perasaan, pikiran, waktu, kesempatan, terlebih sesal. Penyesalan yang tak ada obatnya.

Jika kalimat, "Biar kuceritakan," muncul, itu tandanya aku akan mengungkit segala hal tentang masa lalu. Tentang tahun-tahun awal aku jatuh dan memutuskan cinta di bulan September. Dan karena jangkauan ingatanku terbatas, juga narasi cerita yang lebih menarik demikian saja, mari mundur ke tiga tahun silam.

Kalau tiga tahun lalu, berarti tulisan ini ditulis tahun 2020, ya.

Tahun 2017 itu, aku masih sangat polos prihal seluk beluk kampus. Bagaimana cara bertahan di society yang hetero. Bagaimana mempertahankan eksistensi ketika menjadi golongan underrated. Bagaimana mengembangkan diri untuk benar-benar hidup dengan selamat sampai lulus menjemput. Serta bagaimana-bagaimana yang lain yang barang tentu tak bisa kesemuanya kusebutkan. Berpedoman pada insting dan waktu luang, aku mencari jalan. Berliku dan memutar. Naik turun tak menentu. Hingga asa yang terkumpul bersama beberapa kawan yang lain, mempertemukan kami pada sebuah keadaan. Ketertarikan.

Siapa sih yang tak ingin punya romansa di bangku perkuliahan? Bertemu kakak tingkat mempesona atau teman seangkatan yang keren. Sama dengan mahasiswa baru pada umumnya, ada sedikit rasa yang demikian. Tapi, logikaku bekerja lebih keras daripada pendramatisiran yang dibikin sebagian lain di diriku. Aku tak ada waktu untuk begitu. Tak ada keinginan atau kehendak. Kupikir tak akan aku jatuh pada siapapun sosok adam di populasi tinggalku--kampus sastra dengan banyak manusia aneh. Statusku menjadi mahasiswa gap year mendukung penolakanku perkara romansa tai kucing itu. Aku mematri ikrar pada diri agar tak akan jatuh pada mereka yang lebih muda, pun untuk tidak mengejar siapa saja yang lebih tua macam betina pada umumnya. Tidak. Di masa setelahnya, aku harus menelan ludahku sendiri.

September 2017, bulan kedua aku menjadi mahasiswa. Saat itu, aku bersama teman dekatku menyaksikan sebuah pertunjukan yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Aku tak mau menyebutkan apa itu, yang jelas aku suka pada keseluruhan acara. Hingga suatu hari setelahnya, aku menemukan bagian dari pertunjukan itu di kenyataan. Potongan yang pas untuk menjadi tokoh pada kisah hidupku di bangku perkuliahan. Meski itu akan menodai pedoman untuk tidak menjadi betina seperti yang lainnya, aku berusaha menjadi berbeda. Sebelum para teman perempuanku menemukan pesona itu, aku mengeklaim jika akulah yang pertama. Menganggap jika teman-teman yang menyukai tokoh itu dengan tanpa usaha. Sedangkan aku, mencoba berbagai cara untuk sekedar dikenal. Gol tak tertulis yang kupikir sangat manis. 

Awal mengetahui sosoknya, tak ada yang bisa kulakukan selain berikhtiar di media sosial. Menunjukan eksistensi lewat persona konyol akun Instagram. Jangankan terbalas, mengetahui jika diriku ada saja, tidak. Saat itu, aku masih coba-coba. Beradu dengan logika untuk jangan bersikap bodoh. Meminta diri untuk menengok kembali sosok itu. Tak ada hal baik yang terlihat di dirinya. Jika kata teman-teman dekatku, dia nakal. Dia tak berkuliah sungguhan. Nggak juga tampan. Tapi, aku dengan segala kegilaanku tertarik. Kubilang, sebatas tertarik. Tak ada pengakuan tentu, karena aku ya masih dengan pendirianku--yang goyah.

Waktu berlalu dengan lakuku yang berpusat ke orang itu. Melakukan segala aktivias perkuliahan dengan tetap berharap dapat dikenal. Tak lebih. Ini loh, aku. Aku ada. Aku ada di antara pengagummu yang ribuan itu. Kurang lebih begitu.

Suatu saat, ada kesempatan kudapat. Ah, susah menjelaskan secara tersirat, tapi aku tak mau bercerita dengan tepat. Di universe-ku yang lain, aku mendapatkan tugas untuk berinteraksi dengannya. Bukan tiba-tiba, aku memang sengaja dan berencana untuk itu. Meminta kakak tingkatku di universe itu untuk menugaskanku agar bertemu dengannya. Singkat cerita, setelah hal itu berakhir, rasaku masih belum berakhir. Dia masih sama, tak menganggap aku ada. Ah, mungkin sekedar, manusia dari universe itu, begitu. 

Wkwkwk geli banget ya dibaca ulang. Pada saat itu, kusudah berani ya nulis-nulis begini. Kena spill tahu rasa, loh. Itu masnya udah punya pacar lagi sekarang. 

Masa kuliah saat itu, dihiasi dengan aksi kucing-kucinganku dengan perasaan. Aku ini ngapain sih? Nge-fan? Suka? Cinta? Atau sekedar obsesi? Tertarik? Ya. Tertarik untuk apa? 

Kisah ini masih berlanjut. Aku masih terus berusaha. Usaha yang biasa-biasa saja tapi malah jadi hasil yang tak terduka. Iseng, aku ikut kepanitiaan yang aku yakin ada dia di sana. Kepanitiaan tahunan untuk membuat sebuah pertunjukkan yang menjadi alasanku mengenalnya dulu. Seperti bernostalgia, di bulan September tahun kedua itu, aku jatuh lagi. Masih tak ada pengakuan dari lubuk hati, alih-alih ada gejolak. Di sana, aku sangat sibuk. Terbebani dengan banyak tugas dan tak luput dari masalah. Tapi, anehnya tiap kali mengingat keberadaanku saat itu--yang telah dikenalnya--seperti ada kupu-kupu di perutku. 

Hayo loh, udah habis tulisannya, wkwk. Mungkin alasanku batal lanjut saat itu karena takut kali ya. Agak gamblang soalnya kalau masuk kepanitiaan-kepanitiaan itu. Tapi, aku lupa apa yang mau kulanjutin kalau emang lanjut. Daripada penasaran, (eh, ini aku penasaran sama isi kepala diriku sendiri ya?) aku mau lanjut sih, wkwk. Mungkin outlinenya bakal beda sama yang dulu. Tapi, akan kucoba. 

Yap, dari, ada kupu-kupu di perut. 

Jadi, kupu-kupu di perut itu, tak pernah benar-benar kusadari. Hanya definisi yang bisa kusampaikan untuk menggambarkan situasiku saat itu. Intinya, aku lega. Ada kelegaan yang meski tidak memberi dampak tertentu, bisa membuatku lepas. Setelah jatuh di bulan September 2017, aku memutuskan sesuatu yang mungkin disebut cinta di September 2018. 

Hari-hariku berjalan semakin sibuk. Berkali-kali lipat lebih sibuk dari yang sebelumnya. Perkara cinta tak pernah sedikit pun terlintas. Aku senang saja melalui itu semua. Sudah cukup ludah yang kutenggak sebelumnya. Aku hanya ingin menjadi aku yang aku. Tidak berharap kepada apapun, dan siapapun. Berusaha menikmati prosesku secara profesional. Namun, keprofesionalan itu malah jadi bumerang. Lagi-lagi aku harus menelan apa yang kukeluarkan. Kakak tingkat sudah kan? Tahun selanjutnya malah jatuh ke teman seangkatan, yang itu artinya umurnya ada di bawahku. Aku jatuh, meski nggak sakit-sakit amat. Masih tetep nyangkal kalo itu sebatas profesionalisme diriku demi regenerasi. Tapi, ya tetap saja namanya juga jatuh. (Plis, kalo ada temen seangkatan yang baca ini dan kepo, tanya aja, jangan berasumsi, bahaya)

Setahun berlalu dan sampailah aku pada September 2019. Rasa dan berbagai perkara yang sangat panjang untuk dijelaskan itu, berakhir dengan diriku yang mulai berani mengaku. Tidak jauh-jauh, ke diriku sendiri dahulu. Aku mulai membenarkan jika aku sempat goyah gara-gara profesionalisme setahun ke belakang. Aku sempat merasa ada sesuatu yang tertahan. Sangat-sangat sulit untuk dikatakan. Seperti tertekan, tapi juga ada rasa senang. Senang yang membuatku merasa ada kupu-kupu lagi di perutku sampai terasa mual. Serius. 

Saat itu aku mulai sadar. Sepertinya aku sedang jatuh lagi. Kali ini lebih sulit dan ambigu karena alibi-alibi yang kusebutkan tadi. Tapi, mual yang seakan mendorongku memuntahkan apa yang tertahan di perut, membuatku berjanji pada diri. Aku tidak akan menyangkal. Setidaknya, aku telah janji pada diriku sendiri akan mengeluarkan kupu-kupu ini di waktu yang telah kutandai. Aku harus terbebas dari ikatan tak kasat mata itu. Menikmatinya dengan seperti ikatan tadi, tak kasat mata. 

Namun, rencanaku gagal total. Aku jatuh di lubang yang sangat dalam dan rapuh sehingga membuatku tertimbun bersamanya. Tiba-tiba saja duniaku runtuh. Aku rubuh. Persetan dengan luka-luka yang kudapat dari jatuh, karena mendadak aku lumpuh. Gerakku terbatas dan menyakitkan. Sangat. Tak sampai di situ, serangan demi serangan terus kudapat. Aku terpukul secara benar. 

Hidupku jadi kelabu. Ibaratnya seperti televisi tabung yang sinyalnya jelek. Buram dan banyak semutnya. Kusimpan kembali segala luka dan cinta yang pernah ada. Tidak ingin menghapus, juga tidak ingin mengelus. Hanya membiarkan begitu. Tidak pula berdoa pada Tuhan untuk didekatkan atau dijauhkan. Hanya... aku tidak bisa. 

Hari-hari dari September tahun 2019 ke September 2020 telah berlalu. Tak benar-benar lepas, tapi di September itu, aku terpaksa harus memutuskannya lagi. Aku tak mau terbelenggu pada siksa tak terlihat. Rasanya sangat-sangat melelahkan. Momen yang tepat pula untuk mengakhiri sebuah rasa. Pada saat itu, aku mulai menulis ini. Setiap September, Aku Jatuh dan Memutuskan Cinta. Harusnya, tahun itu aku memutuskan cinta kan? Harusnya di tulisan ini aku meleburkan segala apa yang kupendam. Dan, iya, memang aku melakukannya. Di bulan September itu, aku jauh lebih lega dari biasanya. Meski ada sesuatu yang belum bisa lepas, tapi aku sudah memutuskan. Ya, memutuskan untuk memutus itu. Ya itulah pokoknya. 

Lalu, bagaimana dengan September 2021 dan September 2022? Apakah aku kembali jatuh dan memutuskan cinta? 

Ya ya ya, aku ingin sekali bercerita tentang yang terbaru ini. Tapi, sungguh. Aku lelah. Jadi, sepertinya akan ada part selanjutnya. Terima kasih. (Eh, nggak menutup kemungkinan kalo lanjutannya bakal ada di Medium sih. Wkwk, campur-campur tak berkonsep.)

26 10 20 

25 09 22

Jumat, 19 Agustus 2022

Mencoba Bersyukur dan Terus Bersyukur.

Dari kemarin, Redmi 5A-ku, benda yang paling kusayangi selain laptop, baterainya eror. Ya, kalau sudah tidak sehat sih dari lama. Cuma nggak pernah tiba-tiba mati pas masih 30-an persen. Tapi, ya nggak apa-apa. Aku mencoba sabar karena hal-hal macam itu sering terjadi. Tinggal di-charge saja kan?

Masalah lain muncul karena tombol powernya nggak begitu berfungsi. Biasanya memang aku harus mengeluarkan segenak tenaga dan teknik tertentu agar bisa menyala. Tapi, kali itu tidak. Kuku jempol yang bahkan harus kupotong dulu untuk menekannya, sampai sakit sekali. Akhirnya aku menyerah. Mencari hack lain yang ternyata ada. Bisa. Mujur. Meski tombol volume juga oglak-aglik, namun yang bagian atas masih sedikit bisa. Akhirnya hapeku bisa menyala.

Aku harus menunggu berjam-jam agar penuh karena chargernya juga busuk. Kalian mungkin pernah lihat kabel charger yang bagian atas, kepala, dan bagian dekat tembaganya, ekor, hampir patah. Tapi, pernah tidak lihat bagian tengah-tengahnya hampir serupa begitu? Nah, punyaku begitu. Padahal aku sangat memperhatikan barang-barangku. Bukannya yang enggak peduli. Tapi, ya sudah lah. Terima saja. 

Aku sedikit membatin. Meski panik, tapi aku tidak begitu frustrasi. Ya, kesal sih sampai-sampai mengurungkan banyak hal. Lebih tepatnya, melakukan tapi tidak progres. Lagi. Alias, pikiranku sudah terpenuhi banyak hal. Sebelum kejadian itu pun, laptopku sempat hang saat awal membukanya. Tools bar tidak muncul. Bukan pertama kali sih. Tapi, sempat agak panik karena lama sekali. Pada akhirnya semua kembali normal. Aku pun berpikir jika hapeku nanti akan normal. 

Sebelumnya, aku memforsir hapeku untuk memindahkan beberapa file ke drive, juga menghapus file-file lain yang sudah kupindahkan ke laptop. Mungkin dia kelelahan ya. Tapi, setelah istirahat lama pun, paginya, tadi pagi agak subuh, pas aku bangun tiba-tiba hapeku mati lagi. Padahal masih 40an persen. Aku mencoba sabar dan berpikir positif. Apa susahnya nge-charge dan nyalain lagi? Ya, emang susah sih nyalainnya. Tapi, yasudah lah. Aku menunggu baterai sedikit terisi sekitar satu setengah jam sambil melanjutkan tidur. Udah nih, udah bangun lagi dan udah agak kesisi, hack tombol up volume nggak nyala. Berkali-kali dicoba sampai kukuku sakit semua, akhirnya bisa. Oke, moral value jangan nyerah. 

Pas nyala dong... Ruang penyimpanannya lega banget. Satu giga lebih. Aku nggak lagi takut kalo ada data yang ilang karena pernah kek gini. Entah gimana, tapi penyimpanan yang lega itu berkebalikan sama perfoma yang jadi lemot. Ya, sebelumnya lemot juga sih. Jadi, bisa bayangin kan, seberapa lemotnya. Aku nggak mungkin membiarkan itu. Cara untuk memperbaikinya adalah dengan menonaktifkannya lagi. Artinya mematikan lagi. Itu sudah beberapa kali kulakukan. Masalahnya, biasanya itu, aku kesulitan saat mematikannya karena tombol power tadi. Kalau untuk menyalakan sih pasrah sama alarm yang kusetting di waktu tertentu agar otomatis bangun. Jadi, gimana dong?

Okay, aku menunggu sampai hapeku mati sendiri saja. Cuma terisi 40 persen. Dan di belasan persen benar mati. Kutunggu lagi sampai bangun sendiri sambil di-charge karena sudah kuset alarm sebelumnya. Berhasil. Bloopnya lamaaaa sekali. Tapi, akhirnya balik normal. Aku masih takut tiba-tiba bermasalah lagi. Tapi, ya sudah. Belajar bersyukur. Untung nyala. Untung balik lagi. 

Sebenarnya, aku sudah tidak sering berinterkasi denga hape itu karena performanya yang demikian membuatku lebih nyaman sama laptop. Masalahnya, aku perlu dia untuk memesan gojek. Aku takut tiba-tiba mati saat akan memesan sedang aku harus buru-buru ke stasiun. Apalagi, mengingat jika kemungkinan dapat tiket berdiri karena biasanya pun, meski membeli lewat KAI Access, sudah kehabisan tiket. Tapi, ternyata semua berjalan lancar. Meski agak gupuh karena tamu bukos buanyak banget di depan sedang aku kudu sepatuan dan ditunggu gojek, dan... hey helm. Aku ingat helmku saat Mas Gojek ngasih helm kepadaku. Alhamdullilah. Btw, nama lengkap Mas Gojeknya mengingatkanku sama seseorang. Inisalnya, MAR. Aku pengen banget nyebutin nama, tapi takut kena UU ITE. Eh, bisa dipidanakan nggak sih nyebut nama orang lain, literally orang lain, di blog begini?

Cukup bahas gojeknya. Di stasiun, aku dapet tiket dong. Dan banyak orang lain di belakangku dapet. Aku bahkan masih di gerbong 1 alias banyak yang kosong pasti. Pikiran semacam, 'tau gitu berangkat agak belakangan biar nggak nunggu lama begini,' ya aku berangkat satu jam lebih sebelum keberangkatan, seperti biasa. Tapi, aku buru-buru menepis pikiran itu. Bersyukur aja, dapet tiket. Dan menunggu kali itu, aku bener-bener nggak ngapa-ngapain. Nggak buka laptop atau hape. Nggak ngobrol sama orang juga, kayak tempo hari. Itu berlanjut sampai di stasiun pemberhentian. 

Dan kelanjutannya adalah ketika masku muncul di detik-detik saat mataku berair itu. Rasanya lega. Ya, meski agak cemas kalo Masku bertingkah dengan mengajak ngobrol pembahasan yang memuakan--atau menyedihkan. Namun, dia malah membahas tentang ketidakadilan yang dirasakan petani. Dia kecewa karena pupuk subsidi terbatas dan hanya di tempat-tempat tertentu. Dia juga membahas kasus Sambo. Membicarakan banyak hal tentang hukum dan pemerintahan. Tidak biasanya. Tidak menyenangkan pula. Tapi, tidak apa-apa. Setidaknya tidak menyinggung hal-hal tentang diriku, atau tentang dirinya. Itu cukup. 

Mas juga memintaku memilih, nasi goreng atau mie ayam. Kubilang tidak bawa uang. Dia bilang dia yang bayar. Sebenarnya, aku lebih ke capek pengen langsung pulang. Tapi, aku menurut dan bilang terserah. Dia bilang kalau nasgor ya di nasgor seafood dekat pertigaan. Tempat langganan almarhumah mbak sepupu kami. Aku iya iya saja. Tapi, mas malah muter-muter nyari trabasan yang berakhir kami balik ke SMANSA lagi. Jadi, kami lewat jalan utama. Dan kekhawatiran mas terjawab saat nasgor seafood itu tutup. Aku agak sedih juga sih, gagal bernostalgia dengan kenangan mbak. 

Selanjutnya mie ayam langganan mas di perliman Jajag. Meski belum makan siang, jujur saja aku tidak sangat lapar. Lebih ke lelah. Aku berdoa dalam hati, semoga tutup. Maghrib sudah terdengar saat kami mengobrolkan tentang Sambo memasuki Jajag. Kalaupun dibungkus, pasti menunggunya lama sekali. Mie ayam kan lama emang. Apalagi tempat itu ramai. Sebelum sampai di tempat Mie Ayam, aku sempat menyebut nasgor langganan mas yang tendanya kami lewati dan terlihat lenggang. Ya siapa tahu berubah pikiran dan beli di situ saja. Setidaknya, tidak antri. Tapi, Mas bilang rasanya sudah beda. Ah, aku tidak peka terhadap perbedaan cita rasa begitu. Dan ternyata saat masku mau menyeberag ke warung Mie Ayam langganannya itu, di sana juga tidak buka. Asa! Sebelum dia membelokkan arah kembali ke area kota, aku bilang tidak usah nyari yang lain. Keburu habis Maghir. 

Akhirnya motor lurus menyeberang. Tidak, tidak langsung pulang ke rumah. Dia masuk pasar sore. Mau beli Kentaki katanya. Ya Tuhan. Biasanya dia selalu mampir ke pasar saat menjemputku, untuk beli cilok. Dia juga sudah hapal seluk pasar karena sering berbelanja dan kadang menjual hasil kebunnya di sana. Tapi, dia lurus terus sampai bakul-bakul itu habis dan ia berhenti di rombong warung yang kosong. Tak ada Kentaki. Dia kecewa. 

Aku yakin Mas nggak lapar. Mungkin karena kasihan melihatku menunggu dia begitu lama. Aku sudah lama tidak diperlakukan seperti itu. Aku kangen dimanja. Aku tidak hanya kangen Bapak. Aku sering kangen masa-masa seperti ini bersama Mas. Aku punya Ibuk yang selalu mensuportku, tapi tidak ke hal-hal romatis seperti itu. Ya, kuanggap itu romantis. Sehaus ini aku pada rasa kasih sayang yang demikian. Memang ya, rindu ke sosok yang masih hidup itu tidak lantas tidak lebih menyakitkan dari rindu pada sosok yang sudah tiada. Aku sangat mengapresiasi sebuah niat baik. 

Setelah kubilang keburu Maghrib, mas melajukan motornya kencang. Aku agak ragu untuk memegang switernya. Sudah lama sekali aku tidak memeluk erat pinggang seseorang. Selain mas-masku saat mereka mengebut, ya bapak. Aku sangat ingin dibonceng dengan motor bapak. Dan setelah bapak pergi, kemungkinan hal itu terjadi sangat sedikit. Aku tidak minder kemana-mana naik motor jadul bapak. Tapi, rasanya memang lebih nyaman kalau bersama bapak. 

Sial jadi nangis. Duh, kan niatku bersyukur.

Melewati nasgor langganan yang dekat rumah, Mas bilang kalau nanti tidak ada makanan kita beli saja di sana. Aku mengelak seperti sebelumnya kalau hari ini ibuk rewangan dan pasti banyak makanan. Tapi, ya sudahlah kuiyakan saja. Dan ternyata sampai rumah benar banyak makanan dan jajan. Tidak hanya hari ini, kemarin-kemarin juga ada saja yang punya hajat. Jadi ya banyak makanan. 

Aku lega sampai rumah. Aku bersyukur melewati hari dengan penuh rasa syukur. Kembali mengingat hal remeh. Andai aku tadi berangkat pup di lantai bawah lebih dikit, pasti nggak nyaman karena ada tamu-tamu baru pak kos. Andai aku mandi terlebih dahulu sebelum Jumatan dimulai, pasti aku merasa tidak aman di kamar mandi karena rombongan anak-anak baru juga... mas kos yang menunjukkan kamar di lantai 3 karena bukos pergi. Ah, jangan lupa promo gojek yang dapat diskon 10k kalau pakai gopay. Sisa saldoku ngepas banget sama biayanya. Untung banget. 

Banyak kok hal-hal yang bisa disyukuri hari ini. Meski Nasi Jinggo yang nggak lebih enak dalam banyak aspek dari Nasi Jagung, atau chat mengecewakan dari seorang temen, dan hal-hal menyebalkan yang untungnya tidak kuingat-ingat lagi, ada banyak hal yang sangat bisa disyukuri. Pun, kejadian-kejadian buruk di masa lampau, pasti bisa dicari sisi baiknya. Meski itu kadang terkesan seakan mencari pembenaran saja. Tapi, jika bisa membuat diri ini lebih baik, sepertinya tidak apa. 

Ya sudah, sudah hampir tengah malam. Aku harus istirahat.


Selasa, 16 Agustus 2022

Walk or Talk with me-jusseyo~

Semoga singkat, aku akan memberi waktu tiga puluh menit. Selesai nggak selesai, kudu selesai wkwk. 

Udah lama sejak aku nulis tentang jalan kaki nyari makan itu ya. Keseharian yang nggak jadi hal spesial. Salah satu yang nggak spesial pun yang baru aja terjadi. Cuma pengen aja ngeshare cerita ini. Aku mau keluar nyari makan. Tapi, jalanan ke arah tempat beli-beli, Kalimantan ditutup karena pengajian. Mau muter lewat Jawa males. Aku udah lapar banget dan kalo beli-beli di Jawa nyebrangnya susah. Satu-satunya jalan lewar gang sempit arah langgar sebelah tempat pengajian. Tumben aku meluangkan waktu dan memilih lewat gang langgar itu. Kalo biasanya sih aku udah milih muter lewat Jawa.

Aku tahu gang itu saat beli sayur pagi-pagi dan jalan gang ada tenda hajatan. Itu udah lama banget sih, pas aku masih ada temen jalan. Oke, sambil jalan, sambil mikir beli apa. Aku punya nasi di kos. Mau beli lauk, tapi nyeberang. Kalo nggak ya ke Sutarjo. Aku tetep jalan sambil mikir bahkan pas gerobak bakul lalapan di seberang jalan kelewat. Tapi, aku memutuskan berhenti dan nyeberang. Biasanya kelewat dikit aku bablas. Aku pengen makan yang berprotein. Niatnya sih tadi ayam goreng. Tapi, ayam krispinya lebih menggoda. Nggak gedhe banget kayak bakul-bakul lainnya, jadi gas aja. 

Sambil nunggu sambil mikir. Beli-beli apa ya? Ngintipin tukang keripik di depan Bursa masih ga kelihatan. Mataku agak buram sih kalo malem. Mau beli cilok di DPR kok ya kemaruk udah makan banyak. Pertimbangan lain yang muncul, aku kan nantti lewat gang terabasan. Kalo aku beli cilok DPR nyeberangnya lebih deket bunderan dan aku bakal kesulitan. Tapi, beli keripik pun kayaknya nggak karena bakulnya nggak kelihatan. Pas pesenanku kelar, aku kaget karena cuma habis 5k. Kukira ya 6-7k sih. Soalnya ati segitu, dan kemaren jamur 5k. Okelah, berarti budget buat jajan nambah. 

Pas turun dari trotoar tempat si pedagang jualan, ada ibu-ibu nyeberang. Sontak aku buru-buru ngikut. Jalanan agak rame, tapi adalah sela. Cuma nih, kerudung blusuk tipisku malik pas ada angin lewat. Mukaku ketutup semua pas aku di tengah jalan. Untung kendaraan yang lewat ga banyak dan nggak laju banget. Sesampainya di seberang jalan, kakiku ngeyel jalan ke tukang keripik. Dan beneran dong, nggak ada. Biasanya aku bakal tetep jalan alih-alih balik kalo yang kucari ga ada, dan tadi pun demikian wkwk. Aku mengubah rencana dengan beli telor gulung. Sebenernya di seberang Pujas ada. Tapi, aku milih yang agak jauh tapi nggak nyeberang. Ndilalah sampe sana ga ada. Aku udah mau bablas ke molen aja. Tapi, bakul pentil telur yang nggak pernah kulihat ada di seberang sana bikin aku nyeberang. Padahal pas itu rame banget.

Aku nanya pentil telur apa dan ibu yang jualan ngejelasin. Sebenernya aku tahu sih, cuma ya gamau sok tahu. Ibunya juga belum ibu-ibu banget. Belio sama anaknya yang mungkin masih kelas 3 atau 4 SD. Pas lagi ngocok telur, isian kotak-kotak di dalem kotak jatuh dong. Numplek karena rombongnya nggak seimbang. Aku buru-buru ke sebelah buat ngambilin. Dan itu udah kececer di tanah banyak. Ya Allah, kesian banget. Aku jadi merasa bersalah beli. Kalau tadi nggak bikinin pesenanku itu nggak bakal jatoh. Kayaknya yg jatuh juga lebih banyak dari yang kubeli. Pas pesenanku hampir selesai, aku lihat ada dua perempuan jalan searah sama aku nantinya. Setelah bayar dan jalan balik, aku masih lihat dua perempuan itu. (weit, udah 30 menit) 

Oke kulanjut ekekek. Niatku mau ngikut mereka kalo nyeberang. Di depan telur gulung depan pujas, mereka berhenti. Nih, pasti nyeberang. Dan bener aja. Tapi, belum sempet aku mengejar ketertinggalan, ternyata mereka penyeberang yang ngawur. Ngawur banget. Aku ikut kesel lihat ekspresi pengendara motor yang pada berhenti ndadak. Setelah mereka, aku nyeberang dengan 'slay'. Melewati jalanan yang kulewati sebelumnya. Dan u know what, pak bakul keripik buka. Baru buka. Aku seneng dong. Tapi, pas aku berhenti dan basa-basi gerimis jatuh lagi. Kayak pas aku di bakul lalapan. Gerimis yang hampir bikin aku batal beli-beli. Udah panik yak, nunggu bapaknya ngelayanin sama buka-bukain tosanya. Hamdalah sih, meski sampe kos juga gerimis, tapi nggak ngefek apa-apa alias aku nggak kebasahan karena cuma gerimis. 

Sampai kos... sampai kos aku pengen nulis. Pengen aja. Sebenernya banyak detail-detail kecil yang masih kuinget dan nggak ketulis. Tumben loh aku inget kan. Tapi, yaudahlah. Udah lewat tenggat juga tulisan ini. 

Sebenernya juga, hari ini agak kesel sama diriku sendiri. Yap, tentang siiiiapa ya? Gatau namanya wkwk. *pura-pura gatau. 

Aku udah gatel banget pengen sambat masalah ini. Tapi, aku masih nggak berani. Nggak tau ya, kek merasa nggak secure sama internet. Apa ya, bukan masalah tulisan ini bakal dibaca sama siapa-siapanya, karena aku yakin hampir-hampir nggak ada yang peduli juga kan? Lebih ke ketakutan kalo ternyata... ih, bingung ngejelasin. Analoginya, kalo kominfo bisa baca chat wasap kalian, aku takut ada seseorang yang bisa nyimak fafifuku dan jadi merasa nggak aman. Paham nggak sih? Wkwk. Aku rasa enggak. Intinya, aku merasa nggak aman karena dia, dan kayaknya dia juga merasa nggak aman karena aku. Hahaha. Ini cuma pemikiran manusia lelah macam aku. Berlebihan ya? Hmm, aku cuma takut. Waspada. Kayak Budiman. EH, gamau deh. Gamau kayak Budiman. Udah-udah. Mau ongoing dulu. Thx.

Jumat, 12 Agustus 2022

Anomali

Aku nangis sedetik setelah senyum-senyum makan sate. Nangisnya cuma bentar, tiga detikan. Terus muka serius dan nulis ini. Beneran aneh. Aneh banget. Nggak ada korelasinya sama sekali. Aku nggak tahu kudu apa, padahal sudah jelas harus apa. Aku bingung mau ngapain, padahal jawabannya udah tahu. Aku bener-bener kayak orang tolol yang menyia-nyiakan waktu. Bodoh. Padahal sebelum ini, aku mati-matian menekannya. Menekan diri dan waktu agar mau berkomitmen. Tapi akhirnya, semua ketakutan akan kesia-siaan itu muncul. Terus menerus berlaku. 

Minggu ketiga aku di kos. Satu minggu ke belakang aku nggak ngapa-ngapain sama sekali. Nggak baca, nggak nulis, nggak ngetik, nggak ngeblog, dan nggak yang lain-lain, pokoknya nggak produktif sama sekali. Pikiranku kacau, padahal nggak ada masalah selain konflik di pembahasan. Awalnya nyesel, kenapa dulu tiap kerja kelompok aku selalu minta ngerjain judul? Mentang-mentang paling mudah. Sekarang, skripsiku yang nggak pake analisis judul, jadi mangkrak. Belum berlanjut. Postpone, kayak konser Suju di Filipina. 

Timeline-timeline yang kubuat, selalu lewat. Timeline yang nggak saklek sih. Cuma ya selalu aja begitu. Kalo nih misal, aku nandain, hari Minggu kudu kelar. Terus ternyata hari Minggu lewat dan aku belum apa-apa, kalo kayak gitu nggak apa-apa. Aku selalu memaklumi diriku. Tapi,... tapi kalo timelineku ada di tanggal-tanggal tertentu, rasanya kayak mengkhianati diri sendiri. Mengkhianati kepercayaanku pada diri sendiri. Aku roboh. Aku gagal. Aku nggak bisa mikir jernih lagi. Aku pecundang. 

Aku pernah berjanji pada diri sendiri, pengen ngasih kado sempro di hari ulang tahunku, Maret. Iya sih, tanggal segitu aku sudah acc, tapi tetep jadinya aku sempro bulan depannya. Aku nggak mau muluk-muluk kudu cepet, setidaknya di tanggal-tanggal tertentu kelar. Bab 2-ku yang nggak kelar-kelar berbulan-bulan setelah sempro, aku nggak kesel-kesel banget. Tapi, pas aku udah bikin planing selesaiin struktural sebelum ulang tahun bapak dan kenyataannya gagal, aku sedih banget. Efeknya, bukan lagi nangis atau bersedih-sedihan. Tapi balik lagi ke procrastination. Aku merasa useless dan cuntel. Otakku tiba-tiba kosong melompong. Aku menyalahkan itu. Aku menyalahkan hal-hal yang bersentuhan dengan itu. Segala aspek kuperhitungkan. Hasilnya, aku tak berhasil. Hanya tambah pusing dan pusing. Aku menyalahkan mereka yang datang di waktu itu, sekaligus mereka yang tak datang di waktu itu. Aku kesal pada aku yang marah pada aku yang lain yang sangat ganjil, seperti novel yang sedang kuanalisis. 

Jujur saja, novel ini sangat susah. Bodohnya, aku sadar dari dulu. Tapi, tetap saja ngeyel. Sok banget. Apa lagi, aku nggak punya siapa-siapa untuk mengobrolkan kesulitan-kesulitanku. Ini masih struktural loh. Teori dasar banget di karya sastra. Tapi, aku sudah kewalahan. Pengen mutung. HAHAHAHA. Bagaimana bisa aku bertahan di teori-teori lain yang kupakai, yang bahkan belum pernah ada yang makai alias... bunuh diri kamu Alit. 

Aku mencoba bertahan, bersabar. Melakukan hal-hal secara normal, senormal mungkin. Makan, tidur, nonton, masak, mandi, ibadah, kegiatan ternormal yang kutahu. Aku mengurangi mengobrol dengan diriku sendiri. Kembali melakukan interaksi sosial meski sebatas online. Dan semua hanya membawaku pada pikiran-pikiran bodoh yang tak ada habisnya. Arus informasi yang muncul tak bisa kubendung. Semua terserap begitu saja. Otakku terlalu penuh dengan perkara-perkara yang tak ada hubungannya dengan diriku. Aku kesal dengan diriku yang begitu. Aku tidak mau jadi Budiman. Kecewa dengan pemerintah, kecewa dengan kampus, kecewa dengan situasi yang ada dan menjadi 'sakit'. Aku takut jadi demikian. Aku tidak begitu mampu mengendalikan diri. Aku sangat lemah melawan nafsu, seperti... 

“Sesungguhnya semua hal adalah informasi. Tapi sebagian dari kita tidak punya cara dan kesiapan untuk menerimanya.”

Pesan itu muncul ketika aku baru saja usai menyemprotkan parfum di bajuku. Kemudian muncul pesan lagi lewat gawaiku, “Aku pikir nanti ada banyak informasi yang akan kamu dapatkan. Seraplah sebaik mungkin. Dan yang paling penting adalah mengerjakannya. Percuma kita bisa menyerap dan mencerna informasi, tapi malas mengerjakannya. Sebagian dari kita memang teramat malas mengerjakan tugas-tugas kehidupan. Malas mengerjakan panggilan-panggilan nurani. Hanya rajin kalau yang memangil nafsu. Seakan hanya itu saja penggerak hidup ini.” (SLYKDR:45) 

Sepertinya kutipan itu yang bisa membuatku bertahan beberapa hari itu. Dan ya... sebatas sampai kutipan itu. Otakku tak lagi dipenuhi perkara yang terjadi di sana. Alih-alih aku merasa menjadi Budiman. Kasus-kasus yang tak ada habisnya. Aku ingin langsung ke chapter akhir di hidupku. Entah akan menyedihkan seperti Budiman, atau mungkin bahagia seperti dia (jika ada yang menganggap itu bahagia). Aku sangat suka cerita itu. Tak semuluk novel-novel tiran Tere Liye, dan setelah kucari-cari memang segala kasus yang ada di sana benar ada. Aku suka dengan anomali yang diberikan penulis. Memberi hal-hal ganjil yang aku yakin tidak ganjil bagi sebagian orang. Aku sangat suka. Seakan, aku bisa memahaminya hanya dalam sekali baca. Namun, nyatanya, setelah berkali-kali, aku makin bingung. Aku makin tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku menyesali keputusanku berganti-ganti teori, karena sepertinya teori awal yang kupakai sudah sangat tepat. Namun, aku tetap harus menjalani ini. Aku... aku tidak tahu kudu apa. Apalagi...

Apalagi ternyata... anomali yang kuyakini jadi nilai jual itu, berganti. Aku tidak tahu harus bagaimana. Sudah sedemikian bingungnya, aku malah berlaku seakan tak ada apa-apa. Ya memang tak ada apa-apa sih. Harusnya, bukan aku seorang yang mengalami kerumitan saat mengerjakan skripsi. Ya, memang sih, kesialanku sudah banyak. Tapi, ini bukan hal yang bisa diprediksi. Aku... mencoba menjalaninya. 

Namun, seperti yang kubilang, otakku penuh memikirkan hal lain. Ini sangat menyiksa. Aku kudu ini dan itu, tapi aku malah ini dan itu. Hal seperti ini terjadi di diriku sebelumnya. Saat sebelumnya berada di Jember, saat aku harusnya fokus mengerjakan skripsi, otakku malah tertuju pada berita-berita. Gila, itu benar-benar bodoh dan aku nggak bisa menahan itu. Sumpah, aku ingin tidak tertarik pada kejadian di luar lingkupku. Bukan karena apatis, aku hanya tidak mau terbelenggu di sana. Ini sangat menyiksa. 

Di kejadian yang sebelumnya itu, aku berhasil mengentaskan diri saat temanku mengabari jika dirinya akan lamaran di akhir pekan. Saat itu masih awal pekan, aku langsung menggenjot tenaga untuk menuntaskan target yang harusnya selesai berbulan-bulan sebelumnya. Bagus nggak bagus, aku sudah nggak peduli. Yang penting kelar. Dan ya... sudah. Setidaknya, aku bisa mengirim progres itu ke dosen, meski sampai saat ini belum ada kepastian. Namun, hal-hal semacam itu, anomali itu, bisa dan sering terjadi padaku. Tapi rasanya... kali ini berbeda. 

Aku sangat kesal saat kemarin lusa temanku yang lain, mengabari jika dia akan lamaran di akhir pekan ini. Besok. Dia mengabariku hari Kamis, saat aku tidur pagi sampai sore. Benar-benar minggu ini hanya kuhabiskan untuk tidur. Andai temanku mengabari lebih awal, aku bisa memutuskan dengan cepat. Menghentikan kebingunganku dan melenggang ke sana, atau menyelesaikan ini dengan ajaib entah bagaimana. Namun, itu hanya elakanku untuk kesedihan ini. Aku tak tergerak pergi. Aku kesal berada di sini. Tapi, aku tak mau bertambah beban jika kembali pulang. Seperti tak ada pilihan. Aku tidak punya target lagi. Sangat tidak mungkin untuk menembus timelineku selanjutnya; semhas di ulang tahun Ibuk. Ini sangat tidak mungkin. Aku tidak menyerah, namun aku sudah kalah. 

Sedih dan kesal. Aku seperti terlalu menghayati novel yang kujadikan objek, sampai-sampai mengilhaminya dalam hidup. Mengasingkan diri sebagai anomali. Melakukan obrolan batin yang aneh. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. 

Aku sudah mencoba banyak hal untuk mengalihkan pikiran. Namun, tetap saja. Aku kesal. Aku lelah. Aku capek. Aku ingin istirahat. Namun, ketidakngapa-ngapainku seminggu ini, seperti tidak ada gunanya. Aku tidak ngapa-ngapain, tapi aku sangat capek. Aku tidak membuka drafku, tapi rasanya otakku sudah lelah. Aku bingung. Aku linglung.