Minggu, 31 Mei 2020
Tok Tok Tok, Blog!
Selamat jam sebelas lewat sebelas malam. Seperti biasanya, aku nulis di waktu-waktu mepet. Ya gimana ya, susah nulis sebelum jam 10 malam. Kalo engga tengah malam ya subuh. Tapi, karena lagi engga aktif nulis selain di challenge ini, ya waktu-waktu terakhir ini jadi pilihan. Kenapa? Ah, masih nanya kenapa lagi. Hm, selain karena fokus bisa ngumpul cuma di tengah malam--kalo engga ngantuk, nulis di akhir hari tuh enak. Kayak merangkum dan mengambil suatu hal dari kisah sehari itu. Hmm ya lebih ke ranah pribadi sih kalo harus dijadikan cerita tapi karena blog ini dari awal emang membahas tentang aku dan kisahku ya aku pikir sah-sah saja. Hehe.
Karena itu juga, beberapa daftar topik yang kukumpulkan engga kunjung aku jadikan tulisan di sini. Emang sih, bakal lebih universal dan mungkin lebih menarik, tapi kayak engga sesuai sama konsep awal hehe. Untuk cerita hari ini saja, aku berpikir keras apa sih yang bisa aku tulis untuk challenge terakhir ini? Masa sekalipun aku engga nulis tulisan yang agak bermanfaat buat pembaca gitu? Tapi ya kalo mau gitu bakal gimana gitu rasanya. Apa ya, kayak bukan tempatnya di sini.
For your information aja, ikutan challenge cuma ingin ada yang baca tulisan random ini. Tapi, karena kebanyakan kisah-kisah di sini menyangkut orang-orang di sekitarku, bingung cari pembaca. Lalu, ada temen yang ngetag akun twiter aku buat ngajakin nulis. Assssaa, I did it hehe. Dua atau tiga kali aku lewat batas pengiriman link karena ketiduran. Enggak menang enggak apa-apa, yang penting nulis. Tapi, karena pengaturan jam di blog ini engga sesuai WIB, WITA atau WIT, yang tertulis di blog masih sesuai. Tanggal 1 sampai 31 ini, urut berjajar hehe. Yah, meski beberapa kali karena kehabisan waktu nulis jadi ngirim draft cerita. Yep, Just About Love series wkwk. Cerita singkat yang berdasarkan kenyataanku. Kisahku yang terfiksikan hehe.
Balik lagi tentang blog ini, waktu itu iseng bikin sub blog--apasih namanya aku kurang paham. Aku ada blog lain selain ini. Bahas tulisan-tulisan lama. Ada cerpen, makalah, esay, lirik lagu, translate lagu, yah pokoknya tulisan lama pas masih SMA. Karena ingin membingkai kisah pribadi ya aku bikin blog lagi deh. Hm, kadang khawatir tentang privasiku dan mungkin orang lain yang kebetulan aku ceritakan di sini. Tapi, karena sebisa mungkin aku mengambigukan setiap cerita tanpa menghilangkan substansi dan keinginanku untuk meluapkannya, kukira akan baik-baik saja. Toh, nama dan beberapa hal lain juga kusamarkan. Yah, jikalau ada yang menyadari apa, siapa, kenapa, palingan juga yang bersangkutan. Aku bakal manggil dia duluan sih, kalo merasa kisah itu kemungkinan bisa bikin dia tersinggung hehe.
Hmm, tentang apalagi ya? Banyak sih kalo mau bahas bagian lain dari segmen kisah-kisah di sini. Ya karena aku suka cerita juga karena aku perlu mengabadikan ingatanku. Hehe, ingatanku lemah. Tapi, apa pentingnya ya buat pembaca? Hm mungkin bisa ambil hikmah? Haha. Atau, buat inspirasi cerita fiksi wkwk. Inspirasi lo ya, inspirasi! Hm, setelah habisnya challenge ini mungkin aku masih bakal terus nulis. Yang biasanya sebulan sekali jadi sehari sekali ya bikin susah memfilter mana yang jelek mana yang jelek banget. Apalagi masalah edit mengedit. Karena nulis ini cuma lewat hape, jadi revisi-revisi gitu agak susah brou. Kayaknya banyak typo baik penulisan atau gramatikal kalimat. Yang penting posting, gitu. Ya sudah sih, setelah ini--kalo ada waktu, bakal aku cek-cek lagi tulisan yang udah-udah. Soalnya sadar banget kalo sekecil apapun typo itu ganggu banget.
Ini bentar lagi tanggal 31 lewat, jadi udah dulu ya. Semoga aku dan kisahku bisa menghibur pembaca--paling tidak bisa maki-maki gitu. Untuk temen-temen yang kenal aku secara langsung, thanks for your attention to read this shit. Dan buat yang nggak sengaja klik link atau temen-temen di dunia maya, terima kasih banyak. Semoga ada kesempatan buat sharing berbagai hal selain lewat tulisan. Hm, and last but not least--hmm apasi, makasih untuk Bang Wiro dan Endah yang ngetweet-ngetweet. Baru kali ini merasakan manfaat Twitter secara baik-baik saja. Ah, udah ya. Mepet ini waktu. Semoga terus ada waktu. Bye.
31 Maret 23.53 WIB
Sabtu, 30 Mei 2020
Temu
Ini kali ketiga aku menginjakkan kaki di pulau yang penuh manusia-manusia berkulit putih pucat dan rambut warna-warni. Aku sempat takjub ketika kali pertama dulu, sedang yang kedua mulai biasa dan sekarang biasa saja.
Bukan rencanaku kemari. Jika Sonya tidak mengirim tiket gratis minggu lalu, aku tak akan mau repot-repot mengeruk kantong hanya untuk sebuah liburan.
"Sudah berapa tahun kita nggak ketemu?" Sonya yang masih sumringah atas kedatanganku bertanya dengan antusias. Koper mungil yang tadi ada di tanganku kini ia rebut saat gerbang kosnya berhasil terbuka.
Meski Sonya bilang ibu kosnya muslim, nuansa Bali tak luntur di rumah kosnya. Hanya saja tak ada tempat sembahyang di halaman seperti rumah-rumah lain yang aku amati sepanjang perjalanan melewati gang-gang sempit itu.
"Hampir dua tahun, kan?" Sonya menjawab pertannyaannya sendiri. Aku mengangguk membenarkan. Mengikuti langkah lebarnya yang terlihat tak sabar. Saat pintu kamarnya terbuka, masuklah kami. Tapi, hal ganjil terjadi. Seorang pria sebaya kami terlihat keluar dari kamar sebelah dan pergi begitu saja dengan motor matik yang terparkir di depan tadi.
"Ini Pulau Bali, jangan samain sama Pulau Jawa, Beb!" Seru Sonya seraya meletakkan beberapa makanan ringan dari kulkas kecil di sudut kamar.
"Aku tahu, Sonya. Aku sudah tahu tentang hal itu. Tapi, kamu nggak pernah cerita kalau kos kamu juga begitu." Sungutku. Aku bukan seorang muslimah yang akan menentang segala hal ganjil semacam itu. Tapi, mengingat kejadian seorang teman dekatku di kampus yang kehilangan mahkota tertingginya, membuatku semakin cemas, takut hal buruk itu menimpa orang-orang terdekatku lagi. Sonya tahu itu.
"Tenang, nggak ada yang lebih aman dari kos ini. Ibu kosnya kan muslim, jadi pengamanannya ketat. Kamu tahu, kos khusus putri maupun putra tak terjamin lagi keamanannya." Jelas Sonya membuatku sedikit tenang.
Malam harinya kami memasak nasi goreng sederhana di kamar mungil Sonya dan paginya ia mengajakku berkeliling gang untuk sekedar menghirup udara segar. Semangkuk bubur ayam langganan Sonya yang telah terjamin kehalalannya kami lahap habis. Setelahnya, kampus Sonya menjadi tujuan kami. Aku menemaninya mengikuti kelas terakhirnya minggu ini.
"Makasi ya, tiketnya," kataku saat kami berada di salah satu tempat perbelanjaan yang tak begitu besar.
"Makasi sama takdir sana." Jawabnya sambil tertawa. Sonya mendapat give away tiket gratis dari agen travel langganannya, tapi ia tidak menggunakannya dan malah memberikan tiket mahal itu padaku. Katanya, liburnya terlalu singkat. Apalagi kegiatan yang padat membuatnya mengurungkan niat pulang kampung semester ini. Sedang jadwalku sendiri terlalu longgar. Dua bulan libur bukan hal yang mengasyikkan. Kebosanan pasti menyerang.
"Eh, dompetku mana ya?" seruku panik sambil mengobrak-abrik tas tangan kumalku. Sonya ikut panik dan melihat sekeliling. Tak ada tanda-tanda seorang penjahat disana.
"Ibu-ibu yang ngepel tadi-" kataku asal. Sebelumnya kami sempat ke kamar mandi dan ada seorang wanita separuh baya sedang mengepel lantai, yang sesekali menatapku. Ah, tidak, dengan intens dia menatapku, tapi saat ku balas pandangannya, ia menunduk dan buru-buru enyah.
Setengah jam kemudian, setelah kami melapor, ibu itu duduk di kursi sebelahku, di hadapan seorang satpam tanpa seragam.
"Saya tidak mengambilnya, Pak, sungguh!" keluh wanita itu berkali-kali.
"Kalo Ibu tidak mengambilnya, kenapa Ibu tidak bisa menjelaskan alasan Ibu menatap gadis ini?" seru satpam itu dengan nada tinggi. Jujur, aku kasihan melihat hal ini. Tapi, ibu itu sungguh aneh. Ketika keluar dari kamar mandi, ia terekam cctv tengah berlari ketakutan seakan berbuat salah, bahkan sempat jatuh saking paniknya.
"Bu, dompet itu sangat penting. Uangnya tidak seberapa, tapi kartu-kartu dan tiket pulang saya ada disana." Kataku pelan kepada si ibu yang tiba-tiba menunduk. "Saya bukan orang berada, Bu. Saya hidup dan berkuliah mengandalkan tabungan saya sendiri. Ya, memang orang tua saya sesekali mengirim uang, tapi ibu tahu, pekerjaan ibu menghasilkan lebih banyak rupiah daripada mereka." Kataku panjang lebar tak tahan. Gelagat ibu itu semakin aneh. Ia mendengarkan segala ceritaku dengan tertunduk. Tak lama kemudian datang seorang gadis sebayaku dengan wajah angkuh.
"Ini!" gertaknya sambil meletakkan sesuatu yang kami cari-cari dengan tangan kirinya. Aku tertegun melihat tangan kanannya yang sebatas siku. Sedang tangan kirinya tadi tak benar-benar sempurna. Untuk pertama kalinya aku melihat seorang difabel secara langsung. Tapi, kenapa terjadi di situasi yang salah begini?
"Kamu siapa?" Si satpam angkat bicara. Nadanya kaku. Ingin membentak tapi terdengar tak kuasa.
"Ayo, Bu." Gadis itu mengabaikan ujaran satpam dan berusaha menarik lengan baju ibunya dengan tangan kirinya. Ibunya berdiri tapi masih terus tertunduk.
"Tunggu!" cegah Sonya. "Kamu harus jelasin dulu apa yang terjadi!" tandasnya.
Gadis difabel itu berbalik dan dengan santainya berkata, "Aku berniat mencurinya. Tapi, tak jadi karena tak ada yang bisa diambil." Baik aku, Sonya, Pak satpam, bahkan ibunya tertegun.
"Apa kamu tidak salah bicara, Nak?" tanya Si satpam pelan.
Gadis itu menjawab dengan gelengan mantap tanpa mengubah wajah angkuhnya.
Pak satpam tak merasa perlu mengurus masalahku lebih dalam karena aku melarangnya. Aku kasihan sekaligus penasaran. Sepertinya gadis itu berbohong. Hal aneh sangat nyata terlihat dari gelagat sang ibu. Apa yang sebenarnya terjadi?
Bukan rencanaku kemari. Jika Sonya tidak mengirim tiket gratis minggu lalu, aku tak akan mau repot-repot mengeruk kantong hanya untuk sebuah liburan.
"Sudah berapa tahun kita nggak ketemu?" Sonya yang masih sumringah atas kedatanganku bertanya dengan antusias. Koper mungil yang tadi ada di tanganku kini ia rebut saat gerbang kosnya berhasil terbuka.
Meski Sonya bilang ibu kosnya muslim, nuansa Bali tak luntur di rumah kosnya. Hanya saja tak ada tempat sembahyang di halaman seperti rumah-rumah lain yang aku amati sepanjang perjalanan melewati gang-gang sempit itu.
"Hampir dua tahun, kan?" Sonya menjawab pertannyaannya sendiri. Aku mengangguk membenarkan. Mengikuti langkah lebarnya yang terlihat tak sabar. Saat pintu kamarnya terbuka, masuklah kami. Tapi, hal ganjil terjadi. Seorang pria sebaya kami terlihat keluar dari kamar sebelah dan pergi begitu saja dengan motor matik yang terparkir di depan tadi.
"Ini Pulau Bali, jangan samain sama Pulau Jawa, Beb!" Seru Sonya seraya meletakkan beberapa makanan ringan dari kulkas kecil di sudut kamar.
"Aku tahu, Sonya. Aku sudah tahu tentang hal itu. Tapi, kamu nggak pernah cerita kalau kos kamu juga begitu." Sungutku. Aku bukan seorang muslimah yang akan menentang segala hal ganjil semacam itu. Tapi, mengingat kejadian seorang teman dekatku di kampus yang kehilangan mahkota tertingginya, membuatku semakin cemas, takut hal buruk itu menimpa orang-orang terdekatku lagi. Sonya tahu itu.
"Tenang, nggak ada yang lebih aman dari kos ini. Ibu kosnya kan muslim, jadi pengamanannya ketat. Kamu tahu, kos khusus putri maupun putra tak terjamin lagi keamanannya." Jelas Sonya membuatku sedikit tenang.
Malam harinya kami memasak nasi goreng sederhana di kamar mungil Sonya dan paginya ia mengajakku berkeliling gang untuk sekedar menghirup udara segar. Semangkuk bubur ayam langganan Sonya yang telah terjamin kehalalannya kami lahap habis. Setelahnya, kampus Sonya menjadi tujuan kami. Aku menemaninya mengikuti kelas terakhirnya minggu ini.
"Makasi ya, tiketnya," kataku saat kami berada di salah satu tempat perbelanjaan yang tak begitu besar.
"Makasi sama takdir sana." Jawabnya sambil tertawa. Sonya mendapat give away tiket gratis dari agen travel langganannya, tapi ia tidak menggunakannya dan malah memberikan tiket mahal itu padaku. Katanya, liburnya terlalu singkat. Apalagi kegiatan yang padat membuatnya mengurungkan niat pulang kampung semester ini. Sedang jadwalku sendiri terlalu longgar. Dua bulan libur bukan hal yang mengasyikkan. Kebosanan pasti menyerang.
"Eh, dompetku mana ya?" seruku panik sambil mengobrak-abrik tas tangan kumalku. Sonya ikut panik dan melihat sekeliling. Tak ada tanda-tanda seorang penjahat disana.
"Ibu-ibu yang ngepel tadi-" kataku asal. Sebelumnya kami sempat ke kamar mandi dan ada seorang wanita separuh baya sedang mengepel lantai, yang sesekali menatapku. Ah, tidak, dengan intens dia menatapku, tapi saat ku balas pandangannya, ia menunduk dan buru-buru enyah.
Setengah jam kemudian, setelah kami melapor, ibu itu duduk di kursi sebelahku, di hadapan seorang satpam tanpa seragam.
"Saya tidak mengambilnya, Pak, sungguh!" keluh wanita itu berkali-kali.
"Kalo Ibu tidak mengambilnya, kenapa Ibu tidak bisa menjelaskan alasan Ibu menatap gadis ini?" seru satpam itu dengan nada tinggi. Jujur, aku kasihan melihat hal ini. Tapi, ibu itu sungguh aneh. Ketika keluar dari kamar mandi, ia terekam cctv tengah berlari ketakutan seakan berbuat salah, bahkan sempat jatuh saking paniknya.
"Bu, dompet itu sangat penting. Uangnya tidak seberapa, tapi kartu-kartu dan tiket pulang saya ada disana." Kataku pelan kepada si ibu yang tiba-tiba menunduk. "Saya bukan orang berada, Bu. Saya hidup dan berkuliah mengandalkan tabungan saya sendiri. Ya, memang orang tua saya sesekali mengirim uang, tapi ibu tahu, pekerjaan ibu menghasilkan lebih banyak rupiah daripada mereka." Kataku panjang lebar tak tahan. Gelagat ibu itu semakin aneh. Ia mendengarkan segala ceritaku dengan tertunduk. Tak lama kemudian datang seorang gadis sebayaku dengan wajah angkuh.
"Ini!" gertaknya sambil meletakkan sesuatu yang kami cari-cari dengan tangan kirinya. Aku tertegun melihat tangan kanannya yang sebatas siku. Sedang tangan kirinya tadi tak benar-benar sempurna. Untuk pertama kalinya aku melihat seorang difabel secara langsung. Tapi, kenapa terjadi di situasi yang salah begini?
"Kamu siapa?" Si satpam angkat bicara. Nadanya kaku. Ingin membentak tapi terdengar tak kuasa.
"Ayo, Bu." Gadis itu mengabaikan ujaran satpam dan berusaha menarik lengan baju ibunya dengan tangan kirinya. Ibunya berdiri tapi masih terus tertunduk.
"Tunggu!" cegah Sonya. "Kamu harus jelasin dulu apa yang terjadi!" tandasnya.
Gadis difabel itu berbalik dan dengan santainya berkata, "Aku berniat mencurinya. Tapi, tak jadi karena tak ada yang bisa diambil." Baik aku, Sonya, Pak satpam, bahkan ibunya tertegun.
"Apa kamu tidak salah bicara, Nak?" tanya Si satpam pelan.
Gadis itu menjawab dengan gelengan mantap tanpa mengubah wajah angkuhnya.
Pak satpam tak merasa perlu mengurus masalahku lebih dalam karena aku melarangnya. Aku kasihan sekaligus penasaran. Sepertinya gadis itu berbohong. Hal aneh sangat nyata terlihat dari gelagat sang ibu. Apa yang sebenarnya terjadi?
Jumat, 29 Mei 2020
Sabtu yang Manis
Halo selamat malam. Kembali aku menyapa dari tempat sepi yang penuh batas. Haha, tinggal dua hari lagi challenge ini berakhir. Banyak list topik kusiapkan. Tapi, sayang. Aku hanya menulis curhatan-curhatan yang terjadi tiap harinya.
Hari ini, aku juga ingin curhat haha. Tentang Sabtu manis. Sabtu yang sangat manis. Dan kalian tahu? Apa-apa yang berlebih tidak baik. Manis itu bisa jadi pahit. Pahit sekali.
Pagi tadi, aku diminta bulek nganter sepupu ke kantor pos. Karena lama tidak keluar, kami sekalian belanja. Ya, kebutuhan pribadi kami. Di jalan, sepupuku tadi cerita kalau semalam dia iseng baca cerpenku yang ada di laptopnya. Aku tidak apa-apa. Toh, selama ini aku berharap ada yang baca cerita-ceritaku secara sukarela, bahkan cerita novel garapanku yang berada di laptopnya.
Dia melanjutkan cerita. Katanya, dia hanya scroll-scroll tanpa membaca detail cerpen itu. Tapi lama kelamaan dia masuk ke cerita itu. Kebetulan di sebelahnya ada adiknya--yang tentu adik sepupuku, ikutan baca. Pada bagian tertentu di akhir cerita, dia menengok ke adiknya. Mereka saling pandang. Si adik sudah menangis sesenggukan. Dan ya, si kakak yang jarak umurnya setahun lebih muda dariku itu juga menangis. Ahaha, aku bahkan tidak pernah melihat dia menangis. Bagaimana bisa mereka menangis seperti itu? Hahaha.
Perjalanan berlanjut. Setelah naik turun dan berputar-putar swalayan, aku dan sepupu yang seumuran denganku itu tidak menemukan barang yang kami cari. Akhirnya, kami masuk pasar. Kebetulan, ibu juga nitip belanjaan dan obat. Ketika masuk jalan kecil menuju pasar, warung-warung masih berjajar ramai seperti biasanya. Wah, wah! Bahkan aku melihat warung bakso langganan ibu yang dulunya sepi malah ramai. Setelah melewati beberapa toko dan warung-warung bakso lain, aku menemui warung bakso langganan bapak yang dulunya ramai malah sepi. Ah, lama sekali aku tidak main-main ke daerah itu. Padahal, jaraknya tidak begitu jauh dari SMA-ku. Dulu, Mie Ayam jadi andalan kami,
RYFAR, ketika makan di luar. Mana sempat mengunjungi warung-warung bakso dekat pasar begitu.
RYFAR, ketika makan di luar. Mana sempat mengunjungi warung-warung bakso dekat pasar begitu.
Kenangan untuk warung bakso langganan ibu tidak banyak. Beberapa kali kami mengunjungi tempat itu berdua. Seperti ketika menonton karnaval, belanja di pasar atau ketika mencabut gigi di puskesmas yang juga dekat dengan tempat itu. Hanya beberapa kali. Lain itu, kami datang lengkap dengan bapak dan abang. Kalo warung langganan bapak satunya, lebih sering lagi kami kunjungi. Yang terhebat buatku ketika bapak mengajak para keponakan dan sepupu makan di sana saat ulang tahunku. Yep, if u read my blog early, may u know it, hehe. Juga, es buahnya yang menawan. Dulu sekali, aku mengenal rumput laut ala-ala es buah ya di tempat itu. Bapak sendiri seringan pesen balungan di tempat itu. Minumnya, temulawak. Ahaha. Kalo abang, tempat makan favoritnya ya nasi goreng seberang jalan di antara dua warung bakso tadi. Hmm, ingatan buruk ini tidak detail memunculkan memori masa kecilku. Yang jelas, waktu itu aku bahagia.
Setelah bebelanja di pasar, kami memutuskan mampir di warung bakso langganan bapak. Padahal kami sama-sama makan sebelum berangkat. Sampai di sana, kami di sambut bapak-bapak yang wajahnya sangat tidak asing. Dia sedikit bercanda. Ah, andai bapakku bisa ikut bercanda. Sudah lama sekali kami tidak ke sini. Mungkin, terakhir kali ya saat SD dulu itu. Dan oh, ketika sesosok ibu-ibu sepuh datang mengantarkan minuman, aku ingat betul wajahnya. Dia ibu dari bapak-bapak tadi. Ah, senangnya bertemu orang-orang lama. Karena makan di tempat, aku harus menahan aroma hand sanitizer yang menyengat selama makan. Hehe, aku pake beulang-ulang.
Setelahnya, kami pergi ke konter hape. Membeli beberapa keperluan lain. Ironisnya, sampai di sana aku teringat bapak lagi. Dua mbak-mbak berwajah judes menyambut dengan ramah. Aku tahu salah satu yang melayaniku itu semacam pemilik. Ah, aku nggak tahu pemilik konter yang berangsur-angsur besar itu siapa, yang jelas kalau ada sesuatu, karyawan lain selalu tanya ke mbak itu. Ah, dulu, aku sering sekali ke sini. Dari semenjak SMA sampai kuliah. Karena konternya dekat sekolahku, jadi bapak selalu nitip belikan saldo. Kadang aku menolak ketika ada latihan marching. Biasanya sampai malam, hehe. Selanjutnya, saat aku kerja. Aku dan bapak sama-sama berjualan pulsa. Itu berlanjut sampai aku kuliah. Ah, aku tidak sebegitu detail menghitung untung rugi. Saldo-saldo pulsa masuk sebagai uang jajanku di rantau. Juga, sebagai bahan obrolan dengan bapak untuk mengalihkan teks atau obrolan template.
"Pak, pulsaku habis. Pak saldoku habis. Pak, kalo nanti sampean SMS aku nggak bales, berarti masa aktifku habis. Pak, Pak, Pak Pak..."
Buruk sekali. Aku hanya mengabari ketika butuh uang. Sedang bapak selalu menghubungiku untuk menanyakan kabar. Sedang apa, di mana, sudah makan belum, jaga diri dan meminta untuk belajar sungguh-sungguh. Ah, aku hampir lupa hal itu.
Biasanya aku mendatangi konter itu bersama bapak. Ah, jalan-jalan ke sana adalah sebuah kesenangan. Bersama bapak, rasa senang dan percaya diriku naik berkali-kali lipat. Aku sering merecoki bapak. Bahkan, ketika sudah banyak umur begini, aku akan ngintil kemana pun bapak pergi. Hehe.
Ah, rasanya seluruh tempat, mengingatkanku pada bapak. Meski tidak sesakit dulu, rasanya ada setitik lubang yang bisa menarikku dari dunia ini ke mimpi buruk yang nyata. Dalam setiap kerinduanku, ada sebersit keinginan untuk segera bertemu dengannya. Ah, bapak. Tega sekali bapak meninggalkanku seperti itu. Betapa aku sangat menyayangimu.
Oh, Sabtu manis. Saat ini, malam Sabtu legi penanggalan Jawa. Hari di mana bapak pergi. Saat di mana dengan bodohnya aku diberi kabar kalau bapak meninggal. Ah, Tuhan. Bukan maksud abang mengabariku langsung di tengah-tengah latihan teater yang memuakkan itu. Hanya, kepanikannya membawa pada kekeliruan. Dikiria nomerku nomer istrinya. Bagaimana aku tidak terkejut? Aku dan kakak bahkan baru berolok di chat sebelumnya karena aku memamerkan potongan baru rambut pendekku. Ah, bapak belum tahu itu. Mungkin dia akan mengomel. Ah, iya tidak bisa.
Kenapa-kenapa bisa begitu? Ibu, bagaimana dengan ibu? Ah, aku baru saja mengeluh tentang saldo pulsa yang habis padanya. Dengan bapak, aku lupa obrolan terakhir kami yang mana. Tentang keluhan serupa masalah saldo? Ah, tidak. Sepertinya hanya panggilan di waktu subuh yang menanyakan bagaimana kabarku dan bertanya kenapa aku tidak pernah bertanya kabar beliau. Oh Tuhan, benar. Aku tidak pernah punya waktu untuk bapak bahkan sekedar sapaan online. Pantas saja, bapak tidak mengijinkan ibu dan kakak untuk menghubungiku saat selang-selang oksigen terpasang di tubuhnya. Duh, Gusti katanya aku sibuk dan beliau tidak ingin belajarku terganggu...ah...
Sabtu legi, setelah maghrib. Saat duniaku runtuh. Hatiku remuk. Hantaman terbesar sepanjang masa hidupku. Bapak. Asa di setiap laku dan tingkahku. Harapan semu yang kubuat harusnya tak hanya sekedar halu. Tempat sambat yang berakhir dengan debat. Bapak, aku tahu bapak tidak pernah membeda-bedakan kami anak-anaknya. Tapi, aku hanya merasa aku berbeda. Bapak lebih sayang padaku.
Kamis, 28 Mei 2020
Just About Love
Hoho. Sangat terlambat ya.
Let's talk about Just About Love real version. Yap, jika mengikuti beberapa tulisanku sebelumnya mengenai Just About Love 1 sampai 5 serta Catatan Akhir Tahun, itu nggak lebih dari kisahku dan teman-teman yang kufiksikan. Awalnya iseng cuma buat salah satu temen yang nggak demen baca cerita fiksi. Bahkan, saat dia ngambil jurusan Sastra Indonesia yang normalnya suka sastra, dia sama sekali belum pernah nuntasin satu novel pun. Sebagai teman yang baik, ehem, mungkin bikin cerita fiksi dari kisah kami bakal bikin dia tertarik. Eh, nggak tahunya, bahkan sampe aku download-in aplikasi baca novel online dan kirim-kirim link tulisan itu nggak begitu pengaruh buat dia.
Setelah POV (point of view) pertama temen yang nggak suka baca fiksi itu aku lanjut ke temen-temen lain. Di kisah itu ada Ame, Aryn, Hana, Vera dan Mala. Aku juga ada di salah satu tokoh itu hehe. Bisa tebak aku yang mana? Hm, Mala. Aku memutuskan menggunakan nama seseorang yang mungkin aku benci untuk diriku sendiri, hehe. Iya, Mala-petaka wkwk. Sayang, cerita itu stuck. Banyak alasan yang bikin nggak lanjut. Padahal, aku ingin banget bercerita tentang kelima teman masa SMA-ku itu. Kalo kalian mengikuti blog ini sebelum challenge, mungkin ingat tentang RYFAR. Ya, merekalah RYFAR. Salah satu hal yang membuat aku bersyukur pernah sekolah di sana.
Sudah lama kami saling mengenal. Awal masuk SMA, tahun 2013. Aku, kebetulan duduk di sebelah Aryn--wkwk aku gunain nama fiksinya juga. Aryn ini lucu-lucu ngeselin gitu--kayaknya hampir semua gitu deh. Obrolan pertama kami ya tentang asal. Ketika dia mengatakan alamat rumahnya, aku bilang aku punya banyak saudara di sekitar situ. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Kami semakin akrab saja. Lalu, suatu hari aku curiga jika rumah yang dimaksud saudaraku adalah rumah Aryn karena clue-clue-nya sama. Dan, ternyata benar. Saat hari raya galungan, kami bertemu di rumahnya. Dia saudara yang kumaksud. Ah, ingatanku sangat buruk. Sedang Aryn, dia lola. Jika pun dia ingat tentang aku, pasti nggak akan mudeng tahu di mana. Wkwk.
Aryn Hindu. Teman-teman dekatku di SMP dulu juga Hindu. Tiap naik kelas, ada saja teman Hindu baru, jadi mudah saja aku bergaul dengan Aryn. Btw, ayah Aryn Islam. Seorang Islam yang rajin. Sedang ibunya Aryn juga rajin ke Pura. Aku selalu takjub ketika mendengar Aryn bercerita tentang keluarganya. Ah, bahasan agama kadang jadi isu sensitif. Tapi, tinggal dari mana dan bagaimana kita memandang kan? Aku yang dari kecil tidak mendapat ilmu agama langsung dari orang tua melainkan dari TPQ, mudah menerima dan--mungkin--bertoleransi. Aku juga punya saudara jauh lainnya yang malah punya tiga agama. Ini bukan karena meme yang baru-baru ini naik ya, itu beneran dan sudah lama sekali.
Lanjut, ah cerita tentang Aryn masih banyak padahal.
Ame. Dia teman yang jadi tujuan pembacaku sebelumnya. Dia yang satu jurusan denganku, Sastra Indonesia. Teman-teman RL pasti tahu siapa wkwk. Ame, tentu jadi satu-satunya teman yang masih dekat selama kuliah sampai sekarang--jika tidak sedang ada masalah atau pandemi, hehe. Aku dan Ame masuk ke kampus setelah melewati satu tahun penantian. Jika aku bekerja, maka Ame lain. Dia ke Pare untuk belajar bahasa Inggris.
Cerita tentang Ame, sama banyaknya dengan yang lain. Tapi, karena di kampus kami juga bersama--sebelumnya, maka akan rancu jika kutulis segala emosiku juga. Hehe. Jika Aryn lola alias loading lama, maka Ame lemot. Hm, apa ya istilahnya? Oh iya, kurang peka. Jadi, Ame kalo engga ditujukin berkali-kali suatau hal, dia nggak mudeng. Ya karena nggak peduli mungkin. Kalo Aryn kan gampang peka, cuma kayak pura-pura nggak tahu dan endingnya nggak tahu beneran. Bisa bayangin ketika aku dihadapkan sama mereka berdua. Sering nggak nyambung anjir.
Kayak kemarin. hari kedua lebaran, pagi-pagi Ame sudah ke rumah. Yaya, physical distancing. Tapi serius aku nggak open house. Cuma mereka aja yang datang lewat bawah tanah wkwk. Kami ngobrol lama di rumahku. Tapi, lanjutan obrolan di rumah Ame lebih lama. Yep, di sana aku bisa curhat tanpa takut kedengeran ibu hehe. Dan oh, aku sangat berharap teman-temanku lainnya juga bisa bergabung. Menyambungkan obrolan mereka susah sekali.
Aku berharap ada Vera saat itu. Teman yang mirip Google itu sangat pendiam. Tapi, sekalinya bicara pasti didengar. Kebalikanku deh pokoknya. Selain karena dia paling tua di antara kami, sikap Vera juga sangat dewasa. Ah, aku suka mengobrol dengan dia--padalah jarang bicara wkwk. Ketika masa setahun menunggu itu, Vera satu-satunya teman yang bisa kudatangi. Tentu aku lebih banyak bicara. Apapun topik yang kubahas dia bisa mengimbangi--dengan diam. Mau pake bahasa Using, Inggris, Korea bahkan bahasa Isyarat dia paham. Ah, Vera.
Vera tidak melanjutkan kuliah. Setelah gagal test yang kedua kalinya, dia kembali bekerja. Aku lebih dahulu bekerja. Tapi, Vera lebih lama--bahkan, sampai sekarang. Respect dengan ketahanan dia. Aku tahu bagaimana rasanya bekerja. Ada rasa jenuh dan kesal. Dan untuk tempat kerja Vera, ketika aku mendengar tentang tempat itu, itu tidak lebih baik dari pabrik. Entahlah, mungkin sekarang aturan yang berlaku di tempat kerjanya berbeda. Sudah lama kami tidak mengobrol. Terakhir saat di rumah Ame itu, aku tidak tahan dengan mereka berdua dan menelpon Vera. Ya, dia menghilang sedari pagi jadi kami tidak bisa menghubungi. Katanya, dia nggak boleh keluar sama ayahnya. Ya, sudah tidak apa.
Selain Vera, ada Hana yang bisa dengan sabar menghadapi kami. Ah, bahkan Hana bisa menyambungkan kami dengan anak-anak kelas kami lainnya. Dari semenjak teman-teman lain menyebut kami Vera CS, Hana memulai hubungan dengan teman-teman lainnya. Dengan otak cemerlang dan kepolosannya, dia bisa tertawa bersama--semoga--dengan teman-teman lain. Aku dan Hana sering jadi bahan bercanda teman-teman bangsat itu. Tapi, Hana lebih sering karena dia selalu merespon balik ejekan mereka. Kalo RYFAR lagi ngumpul dan engga ada Hana, rasanya juga nggak seru. Nggak ada bahan buli. Hehe. Meski aku gampang kena buli aku juga gampang ngebuli hehehe. Btw, ejekan atau bulian yang dimaksud ini yang versi guyon ya.
Sepandai-pandainya Hana, test SNMPTN cuma meloloskan mereka yang beruntung dan tepat sasaran. Dari kami berlima, hanya Aryn yang lolos. Ia terbang ke Malang. Aku yang nekad mempertaruhkan keberuntungan dengan bersikap bodoh dan bunuh diri, ya mati. Lalu, setelah test SBMPTN, hanya Hana yang keterima. Sayang, Hana tidak mengambilnya. Aku lupa, diterima di mana. Entah pendidikan matematika atau matematika murni, yang jelas dia malah memilih kuliah jurusan agama di kampus swasta dekat rumah dengan jaminan dari saudaranya jika lulus dari sana bisa langsung mengajar--jauh juga sih sebenernya.
Ame, aku dan Vera masih test SBMPTN lagi di tahun selanjutnya. Vera gagal dan mundur. Ame, juga gagal. Tapi, dia ikut test mandiri lagi. Dan wouw, aku terkejut ketika tahu tiba-tiba ada nama dia di daftar teman seangkatan di jurusanku. Ame banting setir dari jurusan kesehatan ke bahasa. Awalnya kupikir karena ikut-ikut aku saja, tapi dia mengelak dengan berbagai alasan. Ya, sudah iya.
Aku meminta Ame untuk segera membikin akun WhatsApp karena segala info maba dari sana. Obrolan di grup Line kami beralih ke WhatsApp. Teman-temanku itu, tidak ada yang kecanduan sosmed. Hanya aku dan Hana yang aktif di Facebook dan Instagram. Ame, baru membuat Facebook dan Instagram ketika kami minta. Vera, dia punya. Tentu, tanpa intervensi kami. Ouw, Vera kebalikan dari Ame yang mudah terpengaruh. Tapi, Vera jarang aktif. Sejarang dia berbicara wkwk. Dan Aryn, dia tidak punya sosmed. Ah, akun Facebook yang dulu sering kami tag adalah akunnya ketika SMP yang sudah mati. Instagram? Apalagi! Seingatku selama menyimpan kontak WhatsApp-nya, dia hanya sekali bikin story emot pohon. Ah Aryn.
Ketika mengenal istilah introvert dan ekstrovert lebih dalam, aku berpikir jika definisi introvert ada pada mereka. Kecuali Hana yang lebih ambivert. Ya, keaktifan Hana bersama teman-teman lainnya pun ada di saat-saat tertentu. Sedangkan aku? Hm, mungkin aku dulu cenderung introvert--atau kuper. Pada orang-orang baru atau orang-orang tertentu, aku memilih diam alih-alih berbicara. Pun, hal sebaliknya, juga kulakukan pada orang-orang tertentu. Ya, aku mengaku introvert dulu. Terlepas itu karena kurang pergaulan atau apa, yang jelas sekarang tidak. Ah, bukan maksudku aku sekarang gaul, bukan. Tidak! Hanya saja, membuka diri pada orang-orang baru itu perlu. Proses itu sulit, tapi terkurung pada masa lalu atau hal baru sungguh menyakitkan. Sampai detik ini, aku juga masih nyaman mengobrol dengan orang yang itu-itu saja. Tapi, tidak menutup kemungkinan untuk berbaur dengan yang lain. Jika dulu aku menghindar tiap teman-teman lainnya mengobrol hal tidak penting, sekarang juga iya wkwk. Ah, apasih ngelantur.
Jadi, ya kalau di Cerita Akhir Tahun itu aku terkesan menyedihkan, yaiya. Saat itu Aryn kuliah di Malang. Ame, di Kediri. Hana, sibuk sekali kuliah, mengajar dan berorganisasi. Sedang Vera terikat dengan tempat kerjanya. Ah jadi rindu berkumpul bersama. Beli kentaki di kantin tengah sambil gibah, makan bakso di Pak Lan pake kuah banyak, jajan es krim dan pedes-pedes di kantin depan sekolah, ah!
Sekarang, meski kami punya waktu dan tidak ada pandemi begini, rasanya kumpul berlima adalah mustahil. Hana, sudah di surga. September 2018, Hana meninggalkan kami. Dia kecelakaan ketika buru-buru berangkat ke kampus. Ah, aku ingat bagaimana bar-bar Hana dulu menyetir. Karena mengejar waktu sebuah acara pelantikan, dia kehilangan nyawa. Astaga, organisasi kuning Hana. Ah, semoga doa-doa dari sana juga menemani kepergian Hana. Temanmu ini, tidak begitu yakin doa-doanya akan terkabul hehe.
Ah, kalo ngomongin mereka nggak ada habisnya. Sudah dulu. Bye~
Let's talk about Just About Love real version. Yap, jika mengikuti beberapa tulisanku sebelumnya mengenai Just About Love 1 sampai 5 serta Catatan Akhir Tahun, itu nggak lebih dari kisahku dan teman-teman yang kufiksikan. Awalnya iseng cuma buat salah satu temen yang nggak demen baca cerita fiksi. Bahkan, saat dia ngambil jurusan Sastra Indonesia yang normalnya suka sastra, dia sama sekali belum pernah nuntasin satu novel pun. Sebagai teman yang baik, ehem, mungkin bikin cerita fiksi dari kisah kami bakal bikin dia tertarik. Eh, nggak tahunya, bahkan sampe aku download-in aplikasi baca novel online dan kirim-kirim link tulisan itu nggak begitu pengaruh buat dia.
Setelah POV (point of view) pertama temen yang nggak suka baca fiksi itu aku lanjut ke temen-temen lain. Di kisah itu ada Ame, Aryn, Hana, Vera dan Mala. Aku juga ada di salah satu tokoh itu hehe. Bisa tebak aku yang mana? Hm, Mala. Aku memutuskan menggunakan nama seseorang yang mungkin aku benci untuk diriku sendiri, hehe. Iya, Mala-petaka wkwk. Sayang, cerita itu stuck. Banyak alasan yang bikin nggak lanjut. Padahal, aku ingin banget bercerita tentang kelima teman masa SMA-ku itu. Kalo kalian mengikuti blog ini sebelum challenge, mungkin ingat tentang RYFAR. Ya, merekalah RYFAR. Salah satu hal yang membuat aku bersyukur pernah sekolah di sana.
Sudah lama kami saling mengenal. Awal masuk SMA, tahun 2013. Aku, kebetulan duduk di sebelah Aryn--wkwk aku gunain nama fiksinya juga. Aryn ini lucu-lucu ngeselin gitu--kayaknya hampir semua gitu deh. Obrolan pertama kami ya tentang asal. Ketika dia mengatakan alamat rumahnya, aku bilang aku punya banyak saudara di sekitar situ. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Kami semakin akrab saja. Lalu, suatu hari aku curiga jika rumah yang dimaksud saudaraku adalah rumah Aryn karena clue-clue-nya sama. Dan, ternyata benar. Saat hari raya galungan, kami bertemu di rumahnya. Dia saudara yang kumaksud. Ah, ingatanku sangat buruk. Sedang Aryn, dia lola. Jika pun dia ingat tentang aku, pasti nggak akan mudeng tahu di mana. Wkwk.
Aryn Hindu. Teman-teman dekatku di SMP dulu juga Hindu. Tiap naik kelas, ada saja teman Hindu baru, jadi mudah saja aku bergaul dengan Aryn. Btw, ayah Aryn Islam. Seorang Islam yang rajin. Sedang ibunya Aryn juga rajin ke Pura. Aku selalu takjub ketika mendengar Aryn bercerita tentang keluarganya. Ah, bahasan agama kadang jadi isu sensitif. Tapi, tinggal dari mana dan bagaimana kita memandang kan? Aku yang dari kecil tidak mendapat ilmu agama langsung dari orang tua melainkan dari TPQ, mudah menerima dan--mungkin--bertoleransi. Aku juga punya saudara jauh lainnya yang malah punya tiga agama. Ini bukan karena meme yang baru-baru ini naik ya, itu beneran dan sudah lama sekali.
Lanjut, ah cerita tentang Aryn masih banyak padahal.
Ame. Dia teman yang jadi tujuan pembacaku sebelumnya. Dia yang satu jurusan denganku, Sastra Indonesia. Teman-teman RL pasti tahu siapa wkwk. Ame, tentu jadi satu-satunya teman yang masih dekat selama kuliah sampai sekarang--jika tidak sedang ada masalah atau pandemi, hehe. Aku dan Ame masuk ke kampus setelah melewati satu tahun penantian. Jika aku bekerja, maka Ame lain. Dia ke Pare untuk belajar bahasa Inggris.
Cerita tentang Ame, sama banyaknya dengan yang lain. Tapi, karena di kampus kami juga bersama--sebelumnya, maka akan rancu jika kutulis segala emosiku juga. Hehe. Jika Aryn lola alias loading lama, maka Ame lemot. Hm, apa ya istilahnya? Oh iya, kurang peka. Jadi, Ame kalo engga ditujukin berkali-kali suatau hal, dia nggak mudeng. Ya karena nggak peduli mungkin. Kalo Aryn kan gampang peka, cuma kayak pura-pura nggak tahu dan endingnya nggak tahu beneran. Bisa bayangin ketika aku dihadapkan sama mereka berdua. Sering nggak nyambung anjir.
Kayak kemarin. hari kedua lebaran, pagi-pagi Ame sudah ke rumah. Yaya, physical distancing. Tapi serius aku nggak open house. Cuma mereka aja yang datang lewat bawah tanah wkwk. Kami ngobrol lama di rumahku. Tapi, lanjutan obrolan di rumah Ame lebih lama. Yep, di sana aku bisa curhat tanpa takut kedengeran ibu hehe. Dan oh, aku sangat berharap teman-temanku lainnya juga bisa bergabung. Menyambungkan obrolan mereka susah sekali.
Aku berharap ada Vera saat itu. Teman yang mirip Google itu sangat pendiam. Tapi, sekalinya bicara pasti didengar. Kebalikanku deh pokoknya. Selain karena dia paling tua di antara kami, sikap Vera juga sangat dewasa. Ah, aku suka mengobrol dengan dia--padalah jarang bicara wkwk. Ketika masa setahun menunggu itu, Vera satu-satunya teman yang bisa kudatangi. Tentu aku lebih banyak bicara. Apapun topik yang kubahas dia bisa mengimbangi--dengan diam. Mau pake bahasa Using, Inggris, Korea bahkan bahasa Isyarat dia paham. Ah, Vera.
Vera tidak melanjutkan kuliah. Setelah gagal test yang kedua kalinya, dia kembali bekerja. Aku lebih dahulu bekerja. Tapi, Vera lebih lama--bahkan, sampai sekarang. Respect dengan ketahanan dia. Aku tahu bagaimana rasanya bekerja. Ada rasa jenuh dan kesal. Dan untuk tempat kerja Vera, ketika aku mendengar tentang tempat itu, itu tidak lebih baik dari pabrik. Entahlah, mungkin sekarang aturan yang berlaku di tempat kerjanya berbeda. Sudah lama kami tidak mengobrol. Terakhir saat di rumah Ame itu, aku tidak tahan dengan mereka berdua dan menelpon Vera. Ya, dia menghilang sedari pagi jadi kami tidak bisa menghubungi. Katanya, dia nggak boleh keluar sama ayahnya. Ya, sudah tidak apa.
Selain Vera, ada Hana yang bisa dengan sabar menghadapi kami. Ah, bahkan Hana bisa menyambungkan kami dengan anak-anak kelas kami lainnya. Dari semenjak teman-teman lain menyebut kami Vera CS, Hana memulai hubungan dengan teman-teman lainnya. Dengan otak cemerlang dan kepolosannya, dia bisa tertawa bersama--semoga--dengan teman-teman lain. Aku dan Hana sering jadi bahan bercanda teman-teman bangsat itu. Tapi, Hana lebih sering karena dia selalu merespon balik ejekan mereka. Kalo RYFAR lagi ngumpul dan engga ada Hana, rasanya juga nggak seru. Nggak ada bahan buli. Hehe. Meski aku gampang kena buli aku juga gampang ngebuli hehehe. Btw, ejekan atau bulian yang dimaksud ini yang versi guyon ya.
Sepandai-pandainya Hana, test SNMPTN cuma meloloskan mereka yang beruntung dan tepat sasaran. Dari kami berlima, hanya Aryn yang lolos. Ia terbang ke Malang. Aku yang nekad mempertaruhkan keberuntungan dengan bersikap bodoh dan bunuh diri, ya mati. Lalu, setelah test SBMPTN, hanya Hana yang keterima. Sayang, Hana tidak mengambilnya. Aku lupa, diterima di mana. Entah pendidikan matematika atau matematika murni, yang jelas dia malah memilih kuliah jurusan agama di kampus swasta dekat rumah dengan jaminan dari saudaranya jika lulus dari sana bisa langsung mengajar--jauh juga sih sebenernya.
Ame, aku dan Vera masih test SBMPTN lagi di tahun selanjutnya. Vera gagal dan mundur. Ame, juga gagal. Tapi, dia ikut test mandiri lagi. Dan wouw, aku terkejut ketika tahu tiba-tiba ada nama dia di daftar teman seangkatan di jurusanku. Ame banting setir dari jurusan kesehatan ke bahasa. Awalnya kupikir karena ikut-ikut aku saja, tapi dia mengelak dengan berbagai alasan. Ya, sudah iya.
Aku meminta Ame untuk segera membikin akun WhatsApp karena segala info maba dari sana. Obrolan di grup Line kami beralih ke WhatsApp. Teman-temanku itu, tidak ada yang kecanduan sosmed. Hanya aku dan Hana yang aktif di Facebook dan Instagram. Ame, baru membuat Facebook dan Instagram ketika kami minta. Vera, dia punya. Tentu, tanpa intervensi kami. Ouw, Vera kebalikan dari Ame yang mudah terpengaruh. Tapi, Vera jarang aktif. Sejarang dia berbicara wkwk. Dan Aryn, dia tidak punya sosmed. Ah, akun Facebook yang dulu sering kami tag adalah akunnya ketika SMP yang sudah mati. Instagram? Apalagi! Seingatku selama menyimpan kontak WhatsApp-nya, dia hanya sekali bikin story emot pohon. Ah Aryn.
Ketika mengenal istilah introvert dan ekstrovert lebih dalam, aku berpikir jika definisi introvert ada pada mereka. Kecuali Hana yang lebih ambivert. Ya, keaktifan Hana bersama teman-teman lainnya pun ada di saat-saat tertentu. Sedangkan aku? Hm, mungkin aku dulu cenderung introvert--atau kuper. Pada orang-orang baru atau orang-orang tertentu, aku memilih diam alih-alih berbicara. Pun, hal sebaliknya, juga kulakukan pada orang-orang tertentu. Ya, aku mengaku introvert dulu. Terlepas itu karena kurang pergaulan atau apa, yang jelas sekarang tidak. Ah, bukan maksudku aku sekarang gaul, bukan. Tidak! Hanya saja, membuka diri pada orang-orang baru itu perlu. Proses itu sulit, tapi terkurung pada masa lalu atau hal baru sungguh menyakitkan. Sampai detik ini, aku juga masih nyaman mengobrol dengan orang yang itu-itu saja. Tapi, tidak menutup kemungkinan untuk berbaur dengan yang lain. Jika dulu aku menghindar tiap teman-teman lainnya mengobrol hal tidak penting, sekarang juga iya wkwk. Ah, apasih ngelantur.
Jadi, ya kalau di Cerita Akhir Tahun itu aku terkesan menyedihkan, yaiya. Saat itu Aryn kuliah di Malang. Ame, di Kediri. Hana, sibuk sekali kuliah, mengajar dan berorganisasi. Sedang Vera terikat dengan tempat kerjanya. Ah jadi rindu berkumpul bersama. Beli kentaki di kantin tengah sambil gibah, makan bakso di Pak Lan pake kuah banyak, jajan es krim dan pedes-pedes di kantin depan sekolah, ah!
Sekarang, meski kami punya waktu dan tidak ada pandemi begini, rasanya kumpul berlima adalah mustahil. Hana, sudah di surga. September 2018, Hana meninggalkan kami. Dia kecelakaan ketika buru-buru berangkat ke kampus. Ah, aku ingat bagaimana bar-bar Hana dulu menyetir. Karena mengejar waktu sebuah acara pelantikan, dia kehilangan nyawa. Astaga, organisasi kuning Hana. Ah, semoga doa-doa dari sana juga menemani kepergian Hana. Temanmu ini, tidak begitu yakin doa-doanya akan terkabul hehe.
Ah, kalo ngomongin mereka nggak ada habisnya. Sudah dulu. Bye~
Rabu, 27 Mei 2020
Blok!!!
Halo selamat malam.
Ah, kenyang habis bikin mie instan tengah malam begini. Malam ini aku mau cerita tentang insiden pengeblokan baru-baru ini.
Hm, pernah kena ngeblokir atau diblokir? Awalnya aku pikir aku nggak pernah diblok atau ngeblok. Eh, ternyata pernah.
Kalau yang baru-baru ini terjadi masih ambigu. Galau berat pas foto profil RF--sebut saja begitu, menghilang. Ya, emang dia jarang aktif di sosmed. Bikin story juga jarang banget. Lebih sering di Instagram daripada WhatsApp. Dia jarang atau bahkan nggak pernah nonton story jadi nggak tahu dia masih hidup atau enggak. Jadi, pas foto profil WhatsAppnya hilang, pikiran udah ke mana-mana. Last seen dan online-nya nggak kebaca. Apa dia cuma ngehapus kontak? Ah, mau chat buat mastiin ada berapa centang yang muncul nggak berani. Sudah cukup deh kayaknya keisengan untuk chat dia duluan. Ah, saking jarang bertemu sih.
Akhirnya dengan pikiran penuh kecemasan coba minta bantuan orang lain buat nge-save nomer RF. Dan bam! Ada. Ada fotonya. Astaga! Wow sekali. Dan setelah pikiran jadi kelam, aktivitas keganggu--iya, rebahan doang. Galau seharian dan ga balas chat atau buka-buka sosmed. Sambat ke orang terpercaya dan juga sosial media. Ah, kasihan.
RF bangsad! Ya, meski mungkin nggak sebangsad temen-temen atau orang-orang kenalanku lainnya. Jika tanya RF siapa? RF yang mana? Atau tentang tentang lanjutan kisah A, B dan R, tenang RF bukan salah satu dari mereka. Tentu saja, RF bukan orang yang kukenal secara langsung. Dia seseorang yang disukai oleh seorang gadis kenalanku. Sebenernya RF, mengingatkanku dengan si A dan si B yang ingin aku ceritakan tempo hari. Beruntung gadis itu tertarik dengan orang yang benar-benar disukainya. Haha, logika dan perasaannya berjalan beriringan. Tidak seperti aku. Kata teman-temanku, aku terlalu pake logika. Makanya nggak pernah nemu orang yang tepat buat jatuh cinta. Ah, geli bangsad.
Iya, mixing si A dan si B cocok menjadi karakter RF. Yang satu bisa bikin kepikiran, yang satu bikin berdebar. Ah, andai ada sosok semacam RF di sekitarku.
Ah, aku lupa. Mungkin aku saja yang terlalu kuper dan pemalas. Bahkan untuk menengok lebih luas. Adakah orang-orang baik yang mungkin saja bisa jadi semacam RF? Hahaha, kalo sudah di titik itu, baru logikaku terturup perasaan. Ya, dia minta jatah. Dan aku diblok oleh pikiranku sendiri. Terbelenggu kemungkinan yang beragam. Ambigu yang pilu. Menyedihkan. Aku tidak seberani--atau seiseng--kenalanku sehingga menghubungi langsung laki-laki yang menarik hatinya. Dan mujur, dia dapat respon baik sebelum insiden blokir itu. Ya, mereka saling kenal. Karena ingin lebih mengenal, kenalanku tadi berkenalan dengan mengenalkan diri terlebih dahulu. Haha, apasih.
Aku? Aku juga pernah berusaha melakukan sesuatu ketika tertarik dengan seseorang. Bukan-bukan, bukan si A atau si B. Cheosarang, chaksarang. Cinta pertama, cinta sepihak. Ah, ngeri bicara cinta wkwk. Hmm saat itu, aku melakukan beberapa hal agar dekat sehingga bisa mengenalkan diri. Motivasiku pertama kali liputan ketika magang di UKM kampus adalah agar bisa mengobrol dengan dia. Ah, aku bakal sangat malu sih jika ada yang bisa menebak siapa orangnya hanya dari kisah ini--tentu bukan termasuk teman-teman dekatku karena mereka sudah pasti tahu dan kecil kemungkinan membaca blog ini. Belum puas, aku ikut kepanitiaan yang melibatkan dia. Dan sialnya aku ada di departemen yang selalu berhubungan dengan dia. Selalu. Padahal aku memilih departemen itu secara random. Endingnya? Berakhirnya kepanitiaan, berkuranglah rasa tertarikku. Sakit hati karena sikap dan pikiranku sendiri membuat aku kebal dengan rasa abai dari dia. Meskipun begiti, aku masih suka sampai aku tahu dia sudah punya kekasih. Ya, teman perempuan yang dekat dengannya dari lama, sepertinya baru mengganti statusnya sebagai pacar. Ah, tidak apa. Aku ikut bahagia.
Setelahnya aku tidak tertarik lagi. Semua yang ingin kutahu sudah kudapat. Masalah blokir, ya aku pernah memblokirnya tanpa alasan di salah satu sosmed. Ya kali, aku tidak difollback setelah empat kali follow-unfollow. Sedang teman-teman maba hampir semuanya difollback. Tapi, akhirnya kubuka juga sih. Cuma bentar doang kok blokirnya. Dia juga nggak notice kayaknya.
WhatsApp? Aku memilih menghapus kontaknya saat dia telah memasang foto profil berdua dengan pacarnya. Dan sepertinya dia juga tidak menyimpan kontakku. Ah, jika kupikir-pikir lagi, lucu sekali kisah itu. Usahaku tidak sekedar DM untuk membeli tiket atau meminta follback. Tapi, sebuah hal yang bahkan aku sendiri tidak duga. Sekarang kami sudah saling follow setelah aku mengunfoll-nya lebih dari satu semester. Dia kenal aku saja sudah cukup. Entah sebagai reporter yang pernah mewawancarainya, anggota konyol di kepanitiaan itu, atau mahasiswa dengan jurusan yang sama, itu cukup.
Loh, kok bahasannya jadi ke mana-mana. Hm, intinya sih blokir memblokir pilihan. Juga, alasannya beragam. Bisa pake logika bisa pake perasaan. Aku sendiri ketika tanpa ba bi bu memblok orang itu, tak ada alasan rasional di pikiran. Dia tidak salah apa-apa. Hanya aku yang kesal dan terganggu dengan pikiranku sendiri. Mungkin kenalanku yang diblokir teman laki-lakinya itu, bisa saja berada di posisi seperti orang sejurusanku tadi. Tapi, tentu pemikiran logika dibutuhkan. Introspeksi diri diperlukan jika ada di posisi terblokir. Lalu berpikir, di mana semua bermula dan bagaimana mengakhiri. Mungkin aku bukan orang yang memiliki pikiran yang berlogika atau perasaan yang tulus. Tapi, keseimbangan diperlukan. Ah, ngantuk. Selamat malam~
27 Mei 2020
Ya, gimana dong?
Selasa, 26 Mei 2020
First Time? Menjadi yang Pertama.
Oh halo.
Hari ini aku akan berkisah tentang drakor lagi. Masih dengan aliran yang sama, Reply 1997. Di tulisan sebelumnya tentang Reply itu, sepertinya aku bahkan nggak bahas Reply 1997 sama sekali ya. Padahal itu adalah series pertama dari dua drama sekuelnya.
Ah, lanjut. Sebenarnya drama Reply 1997 udah bersemayam di PC sejak aku masih SMA. Tapi karena ketika meng-copy dari temanku berantakan, jadi males nonton. Apalagi kan alur yang dibawa Reply 1997 berantakan juga. Ah, maksudnya alur campuran. Tapi, ya keruwetan alur lebih parah di 1997 sih. Ya emang masalah teka teki atau plot twist ada di semua series Reply, cuma kayak detail tiap adegan atau mix antara zaman sekarang yang tersegmen-segmen sampai masa lalu yang nggak hanya masa SMA main lead, juga Masa muda para orang tua mereka. Mana ada semacam perbandingan--susah nyari istilah lain--yang meng-compare masalah satu dengan masalah lain karena ya emang sebanding. And that's good. Meski udah tahu endingnya bakal sama siapa, aku masih deg-degan gitu. Takut ada plot twist yang nyakitin atau kenyataan dalam film yang nggak sesuai sama ingatanku (apasih kenyataan kok film???). Ya, dulu udah pernah klik-klik ini drama dan tahu kalo bakal sama siapa endingnya. Toh, di asianwiki atau poster sudah jelas kok.
Tapi ternyata ingatanku bener. Ending masih sesuai pemikiran. Ya meski tiap scene terus dibikin deg-degan. Paling nggak, nggak seperti Reply 1994 yang udah bikin segala ekspektasi ke Chilbong ambyar. Btw, aku nonton 1994 dulu karena lihat spoiler Chilbong confess ke si Go Ara--lupa nama perannya. Kalo di Reply 1988, duh, emang bener-bener sih. Kan di awal sama si Sun Woo ya saingannya. Eh, pas end sama Taek. Ya enggak kenapa-kenapa sih toh sesuai sama dugaanku dari awal--hampir seluruh alur udah ketebak sama aku. Ya rada nyesek. Tapi, semua kembali ke penulisnya dong.
Balik lagi ke Reply 1997. Karena nggak begitu banyak artis terkenal yang jadi role, kukira bakal ngebosenin. Ternyata engga. Apalagi karena jadi yang pertama kayak lebih banyak pemakluman, meskipun nggak ada yang kumaklumi juga sih. Kayak lebih original gitu. Dan ya, couple paling kusuka ada di Reply 1997 ini. Selain karena sudah tahu mereka bakal jadian, ke-uwu-an mereka natural banget. Ini maksudnya natural pengkisahan, bukan akting. Ya meski aktingnya nggak mengecewakan juga sih. Jadi ikut merasa gimana rasanya suka, cinta, sayang dan perasaan-perasaan lain yang muncul tanpa bisa ditolak. Ah, padahal cuma perkara cinta tapi bisa dalam gitu. Eits, kata 'padahal' bukan karena aku ngeremehin cinta ya, tapi karena biasanya di drakor aku nggak begitu nyorot prihal cintanya. Yoon Jae dan Si Won bener-bener bikin iri dari kisah cinta di Reply lainnya. Ya gimana, ya semacam goalku sebagai penonton gitu.
Selain keuwuan mereka--aku nggak nyebut romance karena emang nggak ada romantis-romantisnya, kisah bromance dalem banget anjir. Di series Reply lain pertemanan mereka ya sama-sama romantis gitu. Baik sesama cowo, atau ke cewe. Kalo di Reply 1994 dekat karena memang tinggal serumah dan di Reply 1988 karena tetanggaan, di Reply 1997 beda. Ya temen biasa gitu. Temen SMA yang sering main bareng dan langgeng sampai sukses. Terlepas dari main lead couple yang dari kecil bareng. And the boom is, when love come in bromance relation. Ahaha, iya cinta. Awalnya aku nggak ngeh. Eh, lama-lama paham. Ya Tuhan tulus banget itu temen cowonya si cowo. Tapi aku jelas nggak mendukung mereka berlayar. Bukan karena sesama jenis, tapi karena goalku tadi. Ya kali male lead jadian sama orang lain bukan female leadnya. Ambyar dong imajinasiku.
Hmm, apalagi ya tentang Reply 1997?
Ah iya, tentang ayah Yoo Jung yang meninggal. Seperti di series Reply lainnya, Yoo Jung ini another female lead gitu. Nah, pas udah dewasa dia kerja di ibu kota--setting Reply 1997 di Busan semacam Surabaya-nya Korea. Temen-temen yang lainnya juga di Seoul. Satu di Busan dan satunya--the best friend alias namja chinggu, kuliah di luar negeri. Saat dia sibuk-sibuknya kerja dan jarang pulang ayahnya meninggal. Ketika ayahnya diselang dengan oksigen, tidak ada yang memberitahu dia dan bahkan ayahnya memintanya untuk tetap bekerja. Ketika ditelpon, dia bilang sibuk dan berkata akan menghubungi lagi. Terus saja begitu. Dan ya, akhirnya ayahnya meninggal
Aku mencoba untuk tidak ikut menangis. Dan memang aku tidak menangis. Padahal di Reply 1988 pas kakeknya si female lead meninggal, aku sesenggukan. Tapi di situ enggak. Why? Cause I know very well how it was. Hmmm I try to not comparing but it's just alike. Haha, it's okay. I keep it on my mind that something hurt there is.
Hmm apalagi ya? Tentang dialog yang selalu bikin mikir, deg-degan dan akhirnya jadi quote aku kira sudah biasa sih ada di drama atau film Korea. Cuma ya emang mungkin karena aku pikir relate, aku tadi banyak take screenshoots hehehe.
Udah dulu, deh kepalaku pusing banget ini astaga. Gerak-gerak sendiri. Bye~
26 Mei 2020
26 Mei 2020
Senin, 25 Mei 2020
Catatan Akhir Tahun
Satu tahun yang lalu.
It's been a long day without you, my friend
And I'll tell you all about it when I see you again
We've come a long way from where we began
I'll tell you all about it when I see you again
When I see you again
And I'll tell you all about it when I see you again
We've come a long way from where we began
I'll tell you all about it when I see you again
When I see you again
Lagu milik Wiz Khalifa itu sukses membuat mata Mala basah. Kini nafasnya mulai tersengal akibat menahan isakan. Sering kali dirinya terbuai oleh lagu-lagu yang ia putar, namun tidak untuk lagu ini. Ia lebih suka lagu-lagu ballad ala Korea. Meski tidak tahu betul artinya ia menyukainya. Tapi, mengapa lagu ini membuatnya kebanjiran air mata?
So let the light guide your way
Hold every memory as you go
And every road you take will always lead you home, home
Hold every memory as you go
And every road you take will always lead you home, home
Air matanya menetes lagi. Kini ia mencoba membuka mulut dan bergeming mengikuti lirik lagu.
It's been a long day without you, my friend
And I'll tell you all about it when I see you again
We've come a long way from where we began
I'll tell you all about it when I see you again
And I'll tell you all about it when I see you again
We've come a long way from where we began
I'll tell you all about it when I see you again
"When I see you again. When I see you again. When I see you again" Suara Mala lirih hampir tak terdengar bahkan oleh telinganya sendiri. Namun, hatinya menjeritkan lirik penghujung itu. Hatinya berharap seseorang di luar sana, jauh disana mendengar apa yang ia rintihkan.
Mala meraih ponsel jadulnya dan mematikan pemutaran musik. Sunyi mengelilinginya lagi. Benar saja, waktu menunjukkan hampir tengah malam. Ia melepas earphone hitam yang ia pakai. Matanya sudah sembab.
"Tik... Tik... Tik..." Suara jam yang berdetik terdengar stabil. Ia melihat kembali ponselnya dan menemukan angka 23 dan 55 di sudut layar 3 Inc itu.
Mala mulai sesengukan lagi mengingat apa yang pernah ia lakukan. Menyesali setiap hal yang pernah ia lakukan dulu. Sesak. Hanya sesak yang ia rasakan saat ini. Bagaimana ia bisa memutar waktu? Bagaimana ia bisa kembali ke masa yang sangat ia rindukan dan sesali dulu?
"Apa yang aku lakukan selama ini adalah sia-sia." pikirnya. Ia memejamkan mata. Butiran air mulai muncul lagi dan lagi. Pikirannya tengah bertarung dengan hatinya.
Saat kalutnya sembunyi di balik tidur, sorak-sorai kebahagiaan terjadi di luar sana. Kembang api menghiasi langit di tengah malam. Tidak hanya di luar rumahnya. Namun, di seluruh muka bumi.
"Happy new year Mala... " Sapa Mala pada dirinya sendiri. Ia membuka matanya yang masih berat. Ia harus bergegas mandi dan sholat subuh. Ia tidak ingin terlambat berangkat kerja lagi. Namun, ketika kakinya baru menginjak ubin untuk segera bangkit, ia ingat sesuatu.
"Ah... Tahun baru ya!!!" desahnya. Mala kembali membaringkan tubuhnya dan mengingat apa yang ia impikan semalam. Ia lupa.
Mala menggapai sebuah ponsel putih yang masih mulus dari meja belajar yang berada di sebelah tempat tidurnya dengan mudah. Ponsel baru yang ia dapat setelah bekerja siang dan malam.
Ia membuka sandi dan menyalakan data. Sela beberapa detik bunyi notifikasi pemberitahuan muncul terus menerus. Hatinya senang hingga melupakan kesedihan yang semalam. Namun, kesenangan itu hilang seketika ketika kotak berwarna hijau itu bukan dari yang ia inginkan.
"Sebanyak ini hanya spam?" gumamnya.
"Happy new year VAHAM! Selamat tahun baru! Semoga kita menjadi lebih baik di esok dan memperbaiki seluruh hal buruk yang pernah kita lakukan. Meniti setiap mimpi yang bisa membawa kita ke titik yang kita inginkan, berjuang bersama dalam jarak dan waktu..." Memutar rekaman suara yang ia kirimkan semalam sebelum larut dalam lagu yang ia putar.
"Ver.... Tahun ini kita bisa kok. Insyaallah kalau berusaha kita bisa. Jangan diem aja. Say what you want to say..." Kini ia memutar rekaman keduanya. Ia menghembuskan nafas sebaliknya karena tidak ada yang membaca pesannya.
"Kak Ryn... Belajar yang sungguh-sungguh di kota orang. Jangan ngecewain siapapun karena tahun-tahun Kakak masih panjang disana.
"Ame... How are you??? Udah lancar kan inggrisnya. So, it's make you better easy to get what you want... And it's make me happy to." Ia mendengarkan rekamannya satu persatu sampai di rekaman terakhirnya.
"Hana... Sekolah yang rajin... Ups... Kamu kan udah rajin ya... Apa ya?? Perkokoh hati kamu. Kami selalu disini kok. Entah dimanapun kamu dan hatimu aku sama VAHAM akan selalu ada. Entah dulu atau esok kita akan sama... Dalam setia. "
"Hana..." Katanya lirih.
"Mala!!!" teriak ibu dari luar kamar sambil menggedor-gedor pintu kamarnya. "Sudah jam berapa ini???" kata ibunya dari luar. Ara terperanjat melihat jam yang menunjukkan pukul lima lebih.
"Aish..." Keluhnya tidak ingin di tahun barunya kehilangan subuh. Ia keluar dan mengucek-ngucek matanya agar tidak terlihat sembab di depan ibunya.
Minggu, 24 Mei 2020
Terima Kasih
Halo selamat malam~
Hari ini lebaran Idul Fitri. Seketika aku lupa apa makna lebaran. Buat apa sih puasa? Kenapa zakat? Hanya rutinitas. Tapi, logika lain dalam pikiranku kembali mengobrak-abrik memori seputar ilmu pengetahuan agama. Sayang, meski ada kapasitas, hati belum bisa menerima dengan lapang. Ya apalagi kalau bukan keadaan yang telah benar-benar berubah.
Lebaran kali ini benar-benar menjadi yang pertama. Terlepas dari segala pandemi yang terjadi, tidak adanya bapak di dunia ini adalah pukulan maut. Ah, maut hahaha. Aku ingin terbenam. Menenggelamkan diri pada ketiadaan sehingga aku tak perlu bersikap seperti makhluk sosial lainnya. Aku butuh bapakku.
Bangun. Aku ingin bangun. Mimpi ini sangat membingungkan, menyesakkan. Ingat, suatu hari aku pernah bermimpi. Besok lebaran dan sekarang belum persiapan apa-apa. Haha, aku lupa kenapa bisa kami belum mempersiapkan apapun. Yang jelas, tidak ada sosok bapak di mimpi itu. Hanya kekhawatiran yang tidak habis-habis. Setelahnya aku bangun. Cuma mimpi. Lebaran tahun kemarin sudah terlewati.
Ah, lebaran. Aku hanya bisa mengenang.
Shit, playlist lagu ebit pas muter lagu Titip Rindu Buat Ayah.
Iya cuma mengenang. Bagaimana bahagianya aku di tahun-tahun lalu. Kebiasaan bersama bapak lengket dalam ingatan--sejauh ini. Kebersamaan keluarga, sangat-sangat aku rindukan. Ah, bapak.
Dulu, setiap kali ngelencer ke tetangga-tetangga begitu, bapak jadi pemimpin rombongan. Aku, bapak ibu, kakak, keluarga paman sekalian sama keluarga bude sekalian. Bapak, tak pernah kekurangan obrolan. Di setiap rumah kami masuki, selalu ada banyolannya. Ia bisa bicara blak-blakan bak pelawak, juga berbahasa santun dengan krama inggil yang kadang tak kutahu. Sekiranya akan berpamitan, bapak selalu menepuk pahanya beberapa kali. Awalnya itu seperti kebiasaan. Lama-lama kami menandai itu sebagai kode agar menyelesaikan makan, minum atau mengobrol. Kode itu juga kugunakan ke bapak ketika ingin segera pulang.
Ah, shit. It's just like a dream. Nggak ada yang menyangka. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana sepinya rumah tanpa beliau. Dan ya, sepi sekali. Salah mungkin, tapi aku tetap bersyukur dengan pandemi ini. Paling tidak, ada alasan lain untuk mengekang diri dari hiruk masyarakat. Tuhan, aku rindu.
Di pagi lebaran, bapak akan sangat cerewet. Menyuruh kami, aku dan kakak untuk beegegas. Dan ya, aku dan bapak bergantian menyapu, menata kue-kue juga karpet. Sekarang? Aku mencoba tidak peduli. Sakit ketika mengingat jika biasanya bapak juga yang melakukannya. Kalian tahu yang lebih haru? Saat selesai solat Ied. Sampai di rumah, setelah meletakkan berkat dari mushola, kami saling bermaaf-maafan. Bapak dan ibu mengawali. Mereka saling bermaafan. Lalu, ke kami. Tentu saja, bapak menciumku. Beberapa tahun ini aku menolak. Meski pada akhirnya kumis-kumis bapak menyentuh sebagian wajahku. Abang juga menolak, tentu saja. Tapi, sebenernya aku sendiri sangat senang diperlakukan demikian. Cuma malu.
Sedangkan saat ini? Di rumah hanya ada aku dan ibu. Ini tahun ke tiga Abang tinggal bersama istrinya. Aku bingung, apa yang akan kulakukan ke ibu. Jika aku melakukan tradisi biasanya, aku tidak bisa menjamin tidak menangis. Aku tidak ingin begitu. Kami berdua tidak ikut solat Ied jadi sedari pagi ya sama-sama sibuk di dapur. Masa sih tiba-tiba minta maaf. Aku berharap Abang segera datang. Ah, aku bingung.
Saat baru selesai mandi aku mendengar suara motor Abang. Dia datang. Ah, waktu yang tidak tepat. Dari belakang aku melihat kakak melakukan ritual itu. Aku pura-pura tidak menghiraukan dan masuk ke kamar untuk berpakaian. Setelahnya aku keluar. Tanpa a o u, aku mencium tangan ibu sekedarnya. Lalu ke kakak. Lucunya, dia berusaha seperti bapak. Menciumku. Hahaha sebenernya hal seperti itu tidak asing, tapi di momen ini aku tidak mau. Aku menolak.
"Biar seperti bapak," kata Abang. Aku semakin tidak mau dong. Setelah dengan paksaan, sambil berkata-kata hal yang membuatku malah sedih, kumis-kumis Abang benar-benar mengingatkan pada bapak. Oh Tuhan.
Setelah makan-makan Abang pergi. Dia ke rumah budhe lalu kembali ke rumahnya. Di daerah rumahku hampir tidak ada yang open house. Sedang di daerah rumah Abang masih ada. Sebenarnya aku kesal dengan hal itu. Setelah Abang, istri dan anaknya pergi rumah jadi sepi.
Ini kali pertama. 2020 yang sangat menggoda. Corona dan segala macam cerita. Derita dan sakit-sakit, silih berganti mendatangi. Terima kasih. Tahun ini, sungguh tak biasa. Aku dan cerita-ceritaku akan sangat berbeda. Aku dan segala kisah-kisahku akan sangat sempit. Mendorong ingatan pada ruang lalu yang menjadikanku halu. Masa lalu, selalunya jadi pandu. Aku, dan diriku, larut pada debu abu dan rupa-rupa lalu. Ya, sekali lagi, terima kasih. Berkat sakit ini, aku kembali mengenal Tuhanku. Berkat situasi ini, aku menyamarkan bekas lukaku. Berkat ketentuan ini, akan kuciptakan kisah-kisahku.
Hari ini lebaran Idul Fitri. Seketika aku lupa apa makna lebaran. Buat apa sih puasa? Kenapa zakat? Hanya rutinitas. Tapi, logika lain dalam pikiranku kembali mengobrak-abrik memori seputar ilmu pengetahuan agama. Sayang, meski ada kapasitas, hati belum bisa menerima dengan lapang. Ya apalagi kalau bukan keadaan yang telah benar-benar berubah.
Lebaran kali ini benar-benar menjadi yang pertama. Terlepas dari segala pandemi yang terjadi, tidak adanya bapak di dunia ini adalah pukulan maut. Ah, maut hahaha. Aku ingin terbenam. Menenggelamkan diri pada ketiadaan sehingga aku tak perlu bersikap seperti makhluk sosial lainnya. Aku butuh bapakku.
Bangun. Aku ingin bangun. Mimpi ini sangat membingungkan, menyesakkan. Ingat, suatu hari aku pernah bermimpi. Besok lebaran dan sekarang belum persiapan apa-apa. Haha, aku lupa kenapa bisa kami belum mempersiapkan apapun. Yang jelas, tidak ada sosok bapak di mimpi itu. Hanya kekhawatiran yang tidak habis-habis. Setelahnya aku bangun. Cuma mimpi. Lebaran tahun kemarin sudah terlewati.
Ah, lebaran. Aku hanya bisa mengenang.
Shit, playlist lagu ebit pas muter lagu Titip Rindu Buat Ayah.
Iya cuma mengenang. Bagaimana bahagianya aku di tahun-tahun lalu. Kebiasaan bersama bapak lengket dalam ingatan--sejauh ini. Kebersamaan keluarga, sangat-sangat aku rindukan. Ah, bapak.
Dulu, setiap kali ngelencer ke tetangga-tetangga begitu, bapak jadi pemimpin rombongan. Aku, bapak ibu, kakak, keluarga paman sekalian sama keluarga bude sekalian. Bapak, tak pernah kekurangan obrolan. Di setiap rumah kami masuki, selalu ada banyolannya. Ia bisa bicara blak-blakan bak pelawak, juga berbahasa santun dengan krama inggil yang kadang tak kutahu. Sekiranya akan berpamitan, bapak selalu menepuk pahanya beberapa kali. Awalnya itu seperti kebiasaan. Lama-lama kami menandai itu sebagai kode agar menyelesaikan makan, minum atau mengobrol. Kode itu juga kugunakan ke bapak ketika ingin segera pulang.
Ah, shit. It's just like a dream. Nggak ada yang menyangka. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana sepinya rumah tanpa beliau. Dan ya, sepi sekali. Salah mungkin, tapi aku tetap bersyukur dengan pandemi ini. Paling tidak, ada alasan lain untuk mengekang diri dari hiruk masyarakat. Tuhan, aku rindu.
Di pagi lebaran, bapak akan sangat cerewet. Menyuruh kami, aku dan kakak untuk beegegas. Dan ya, aku dan bapak bergantian menyapu, menata kue-kue juga karpet. Sekarang? Aku mencoba tidak peduli. Sakit ketika mengingat jika biasanya bapak juga yang melakukannya. Kalian tahu yang lebih haru? Saat selesai solat Ied. Sampai di rumah, setelah meletakkan berkat dari mushola, kami saling bermaaf-maafan. Bapak dan ibu mengawali. Mereka saling bermaafan. Lalu, ke kami. Tentu saja, bapak menciumku. Beberapa tahun ini aku menolak. Meski pada akhirnya kumis-kumis bapak menyentuh sebagian wajahku. Abang juga menolak, tentu saja. Tapi, sebenernya aku sendiri sangat senang diperlakukan demikian. Cuma malu.
Sedangkan saat ini? Di rumah hanya ada aku dan ibu. Ini tahun ke tiga Abang tinggal bersama istrinya. Aku bingung, apa yang akan kulakukan ke ibu. Jika aku melakukan tradisi biasanya, aku tidak bisa menjamin tidak menangis. Aku tidak ingin begitu. Kami berdua tidak ikut solat Ied jadi sedari pagi ya sama-sama sibuk di dapur. Masa sih tiba-tiba minta maaf. Aku berharap Abang segera datang. Ah, aku bingung.
Saat baru selesai mandi aku mendengar suara motor Abang. Dia datang. Ah, waktu yang tidak tepat. Dari belakang aku melihat kakak melakukan ritual itu. Aku pura-pura tidak menghiraukan dan masuk ke kamar untuk berpakaian. Setelahnya aku keluar. Tanpa a o u, aku mencium tangan ibu sekedarnya. Lalu ke kakak. Lucunya, dia berusaha seperti bapak. Menciumku. Hahaha sebenernya hal seperti itu tidak asing, tapi di momen ini aku tidak mau. Aku menolak.
"Biar seperti bapak," kata Abang. Aku semakin tidak mau dong. Setelah dengan paksaan, sambil berkata-kata hal yang membuatku malah sedih, kumis-kumis Abang benar-benar mengingatkan pada bapak. Oh Tuhan.
Setelah makan-makan Abang pergi. Dia ke rumah budhe lalu kembali ke rumahnya. Di daerah rumahku hampir tidak ada yang open house. Sedang di daerah rumah Abang masih ada. Sebenarnya aku kesal dengan hal itu. Setelah Abang, istri dan anaknya pergi rumah jadi sepi.
Ini kali pertama. 2020 yang sangat menggoda. Corona dan segala macam cerita. Derita dan sakit-sakit, silih berganti mendatangi. Terima kasih. Tahun ini, sungguh tak biasa. Aku dan cerita-ceritaku akan sangat berbeda. Aku dan segala kisah-kisahku akan sangat sempit. Mendorong ingatan pada ruang lalu yang menjadikanku halu. Masa lalu, selalunya jadi pandu. Aku, dan diriku, larut pada debu abu dan rupa-rupa lalu. Ya, sekali lagi, terima kasih. Berkat sakit ini, aku kembali mengenal Tuhanku. Berkat situasi ini, aku menyamarkan bekas lukaku. Berkat ketentuan ini, akan kuciptakan kisah-kisahku.
Sabtu, 23 Mei 2020
Rukun Islam yang Lima, Dor!
Tiba-tiba aku teringat salah satu lagu yang diajarkan guru TK-ku dulu.
Rukun Islam yang lima. Syahadat. Sholat. Puasa. Zakat untuk si bapak. Haji bagi yang kuasa. Siapa belum sholat? Dosa. Siapa belum zakat?
~~~
~~~
Aku lupa bagaimana lirik lanjutannya, yang jelas lagu itu dinyanyikan menggunakan nada balonku ada lima.
Malam tadi--ah sekarang malam juga, pikiran tentang 'zakat adalah rukun islam', terbersit begitu saja. Lalu, mengingat lagi. Apa rukun Islam yang lain? Ya, nada lagu balonku itu muncul begitu saja. Dalam hati aku bernyanyi. Sepertinya aku sudah melakukan rukun Islam tersebut selain haji. Haji bagi yang kuasa.
Syahadat, tanpa aku gaungkan pun aku auto melewati fase itu. Sholat? Aku akrab dengan aktivitas itu sedari kecil. Eng, nggak bener-bener konsisten, tapi pernah khusyuk hehe. Cuma akhir-akhir ini, hmmm ya begitulah. Lalu tentang puasa, aku akrab juga. Dulu, aku nggak tahu hukum wajib yang kayak gimana. Intinya, mengerjakan aktivitas islami yang udah jadi tradisi. Nggak ada role model tertentu untuk itu. Hanya kebiasaan.
Syahadat, tanpa aku gaungkan pun aku auto melewati fase itu. Sholat? Aku akrab dengan aktivitas itu sedari kecil. Eng, nggak bener-bener konsisten, tapi pernah khusyuk hehe. Cuma akhir-akhir ini, hmmm ya begitulah. Lalu tentang puasa, aku akrab juga. Dulu, aku nggak tahu hukum wajib yang kayak gimana. Intinya, mengerjakan aktivitas islami yang udah jadi tradisi. Nggak ada role model tertentu untuk itu. Hanya kebiasaan.
Soal zakat, itu perkara yang ingin aku kisahkan lebih panjang. Ya, malam ini zakat. Aktivitas tahunan berdasarkan tahun hijriah malam ini adalah takbir. Takbir pertama tanpa Bapak. Zakat pertama tanpa Bapak. Ah, sayang.
Setelah buka puasa tadi, pintu rumah terketuk. Ada tamu. Seorang tetangga datang memberi zakat. Ibu berterima kasih. Aku yang sedang berada di kamar, tengah menyusun kata untuk update status Facebook. Rasanya, lama sekali tidak posting di sana. Akhirnya, salah satu draft kata-kata kukirim.
Kata, "sekeluarga" kini sangat menyakitkan.
Aku sadar itu kalimat sensitif jika berada di dunia Facebook yang kebanyakan sanak dan tentangga yang peduli, tapi malah bikin sedih. Padahal I just want to express my feeling. Nggak sampe satu menit, aku dengar suara isak. Kutengok ibu berlinang air mata. Ah, shit. Why? Tanpa pikir panjang aku langsung hapus status Facebook barusan. Ah, aku yakin ibu menangis bukan karena status itu. Tapi karena zakat barusan.
Hmm, tahun-tahun sebelumnya kami juga dapat zakat sih. Tapi, entah kenapa sekarang rasanya bikin nelangsa gitu. Aku sedikit sok kuat di depan ibu. Bilang, ngapain sih nangis. Cuma gitu aja. Udahlah, nggak usah ditangisi. Dengan sedikit nyelekit aku kembali ke kamar mainin hape. Sambat di Twiter. Oh, guys if my tweets about my dad bother you, please skip.
Seperti rencana semula, aku siap-siap ke musola untuk zakat. Yaz, pikiranku udah kacau karena tangisan ibu. Aku nggak bisa membayangkan pergi ke musola sendiri dengan membawa dua kantong beras. Ah, biasanya urusan zakat, bapak dan aku yang mengantar. Dua tahun terakhir, kami hanya membawa tiga kantong karena Abang sudah berkeluarga sendiri. Sedang tahun ini, aku membawa dua kantong saja. Sendiri. Ah, how I can hold back these tears?
Aku ke rumah sepupu. Ngajakin dia barengan. Singkat cerita, aku ikut mereka. Pas balik ke rumah, ibu masih sesenggukan. Hahaha, aku sok kuat lagi. Mengalihkan perhatian dengan nanya gimana niat zakat. Aku ketawa haha hihi memamerkan kebodohanku kepada ibu karena lupa niat zakat. Lalu, aku ke kamar mandi. Ngapain? Wudhu. Iya, aku bilang wudhu. But, I'm crying. Fucking my self. I just need my father here. He did everything when lebaran coming. Who care about food and set the house. Who got mad and talk to more with me. And the final, on the day, he kiss me. Oh, God. How.
When I think again, ahhhh.
Setelah balik dari musola, saat aku akan merekam podcast dengan teman-teman, seorang teman menghubungi. Ah, kami sedang dalam masa renggang. And taraaa, dia telpon video dengan mata merah. Katanya, dia takut mau menghubungiku. Dan aku sendiri sudah muak. Ya, dia mungkin 'sedikit' melakukan kesalahan. Tapi, aku mencoba memaklumi itu lagi karena dia pernah melakukan hal yang lebih menyakitkan lainnya. But, when I talk to her about what I feel. Tentang apa yang aku lakukan sekarang, apa yang terjadi padaku saat ini, aku nggak bisa menahan tangis. Bangsat. Aku menangis sesenggukan. Dia hanya menungguku menangis. Aku, sambil mengingat-ingat lagi hal-hal menyakitkan yang baru-baru ini terjadi, yang aku coba untuk tidak mengkambinghitamkan dia, aku tetap menangis. Ah, menyedihkan. Aku malu dengan ibu yang pasti mendengar dari luar. Aku, aku malu kepada diriku sendiri.
Pernyataan tentang yang lebih cinta ialah yang lebih merasa tersakiti dan selalu mengalah sudah terpatri di pikiranku dari dahulu. Tentang cinta itu, ubahlah ke bentuk perasaan lain. Teman. Oh, teman.
Ya begitu saja. Perkara lebaran dengan new normal begini, nggak apa. Sakitnya iya. Sedihnya juga. Ah, nggak bisa bayangin apa yang bakal terjadi besok. Dari sepanjang puasa, ketidakhadiran bapak sudah merupakan hal berat. Sangat. Apalagi besok. Hahaha. Aku sedikit berterimakasih dengan pandemi ini. Berkat adanya dia, aku tidak perlu repot-repot buka rumah untuk menerima tamu. Bapak, pak dalang yang sudah berpulang, tidak bisa menerima tamu. Kami, keluarganya yang belum juga terbiasa menghadapi obrolan semacam itu dari orang asing, dihindarkan dari situasi demikian. Tapi, lebih dari itu, panggilan seorang teman tadi sedikit mengalihkan perhatian. Dari satu kesesakan ke kesesakan lainnya.
Jahat memang. Tapi, Tuhan, lebih dari apapun, dosaku Kepada-Mu tak terkira. Maaf dan terimakasih. Teman dan para pembaca sekalian, terimakasih. Pukulan di tengkukku harusnya lebih sakit lagi. Mohon maaf lahir dan batin.
Ya begitu saja. Perkara lebaran dengan new normal begini, nggak apa. Sakitnya iya. Sedihnya juga. Ah, nggak bisa bayangin apa yang bakal terjadi besok. Dari sepanjang puasa, ketidakhadiran bapak sudah merupakan hal berat. Sangat. Apalagi besok. Hahaha. Aku sedikit berterimakasih dengan pandemi ini. Berkat adanya dia, aku tidak perlu repot-repot buka rumah untuk menerima tamu. Bapak, pak dalang yang sudah berpulang, tidak bisa menerima tamu. Kami, keluarganya yang belum juga terbiasa menghadapi obrolan semacam itu dari orang asing, dihindarkan dari situasi demikian. Tapi, lebih dari itu, panggilan seorang teman tadi sedikit mengalihkan perhatian. Dari satu kesesakan ke kesesakan lainnya.
Jahat memang. Tapi, Tuhan, lebih dari apapun, dosaku Kepada-Mu tak terkira. Maaf dan terimakasih. Teman dan para pembaca sekalian, terimakasih. Pukulan di tengkukku harusnya lebih sakit lagi. Mohon maaf lahir dan batin.
23 Mei 2020
Jumat, 22 Mei 2020
Tentang Teman dan Pertemanan
Halo, selamat malam~
Pada kesempatan kali ini, aku ingin berkisah perihal teman dan pertemanan. Emh, tapi sepertinya aku nggak banyak bercerita tentang circle pertemanan saat ini. Hahaha, cenderung menyedihkan dan menyesakkan. Ya, meski nggak seluruhnya sih tapi tetap saja ada luka dari manusia-manusia yang sering kusebut 'teman'.
Teman? Pertemanan? Ah, sila cek kbbi apa artinya yang jelas semua orang punya pengertian sendiri-sendiri untuk itu. Serta berbagai pertimbangan kenapa seseorang bisa dan pantas disebut teman atau hanya teman. Ah, apa sih.
Bagaimana dengan sahabat? Hm, pengertiannya hampir sama dengan teman hanya saja lebih sempit dan cringe sekarang ini. Hahaha iya, kubilang sekarang cringe karena aku dulu adalah penganut aliran sahabat > teman.
Baik, aku baru menjeda tulisan ini untuk memastikan sesuatu dan ya, aku kehilangan kesempatan lagi. Lagi lagi dan lagi. Dengan alasan yang sama. Sepertinya terlalu lama bersikap bodoh bikin bodoh beneran. Ah, sudahlah. Menyesal adalah teman lamaku.
Ah iya teman. Awalnya tadi, aku ingin bercerita tentang kiprah dan jalan cerita pertemanan abangku. Bagaimana dia menghadapi teman-temannya. Baik di masa sekolah dasar, menengah pertama atau kejuruan. Aku kenal dengan teman-teman TK-nya karena kami satu lingkungan. Pun, di sekolah dasar, tiga tahun kami satu sekolah. Jadi, mudah saja mengetahui siapa-siapa temannya. Apalagi, aku dan seorang teman--dulu kupanggil sahabat-- yang kakaknya kebetulan teman Abang, sering mengunjungi kelas mereka. Sok-sokan ngamen pas uang jajan habis. Abang yang tergolong anak nakal di masa kecilnya, lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain bersama teman-temannya itu.
Di SMP lain lagi. Teman-teman SD Abang masuk ke SMP negeri dekat rumah. Kelak jadi SMP ku juga. Sedang Abang sekolah di SMP swasta yang jauh sekali dari rumah. Salah satu teman dari SD yang bersekolah di SMP swasta itu namanya Putri. Ahaha, kakakku namanya Putra btw. Putri ini kakaknya temenku juga. Emh, sahabat~. Aku nggak banyak tahu temen-temen Abang waktu itu. Kalo nggak pas main ke rumah ya nggak kenal. Tapi ada satu orang yang kuinget banget. Namanya Mas Alif. Hampir setiap sore dia main badminton di halaman rumah. Kadang aku ikut gabung ngerecokin gitu. Seingetku rumah Mas Alif sekitaran SMP mereka. Itu artinya rumahnya jauh juga kan ya. Kelas satu dan dua, baik Abang atau Mas Alif kemana-mana masih pake ontel. Seru gitu pertemanan mereka. Tapi, setelah lulus SMP aku nggak pernah denger cerita tentang Mas Alif lagi. Kayaknya aku pernah nanya kabarnya ke Abang, tapi lupa apa jawabannya.
Di masa SMK, Abang kembali dipertemukan dengan kawan-kawan masa kecilnya termasuk kakak temanku dulu. Tapi, ketika aku melihat-lihat foto di galeri hapa Abang waktu itu, nggak ada foto bersama teman-teman lamanya itu. Ah, jadi bahas Abang endingnya ya. Ah, udah ah. Ga bisa mikir kronologis kisah tentang Abang. Padahal hal yang paling ingin aku ceritakan tadi tentang teman yang menghianati Abang pas kerja. Teman SD--jatohnya jadi kakak kelas karena kelas 3 kakak nggak naik kelas hehe. Ya, saking jahatnya itu orang, aku sampe pernah bikin puisi akrostik dari namanya. Saat itu aku belum terlalu familiar sama karya sastra. Dan aku yakin meski saat itu aku post puisi dari akronim namanya di semua sosmed, dia atau orang-orang yang mungkin mengadu ke dia nggak akan tahu. Ah, menyebalkan sekali.
Sama seperti saat ini sih. Alih-alih ke teman, aku lebih kesal dengan diriku sendiri. Aku, dan masalah pertemananku saat ini, nggak lain kayaknya karena aku deh. Ah, menyebalkan. Ingin berkata kasar. Ah. Udah dulu ah. Kalo memungkinkan nanti, akan aku tulis lanjutan sekaligus membahas topik tentang apa yang baru terjadi. Hm, padahal aku sudah punya ide untuk besok. Yaudah gpp sih. Dah dah dah. Ngantuk bye~
Salam sedih dan kecewa dari aku yang bodoh dan mengulang-ulang kesalahan. Cheers and see on another chance :))
22 05 20
Kamis, 21 Mei 2020
Just About Love 5
Aku berada jauh dari kota kelahiranku. Tempat yang akan mengantarku ke segala lini keberagaman, kesakitan, kepayahan, kesedihan, kepahitan, dan tak lupa bentuk-bentuk kebahagian yang pasti akan muncul suatu saat nanti. Kurang tepat menyebut ini sebagai perantauan karena rumahku mampu ditempuh dengan dua jam perjalanan--jika di gunung tidak sedang macet.
Kak Ve menghubungiku subuh tadi. Dia kakak sepupu yang paling dekat denganku--sebenarnya istri dari kakak sepupuku, ipar. Katanya, keluarga kami akan datang setelah melayat ke salah satu kerabat yang meninggal di kota ini dan sekarang, kami tengah berkeliling menggunakan mini bus sewaan ini. Senang? Tentu saja. Meski hanya dua jam perjalanan, aku tidak dapat pulang setiap saat. Bahkan, meski aku memiliki tiga hari libur dalam seminggu, tak lantas membuatku pulang. Bayangan lelahnya menunggu angkot dan bus, lelahnya berkendara naik turun gunung, serta ongkos yang sebanding dengan sebuah novel best seller membuat aku menahan diri. Ah, kerinduanku kalah dengan logika 'pelit'ku ternyata. Siapa juga yang tak jadi 'pelit' pada dirinya sendiri setelah kehilangan banyak hal dari dan oleh dirinya sendiri?
Setelah menyantap bekal yang disiapkan bunda dari rumah di alun-alun kota, mereka berpamitan. Aku memasang senyum lebar sebelum mereka pergi seakan mengatakan 'aku baik-baik saja' dan tentu aku baik-baik saja.
Setelah bertarung dengan ego, tinggal di sini adalah hal yang sangat aku syukuri. Menyecap bangku perkuliahan dengan 'sedikit' menekan orang tua serta memeras lebih banyak keringat dan perasaan membuatku menjadi sedikit lebih dewasa. Yah, paling tidak daripada keempat sahabatku--menurutku.
Meski bagi mereka, aku tetap menjadi Mala yang dulu, Mala yang setahun lalu masih gila Korea, Mala yang cerewet, Mala yang periang, Mala konyol yang tak punya malu, Mala yang selalu menerima bulian dengan lapang, Mala yang suka bermimpi, Mala bodoh yang tak tahu jatuh dari tingginya mimpi itu sakit, Mala yang... semua berbeda, kawan. Aku tahu, waktu mengubah segalanya. Tapi demi kalian, aku tetap sama, menjadi Mala yang kalian kenal. Mala yang juga suka membuli Hana, Mala yang suka mengomeli Ame, Mala yang selalu kepo dengan kisah cinta Aryn, Mala yang selalu merasa membutuhkan dan dibutuhkan Vera untuk sekedar bicara dan membuka luka lama.
Satu hal lagi, aku tak sepenuhnya meninggalkan dunia k-pop. Sekarang saja telingaku telah tersumbat lagu salah satu boyband--lagu hebat yang baru aku temukan minggu lalu.
"I wonder if you hurt like me." Aku mencoba menghafal judul yang sangat panjang itu.
Sambil berbaring dan meresapai setiap lirik yang--untungnya--aku mengerti tanpa harus melihat terjemahannya. Sial, kenapa harus sesakit ini mendengar lagunya? Kenapa juga ada lagu yang seakan-akan dibuat untuk menemaniku menikmati butiran air yang menyiksa dari mata? Kenapa aku harus menemukan lagu sialan ini?
"Mae ireul useu nikka...
Utneun moseub man boyeo ju nikka... naega...
Haengbok han julman ana bwa..."* raungku tertahan ketika lagu itu sampai dititik tertinggi yang menusuk relung hati. Aku tak bisa bernapas.
Utneun moseub man boyeo ju nikka... naega...
Haengbok han julman ana bwa..."* raungku tertahan ketika lagu itu sampai dititik tertinggi yang menusuk relung hati. Aku tak bisa bernapas.
"Eotteohke useo...
Naega eotteohke useo...
Niga eobt neundae...
Useo do useo do...
Nunmuri tto heulleo..."**
Naega eotteohke useo...
Niga eobt neundae...
Useo do useo do...
Nunmuri tto heulleo..."**
Aku tak kuat lagi. Setelah berpura-pura didepan keluarga dan sahabat-sahabatku aku tak bisa menyembunyikannya lagi dari diriku sendiri. Kucabut paksa earphone di telinga. Acuh dengan dendang lagu yang masih samar terdengar di sepinya senja. Kubenamkan wajah pada bantal, berdoa semoga semua penghuni kos tak mendengar isakkan bodoh ini.
*Because I smile every day
Because I show my smiles
They think I am happy
Because I show my smiles
They think I am happy
**But how can I smile, how can I smile without you
I smile and I smile but tears flow again
I smile and I smile but tears flow again
Rabu, 20 Mei 2020
Antara Teori dan Praktik, Happy Birthday
Halo.
Wah challenge ke-20 ini aku telat. Padahal sudah menyiapkan sesuatu untuk dibahas: antara Teori dan Praktik, serta ucapan ulang tahun untuk Abang. Hehe. Ya, tahu sudah terlambat karena ketiduran atau apapun juga tetap terlambat namanya. Nggak bisa diulang. Dan jikapun di blog nantinya masih tanggal 20 Mei, itu artinya setting di blog yang keliru.
Oke, aku cuma ingin bercerita tentang apa yang terjadi hari ini--kemarin deng, lalu dikaitkan dengan teori dan praktik. Jadi, ibu adalah penganut aliran, "semua pake teori". Sedang aku yang masih belum banyak tahu ini, sering keliru dan banyak lupa. Tentang apa saja. Nah, tadi ibu mengajak memindahkan buffet ke tempat semula sebelum dipindah ke salah satu sisi tembok saat meninggalnya bapak lima bulan lalu. Ibu bilang, televisinya berat jadi tidak kuat. Oke, aku iyain. Dan bener, tv tabung itu berat banget. Kalo dibandingkan tv tabung lain dengan ukuran sama di kamar bapak--yang sepertinya sudah tidak bisa digunakan--itu jauh lebih berat. Aku yakin kalaupun bapak yang angkat, pasti butuh bantuan orang lain. TV berhasil dipindah. Selanjutnya buffet.
Aku bilang ke ibu untuk mengeluarkan barang-barang di dalamnya. Tapi ibu menolak. Ayolah, beratnya kayak gimana kalo engga dipindah dulu? Meski ibu bilang tidak, aku tetap mengeluarkan empat laci berisi perkakas. Ya, paling tidak mengurangi bebannya. Karena satu dan lain hal, aku ke belakang. Kelelahan dan berbaring di kamar bapak. Membuka ponsel dan melihat ini itu hingga menjadi bosan lagi. Menunggu untuk dipanggil. Tapi, tak ada suara. Aku keluar dan melihat ibu telah memindahkan buffet itu ke tempat yang kami inginkan. Menggeser 90° sendirian.
"Lah kok bisa?" tanyaku. Iya, aku masih saja terkejut padahal ibu sering melakukan berbagai hal seperti itu. Bahkan, dulu saat bapak masih ada ibu mampu melakukan pekerjaan rumah semacam itu sendirian.
"Pake Teori." Jawaban dari ibu adalah jawaban yang sudah kuduga.
"Buk, ini kurang mepet ke sana." Aku masih saja mengomplen hasil kerja ibu. "Itu, masih ada sedikit ruang. Dimepetkan aja sekalian."
Setelah sedikit berdiskusi karena ibu punya pertimbangan kenapa tidak dimepetkan--istilahnya sama ibu diskusi, kalo sama bapak berdebat, apaan sih hehe--akhirnya buffet dimepetkan saja ke tembok. Aku pengen bantu angkat dong. Tadi udah ga nolongin. Dan oh, ternyata susah. Berat banget anjir. Nggak ke geser sama sekali di sisi yang kuangkat.
"Sek, ngaleh." Kata ibu. Aku minggir. Kami bertukar tempat. Lalu aku mencoba mengangkat lagi. Tapi, lagi-lagi sisi yang sebelahku tidak bergerak.
"Kok, engga bisa sih." Aku menggerutu sebal. Lelah dengan ketidakmampuan otak dan tenaga, aku mundur.
"Pake teori." Kata ibu tenang. Sesaat kemudian, aku mengamati buffet itu bergeser tanpa aku sentuh. Haha iya, ibu menggesernya sendiri.
"Beh, kok bisa sih." Sahutku. Aku mendekat dan mencoba membantu. Tapi sepertinya meski tanganku menyentuh buffet, bergesernya buffet ya karena 'teori' ibu. Hahaha.
Sebelum meletakkan kembali TV di atas buffet, ibu bilang alangkah lebih baiknya jika diberi alas. Yah, kenapa sih? Toh sebelumnya nggak ada. Ibu, bilang biar nggak lecet. Dan, ya ternyata banyak bekas goresan di sana. Hmm, aku ingat deng. Dulu awal punya itu buffet diberi alas juga. Hehe. Kami memutuskan untuk membeli plastik.
Langit yang mendung akhirnya mencurahkan hujan. Aku dan rencana-rencanaku akan keluar dengan ibu tertunda hingga sore tiba. Saat itu hujan tinggal rintik. Kami batal melakukan beberapa hal. Ibu hanya menyuruhku pergi ke toko perabot langganan untuk membeli plastik. Sebenarnya, aku malas untuk keluar. Malas sekali. Tapi, kalo enggak beli ini buffet bagaimana? Ya sudah, aku mau asal sama ibu. Kami berangkat.
Sampai di sana kami disambut si pekerja. Aku diam. Kan aku cuma mengantar. Eh, tapi ibu juga diam. Lirih ibu bergumam bilang cari perlak--ya kami memang berencana beli perlak juga. Si mbak pekerja menunjukkan barang yang kami cari. Lalu, bertanya ini itu secara canggung. Mbak ini bukan yang biasanya, dan aku baru ingat jika aku memang belum pernah ke sini dengan ibu. Jadi, meski pemilik toko ini mengenaliku pun, dia mungkin tidak familiar dengan ibu. Ah, iya. Aku jarang melihat ibu praktik. Jadi, ingat dulu-dulu ketika kami keluar berdua. Ya, memang demikian ibu. Selalu berpikir panjang untuk melakukan sesuatu, berbanding terbalik dengan bapak.
Biasanya, aku ke toko itu dengan kakak sepupu. Kalo butuh apa-apa, ibu nitip ke kakak sepupu, lalu dia kuantar. Begitu. Beberapa kali aku juga ke sana dengan bapak. Membeli perabotan yang aku dan bapak inginkan, dengan banyak wanti-wanti dari ibu karena bapak sering khilaf belanja. Seperti biasanya, bapak orangnya sangat supel. Pandai bergaul dan mencarikan suasana. Terlepas dari profesinya dulu pertama kali tinggal di sini yakni jadi supir selep keliling yang membuat beliau banyak kenalan termasuk pemilik toko itu, bapak ya memang suka mengobrol. Saking ekstrovert--mungkin--nya bapak, keramahannya bisa bikin bapak menyapa orang yang bahkan nggak dia kenal. Bermodalkan senyum orang lain, beliau senyum juga. Perjalanan dari rumah ke swalayan saja--sekitar 2 km--klakson motornya bisa bunyi puluhan kali. Kadang aku malu jika sesekali bapak salah menyapa orang. Tapi, bapak santai saja.
Kembali ke toko perabotan tadi, pernah sekali aku menyarankan bapak beli kursi plastik untuk menambah kursi di rumah jika banyak tamu. Bapak langsung beli delapan kursi astaga. Aku geram saat di toko itu. Tapi, bapak tetap haha hihi sama orang-orang di sana. Sampai rumah, ya aku ngambek. Padahal aku yang menyarankan. Bapak keseringan praktik tanpa perhitungan yang matang. Emang kita mau buka warung apa gimana kok banyak banget? Itu semua dijejer di ruang tamu juga nggak muat. Akhirnya bapak membagikan kursi-kursi itu ke kerabat. Ya Tuhan bapakku~
Pernah lagi, bapak inisaitif nanam cabai tanpa bilang ibu. Ya, pikiran bapak biar ibu terkejut gitu. Dan benar, ibu terkejut sekali. Bapak nanam cabai tepat di tempat jatuhnya air hujan. Sepanjang batas genteng samping rumah, bapak menanam bibit cabai. Bayangkan, bukannya hidup, tiap kali hujan, derasnya air akan langsung turun ke cabai-cabai itu. Saat itu, awalnya aku berpikir, apa yang salah? Bapak sudah berusaha bikin ibu senang. Tapi, setelah mendengar penjelasan dari ibu, aku tahu, teorinya salah.
Hal seperti itu sering terjadi. Bapak banyak melakukan kesalahan yang tidak disengaja. Ya karena kurang pertimbangan. Sedang ibu, selalu memberitahu aku untuk jadi orang yang supel. Tapi, ibu sendiri pada praktiknya lebih banyak diam. Ya, mungkin ada unsur kecenderungan kepribadian. Aku baru sadar jika mungkin saja ibu seorang introvert. Pada orang-orang dan situasi-situasi tertentu ibu bisa menjadi supel sekaligus super. Tapi tidak di segala hal. Sedangkan bapak yang super banyak omong. Beliau bisa berbaur di banyak tempat. Bahkan saat sedang marah dengan anak-anaknya, bapak bisa langsung haha hihi jika bertemu orang-orang. Itu kadang membuat aku dan kakak berpikir jika kami telah dimaafkan. Padahal ya memang demikian beliau. Jadi ya, saat bapak tidak suka atau sedang marah ke orang tersebut, barulah beliau lebih banyak diam. Dan jarang sekali aku menemui hal ini. Ah, jadi rindu kelakarnya.
Aku kadang takjub dengan ibu yang bisa melakukan banyak hal bahkan saat sendirian. Entah pekerjaan rumah yang umum dilakukan oleh seorang ibu atau bahkan yang biasa dilakukan seorang ayah. Membenahi genteng misal. Membersihkan selokan atau tanam menanam ibu bisa sendiri.
Aku juga terkesan dengan relasi yang dimiliki bapak. Teman seprofesi atau bahkan bos-bosnya, memperlakukan beliau secara sama. Teman masa muda hingga di akhir hidupnya masih sambung. Aku kadang bosan dengan obrolan template bapak ke teman-temannya via telpon. "Halo, kawan. Posisi di mana?" Ketika ke kampung halaman bapak, entah di daerah rumah nenek atau kakek, Kediri dan Jombang, beliau kenal setiap orang yang ditemuinya. Ah, jadi ingin mudik.
Ya sudah, itu sih yang ingin aku ceritakan. Entah teori atau praktik, keduanya sama-sama dibutuhkan. Untuk ekstrovert atau introvert, itu bukan acuan untuk kita menentukan langkah. Apa iya sih bapak atau ibu melakukan kebiasaan mereka karena cap kepribadian? Toh cap introvert dan ekstrovert baru kudapatkan tadi. Aku? Aku nggak tahu bagaimana aku di mata orang lain. Yang jelas jika dibilang banyak relasi, enggak juga. Dan kalo dibilang pinter karena teori, juga engga. Nggak tahu deh, akhir-akhir ini aku jadi tumpul. Susah bicara dan susah berpikir rasional. Mungkin efek WFH kali ya? Atau karena people changes aja. Cause losing someone changes me a lot.
Terakhir, di ulang tahun Abang ke 26 tahun ini (iya abang ulang tahun), semoga dia jadi orang yang baik. Nggak perlu sebaik bapak, tapi sebaik dirinya sendiri saja. Nggak usah muluk pake teori-teori kayak ibu kalo referensinya YouTube doang. Endingnya nanti cuma bilang kalo bumi itu datar dan corona selesai tanggal 7 Mei. Mending ngobrol dan berdiskusi layaknya orang dewasa. Kalo mau ngelucu silakan. Meski tentu, nggak lebih menyenangkan dari banyolan bapak. Tapi please, jangan jadikan aku objek lagi ya. Kalo kita berantem gak ada yang marahin, jadi stop.
Abang, mas, kakak. Dia bukan cuma my old brother. Dia seorang ayah sekaligus suami. I know I can't reach u as I want. But, I still love u and hate u so much. I know u can't reach this blog. I'm not your priorities of course. And if you get this link to, I'm sure you choose ignoring. But, it's okay. Thanks to be my second man in my life. One again, I hate u.
Date: in my brother birthday
Wah challenge ke-20 ini aku telat. Padahal sudah menyiapkan sesuatu untuk dibahas: antara Teori dan Praktik, serta ucapan ulang tahun untuk Abang. Hehe. Ya, tahu sudah terlambat karena ketiduran atau apapun juga tetap terlambat namanya. Nggak bisa diulang. Dan jikapun di blog nantinya masih tanggal 20 Mei, itu artinya setting di blog yang keliru.
Oke, aku cuma ingin bercerita tentang apa yang terjadi hari ini--kemarin deng, lalu dikaitkan dengan teori dan praktik. Jadi, ibu adalah penganut aliran, "semua pake teori". Sedang aku yang masih belum banyak tahu ini, sering keliru dan banyak lupa. Tentang apa saja. Nah, tadi ibu mengajak memindahkan buffet ke tempat semula sebelum dipindah ke salah satu sisi tembok saat meninggalnya bapak lima bulan lalu. Ibu bilang, televisinya berat jadi tidak kuat. Oke, aku iyain. Dan bener, tv tabung itu berat banget. Kalo dibandingkan tv tabung lain dengan ukuran sama di kamar bapak--yang sepertinya sudah tidak bisa digunakan--itu jauh lebih berat. Aku yakin kalaupun bapak yang angkat, pasti butuh bantuan orang lain. TV berhasil dipindah. Selanjutnya buffet.
Aku bilang ke ibu untuk mengeluarkan barang-barang di dalamnya. Tapi ibu menolak. Ayolah, beratnya kayak gimana kalo engga dipindah dulu? Meski ibu bilang tidak, aku tetap mengeluarkan empat laci berisi perkakas. Ya, paling tidak mengurangi bebannya. Karena satu dan lain hal, aku ke belakang. Kelelahan dan berbaring di kamar bapak. Membuka ponsel dan melihat ini itu hingga menjadi bosan lagi. Menunggu untuk dipanggil. Tapi, tak ada suara. Aku keluar dan melihat ibu telah memindahkan buffet itu ke tempat yang kami inginkan. Menggeser 90° sendirian.
"Lah kok bisa?" tanyaku. Iya, aku masih saja terkejut padahal ibu sering melakukan berbagai hal seperti itu. Bahkan, dulu saat bapak masih ada ibu mampu melakukan pekerjaan rumah semacam itu sendirian.
"Pake Teori." Jawaban dari ibu adalah jawaban yang sudah kuduga.
"Buk, ini kurang mepet ke sana." Aku masih saja mengomplen hasil kerja ibu. "Itu, masih ada sedikit ruang. Dimepetkan aja sekalian."
Setelah sedikit berdiskusi karena ibu punya pertimbangan kenapa tidak dimepetkan--istilahnya sama ibu diskusi, kalo sama bapak berdebat, apaan sih hehe--akhirnya buffet dimepetkan saja ke tembok. Aku pengen bantu angkat dong. Tadi udah ga nolongin. Dan oh, ternyata susah. Berat banget anjir. Nggak ke geser sama sekali di sisi yang kuangkat.
"Sek, ngaleh." Kata ibu. Aku minggir. Kami bertukar tempat. Lalu aku mencoba mengangkat lagi. Tapi, lagi-lagi sisi yang sebelahku tidak bergerak.
"Kok, engga bisa sih." Aku menggerutu sebal. Lelah dengan ketidakmampuan otak dan tenaga, aku mundur.
"Pake teori." Kata ibu tenang. Sesaat kemudian, aku mengamati buffet itu bergeser tanpa aku sentuh. Haha iya, ibu menggesernya sendiri.
"Beh, kok bisa sih." Sahutku. Aku mendekat dan mencoba membantu. Tapi sepertinya meski tanganku menyentuh buffet, bergesernya buffet ya karena 'teori' ibu. Hahaha.
Sebelum meletakkan kembali TV di atas buffet, ibu bilang alangkah lebih baiknya jika diberi alas. Yah, kenapa sih? Toh sebelumnya nggak ada. Ibu, bilang biar nggak lecet. Dan, ya ternyata banyak bekas goresan di sana. Hmm, aku ingat deng. Dulu awal punya itu buffet diberi alas juga. Hehe. Kami memutuskan untuk membeli plastik.
Langit yang mendung akhirnya mencurahkan hujan. Aku dan rencana-rencanaku akan keluar dengan ibu tertunda hingga sore tiba. Saat itu hujan tinggal rintik. Kami batal melakukan beberapa hal. Ibu hanya menyuruhku pergi ke toko perabot langganan untuk membeli plastik. Sebenarnya, aku malas untuk keluar. Malas sekali. Tapi, kalo enggak beli ini buffet bagaimana? Ya sudah, aku mau asal sama ibu. Kami berangkat.
Sampai di sana kami disambut si pekerja. Aku diam. Kan aku cuma mengantar. Eh, tapi ibu juga diam. Lirih ibu bergumam bilang cari perlak--ya kami memang berencana beli perlak juga. Si mbak pekerja menunjukkan barang yang kami cari. Lalu, bertanya ini itu secara canggung. Mbak ini bukan yang biasanya, dan aku baru ingat jika aku memang belum pernah ke sini dengan ibu. Jadi, meski pemilik toko ini mengenaliku pun, dia mungkin tidak familiar dengan ibu. Ah, iya. Aku jarang melihat ibu praktik. Jadi, ingat dulu-dulu ketika kami keluar berdua. Ya, memang demikian ibu. Selalu berpikir panjang untuk melakukan sesuatu, berbanding terbalik dengan bapak.
Biasanya, aku ke toko itu dengan kakak sepupu. Kalo butuh apa-apa, ibu nitip ke kakak sepupu, lalu dia kuantar. Begitu. Beberapa kali aku juga ke sana dengan bapak. Membeli perabotan yang aku dan bapak inginkan, dengan banyak wanti-wanti dari ibu karena bapak sering khilaf belanja. Seperti biasanya, bapak orangnya sangat supel. Pandai bergaul dan mencarikan suasana. Terlepas dari profesinya dulu pertama kali tinggal di sini yakni jadi supir selep keliling yang membuat beliau banyak kenalan termasuk pemilik toko itu, bapak ya memang suka mengobrol. Saking ekstrovert--mungkin--nya bapak, keramahannya bisa bikin bapak menyapa orang yang bahkan nggak dia kenal. Bermodalkan senyum orang lain, beliau senyum juga. Perjalanan dari rumah ke swalayan saja--sekitar 2 km--klakson motornya bisa bunyi puluhan kali. Kadang aku malu jika sesekali bapak salah menyapa orang. Tapi, bapak santai saja.
Kembali ke toko perabotan tadi, pernah sekali aku menyarankan bapak beli kursi plastik untuk menambah kursi di rumah jika banyak tamu. Bapak langsung beli delapan kursi astaga. Aku geram saat di toko itu. Tapi, bapak tetap haha hihi sama orang-orang di sana. Sampai rumah, ya aku ngambek. Padahal aku yang menyarankan. Bapak keseringan praktik tanpa perhitungan yang matang. Emang kita mau buka warung apa gimana kok banyak banget? Itu semua dijejer di ruang tamu juga nggak muat. Akhirnya bapak membagikan kursi-kursi itu ke kerabat. Ya Tuhan bapakku~
Pernah lagi, bapak inisaitif nanam cabai tanpa bilang ibu. Ya, pikiran bapak biar ibu terkejut gitu. Dan benar, ibu terkejut sekali. Bapak nanam cabai tepat di tempat jatuhnya air hujan. Sepanjang batas genteng samping rumah, bapak menanam bibit cabai. Bayangkan, bukannya hidup, tiap kali hujan, derasnya air akan langsung turun ke cabai-cabai itu. Saat itu, awalnya aku berpikir, apa yang salah? Bapak sudah berusaha bikin ibu senang. Tapi, setelah mendengar penjelasan dari ibu, aku tahu, teorinya salah.
Hal seperti itu sering terjadi. Bapak banyak melakukan kesalahan yang tidak disengaja. Ya karena kurang pertimbangan. Sedang ibu, selalu memberitahu aku untuk jadi orang yang supel. Tapi, ibu sendiri pada praktiknya lebih banyak diam. Ya, mungkin ada unsur kecenderungan kepribadian. Aku baru sadar jika mungkin saja ibu seorang introvert. Pada orang-orang dan situasi-situasi tertentu ibu bisa menjadi supel sekaligus super. Tapi tidak di segala hal. Sedangkan bapak yang super banyak omong. Beliau bisa berbaur di banyak tempat. Bahkan saat sedang marah dengan anak-anaknya, bapak bisa langsung haha hihi jika bertemu orang-orang. Itu kadang membuat aku dan kakak berpikir jika kami telah dimaafkan. Padahal ya memang demikian beliau. Jadi ya, saat bapak tidak suka atau sedang marah ke orang tersebut, barulah beliau lebih banyak diam. Dan jarang sekali aku menemui hal ini. Ah, jadi rindu kelakarnya.
Aku kadang takjub dengan ibu yang bisa melakukan banyak hal bahkan saat sendirian. Entah pekerjaan rumah yang umum dilakukan oleh seorang ibu atau bahkan yang biasa dilakukan seorang ayah. Membenahi genteng misal. Membersihkan selokan atau tanam menanam ibu bisa sendiri.
Aku juga terkesan dengan relasi yang dimiliki bapak. Teman seprofesi atau bahkan bos-bosnya, memperlakukan beliau secara sama. Teman masa muda hingga di akhir hidupnya masih sambung. Aku kadang bosan dengan obrolan template bapak ke teman-temannya via telpon. "Halo, kawan. Posisi di mana?" Ketika ke kampung halaman bapak, entah di daerah rumah nenek atau kakek, Kediri dan Jombang, beliau kenal setiap orang yang ditemuinya. Ah, jadi ingin mudik.
Ya sudah, itu sih yang ingin aku ceritakan. Entah teori atau praktik, keduanya sama-sama dibutuhkan. Untuk ekstrovert atau introvert, itu bukan acuan untuk kita menentukan langkah. Apa iya sih bapak atau ibu melakukan kebiasaan mereka karena cap kepribadian? Toh cap introvert dan ekstrovert baru kudapatkan tadi. Aku? Aku nggak tahu bagaimana aku di mata orang lain. Yang jelas jika dibilang banyak relasi, enggak juga. Dan kalo dibilang pinter karena teori, juga engga. Nggak tahu deh, akhir-akhir ini aku jadi tumpul. Susah bicara dan susah berpikir rasional. Mungkin efek WFH kali ya? Atau karena people changes aja. Cause losing someone changes me a lot.
Terakhir, di ulang tahun Abang ke 26 tahun ini (iya abang ulang tahun), semoga dia jadi orang yang baik. Nggak perlu sebaik bapak, tapi sebaik dirinya sendiri saja. Nggak usah muluk pake teori-teori kayak ibu kalo referensinya YouTube doang. Endingnya nanti cuma bilang kalo bumi itu datar dan corona selesai tanggal 7 Mei. Mending ngobrol dan berdiskusi layaknya orang dewasa. Kalo mau ngelucu silakan. Meski tentu, nggak lebih menyenangkan dari banyolan bapak. Tapi please, jangan jadikan aku objek lagi ya. Kalo kita berantem gak ada yang marahin, jadi stop.
Abang, mas, kakak. Dia bukan cuma my old brother. Dia seorang ayah sekaligus suami. I know I can't reach u as I want. But, I still love u and hate u so much. I know u can't reach this blog. I'm not your priorities of course. And if you get this link to, I'm sure you choose ignoring. But, it's okay. Thanks to be my second man in my life. One again, I hate u.
Date: in my brother birthday
Selasa, 19 Mei 2020
Mark Kaban dan Ingatan Buruk
Dikisahkan pada suatu masa, di suatu dunia yang mirip dunia kita, seseorang berkesempatan mengunjungi dunia lain. Jika kalian pernah menonton film Narnia, ya semacam itulah. Tapi, ini ada di dekat kita. Sangat dekat. Lahir dari imaji yang terkunci dunia sesungguhnya. Menyelinap masuk seperti pencuri dengan mempertaruhkan hidup.
Berkat ketidakmampuan, dia berkesempatan merasakan sempitnya hidup yang dikekang keadaan. Juga, karena kelancangannya, dia mengenal pesohor lewat keanehan yang berulang. Pintu, jendela, lukisan. Pintu, kuda, siluman. Pintu, lantai, kasur. Pintu, pintu, kosong. Ah, dia muncul. Dia telah datang.
Tubuhnya seperti manusia. Tapi, bukan manusia. Separuh ke bawah seperti kuda. Tapi, bukan juga kuda. Hmm, iya seperti makhluk di film Narnia itu. Tapi, berbeda. Tangannya hilang. Kakinya juga tidak lengkap empat. Oh, astaga. Maaf, dia cacat.
Aku bergidik. Bukankah kami tadi berbicara mengenai duyung? Bangsa duyung. Itu, manusia setengah ikan yang cantik-cantik. Ya, di cerita dongeng cantik. Tapi, kenapa bukannya air, kami malah menemui titik ajaib mengejutkan lainnya. Dan lagi, apa hubungannya dengan tetangga yang kaya raya? Pintar? Tampan? Ah, lebih dari itu. Si baik hati yang beruntung. Luas. Kami bertemu dan saling kenal. Ada harap di sana. Juga, mantra-mantra cinta. Kami satu dunia. Bertandang ke dunia baru bersama. Terketuk pintu dan dada. Si putri duyung tak juga berkunjung.
Akhirnya, aku terbangun. Mengingat dan mengingat lagi. Aku ada di kamar bapak yang baru sempat kubersihkan beberapa hari yang lalu. Ruang sempit? Tidak sesempit mimpiku tadi. Dan oh, ibu sudah memanggil-manggil hampir marah. Mark Kaban. Apa? Siapa? Bagaimana kelanjutannya?
Aku kembali ke alam itu. Tak ada yang aneh. Cukup menakjubkan ketika aku bertemu 'teman cacat' tadi. Mari kita sebut Tralala. Dia baik. Umurnya jauh lebih tua. Tapi di dunianya, mungkin kami seumuran. Dia banyak bercerita dan kami senang mendengarkan. Tidak seperti kelihatannya, dia amat baik. Tralala juga berkisah tentang Mark Kaban. Bodohnya, aku lupa bagaimana ia bercerita. Aku juga bertanya mengenai putri duyung. Apa Tralala mengenalnya? Sungguh, aku lupa jawabnya.
Kemudian aku terbangun lagi. Panjang sekali mimpi tadi. Apa sekarang sudah siang? Bukannya ibu tadi memintaku bertakziah ke sanak yang meninggal dunia? Kenapa masih tenang saja.
Aku bangkit. Ibu sedang menata gawan. Sedang keponakan yang entah kapan datang sudah wara-wiri merecok. Aku berjalan ke kamarku. Melirik ponsel yang, oh, masih sangat pagi. Belum juga setengan tujuh. Tapi, sepertinya tidurku lama sekali. Ah, Mark Kaban. Setelahnya, aku bertekad. Mark Kaban harus hidup. Harus.
Sampai akhirnya malam ini. Di detik-detik terakhir tanggal 19 ini, Mark Kaban belum juga bangun dari alamnya. Aku, jembatan penyambung sekaligus pembawa kisahnya masih haha hihi dengan penyakit diri. Juga, waktu-waktu jahat yang membikin aku terus menyesal. Ah, tidur. Menyebalkan sekali. Ah, bangun. Aku lelah.
Berjalan pergi. Menolak ajakan tapi terus mengajak. Menerima ajakan tapi terus menyesal. Mengajak dan terus mengajak. Aku, padu. Lelah, lelah. Dunia. Ada tamu. Tidak apa. Agak sedih. Dari luar kota. Tidak apa. Teman mengobrol ibu. Ya, apa lagi. Mereka juga sama sedih. Ketika main ke sini, tidak ada si dalang lagi. Haha, aku memilih tidak ambil pusing dan tersenyum seumum mungkin. Lalu, ke kamar dan berpura-pura tidur. Ah, jadi ingat seseorang. Pak dalang.
Lalu, aku dibangunkan oleh tamu-tamu tadi. Mereka berkata akan pulang. Aku bangun di tengah tidak tidurku. Menjabat tangan satu per satu dengan enggan. Ibu? Saling berpelukan dan saling tersenyum kecut. Ah, tidak biasanya begitu. Ya, biasanya biasa, enggak gitu. Saling mendoakan kesehatan iya, tapi nggak gitu. Serius.
Mereka pergi. Mobil berwarna hijau yang aku yakini pagi tadi sempat bersalipan denganku di jalan meninggalkan halaman. Ah, sudah lama sekali tidak ada Mobil terparkir di depan rumah. Terakhir? Mobil ambulan? Ah, tidak. Beberapa kali sempat ada tamu-tamu lain. Rekan pak dalang yang bertandang. Tidak banyak dan terasa kosong.
Ah, kosong. Kosong. Kosong.
Lama betul aku tak berulah menceritakan betapa aku rindu beliau di blog ini. Rasanya, rasanya, ah Mark Kaban. Aku sudah lupa bagaimana cerita Mark Kaban yang sesungguhnya. Waktu yang panjang ini, kenapa singkat sekali. Bahkan, malamku. Malam yang tak kuhabiskan untuk beribadah atau menuntut ilmu, tidak pernah benar-benar jadi milikku.
Haha, sekian kisah membingungkan malam ini. Semoga bertemu dengan kisah Mark Kaban di lain waktu. Semoga juga pak dalang bahagia di sana. Semoga, kita semua juga bahagia. Selamat malam.
19 Mei 2020
23.23
23.23
Senin, 18 Mei 2020
Just About Love 4
Dingin. Angin yang berhembus membawa butiran halus, menusuk-nusuk ditiap celah kulit yang tak tertutupi kain. Bahkan itu hanya air, bukan salju seperti di Eropa--tempat impianku.
Sekilas ku tatap spedometer dan seketika ku pacu motor matic yang bahkan belum menginjak umur jagung. Aku harus bergegas pulang dan mengecek puluhan pesan masuk yang tak lain dari mereka. Semoga saja mereka belum tertidur nanti.
"Verroood"
Lebih dari sepuluh kali masing-masing dari mereka meneriakiku lewat rangkaian huruf itu. Aku hanya tersenyum singkat dan meneruskan membaca satu persatu percakapan mereka dalam ponsel munyilku. Ya, aku langsung masuk ke kamar untuk melepas lelah setiba di rumah. Terang saja, ayah dan ibu pasti telah tidur di kamar mereka dan kakak-kakakku sibuk dengan dunia mereka masing-masing.
"Cepet pulang dong Ame sama Mala, nggak kasihan apa sama aku, sebatang kara disini. Kalian kan tahu Vera kerja melulu, sampe malam lagi. Terus si Hana, terlalu sibuk dengan kuliahnya."
Tulis Aryn dengan banyak emotikon menangis. Aku tersenyum getir membacanya. Aryn telah pulang dua minggu yang lalu dan kami belum bertemu, tepatnya aku yang sibuk. Sibuk menjalani rutinitas membosankan yang menjadi pilihanku. Ah, mungkin takdir karena tak ada pilihan lain. Andai aku berani melompat seperti Mala yang mempertaruhkan diri pada buasnya takdir.
"Akan kupastikan minggu depan kita jalan-jalan. Tinggal menunggu keputusan Vera."
Kata Mala diakhir obrolan mereka. Aku yakin meski sudah berjam-jam yang lalu mereka mengakhiri obrolan itu, pasti belum ada satu dari mereka yang terlelap. Aku hanya terlalu malas mengatakan sesuatu.
Minggu depan? Kapankah itu?
Minggu, 17 Mei 2020
Ditra Sambega
Halo selamat malam.
Jika kalian membaca blog ini karena penasaran dengan judul, aku rasa meneruskan membaca bukan hal yang tepat. Aku nggak akan menjelaskan arti kata itu secara leksikal atau gramatikal tapi semiotik wkwk. Apasih?! Sok-sokan bahas materi kuliah.
Ingatan lemahku ini banyak lupa dengan peristiwa-peristiwa yang sudah lalu. Pun, aku lupa dengan penjelasan dari Pak Eko atau para senior mengenai DSB alias Ditra Sambega Band, nama grup marching band di SMA-ku dulu. Intinya, DSB sangat berarti. Air mata sahabat dekatnya. Nggak sedih, nggak seneng, selalu deh ada.
Tiba-tiba pengen nulis sesuatu tentang DSB. Yakin, satu kali duduk ini nggak bakal selesai nulis keseluruhan cerita. Cuma, bingung mau nulis tentang apanya. Tentang awal masuk yang bikin malu? Iya, saat itu aku malu banget. Dari sebelum masuk SMA itu, aku udah membulatkan niat untuk ikut marching. Keponakan dan teman kakak yang kebetulan di SMA ikut DSB. Aku jadi semakin semangat. Eh, tapi aku telat. Ingat betul, saat itu bulan puasa, seperti sekarang ini. Pendaftaran selesai dan teman-teman sudah mulai latihan.
Aku bercerita ke orang tuaku mengenai hal itu. Bapak, yang kebetulan mengenal Pak Eko, pembina marching, mengajakku ke rumah beliau saat lebaran. Kali itu kami cuma berdua. Kakak dan ibu nggak ikut. Sampai di sana rumah beliau ramai dengan tamu lain. Bapak dan Pak Eko mengobrol beberapa hal tentang kehidupan mereka. Hingga pada akhirnya bapak menyampaikan keinginanku untuk ikut DSB. Pak Eko merespon dengan senang dan penuh kebanggaan. Beliau berkata jika para tamunya itu, orang-orang yang juga ada di depan kami saat itu, anak-anak DSB. Ah, Tuhan, pantas saja. Aku seperti tidak asing dengan mereka. Ya Tuhan, aku malu sekali.
Pasalnya, gabung di marching bukan perkara mudah. Tentu, proses registrasi ada di nomer sekian. Yang susah ya menjalin hubungan dan mengasah kemampuan. Dan pertemuanku dengan para senior saat itu, tidak menjadikanku bisa dengan mudah berhubungan dekat dengan mereka. Justru, itu membuatku canggung tatkala bertemu.
Tahun pertama di DSB sangat menyenangkan, dan menyedihkan. Aku suka sekali marching bell alias pit, namun kuota untuk instrumen itu sudah penuh. Dengan legawa aku manut-manut saja ketika dibilang cuma akan ikut kirab. Tapi, setiap hari masih saja ikut latihan bahkan hingga menginap di sekolah alias TC. Siang, malam. Panas, hujan. Dengan tujuh kawan lain yang bernasib sama di pit, aku senang-senang saja. Mendapat kawan baru. Menyaksikan pertunjukan para ahli serta mendapat motivasi-motivasi adalah perkara lain yang menguntungkan. Belum lagi image anak marching sangat keren kala itu.
Sebentar-sebentar, sepertinya aku pernah menulis tentang ini. Tapi di mana ya? Ah ingat. Di diary wkwk. Iya, judulnya, DSB yang Dulu, Kemarin, dan Sekarang. Maksudnya yang dulu ya yang kuceritakan barusan. Kemarin, waktu kepemimpinan Mas Amad. Kalo sekarang, masanya angkatanku.
Baiklah, lanjut. Masa Mas Amad ini nggak sebegitu ketat dan berkesan dibanding sebelumnya--Mas Renold, Mas Agung, Mas Ridho, dan Mbak Mbem, lima dari 9 orang kelas duabelas yang tersisa. Setelah Mas Renold cs lulus, kelas 12 selanjutnya banyak yang perotol. Kami, adik kelas nggak punya role model lagi. Mas Amad, seganteng sebagus apapun tiupannya, nggak bisa se-wise angkatan sebelumnya. Apalagi, kepsek yang tetiba ganti. Ah, ngerusak banget itu pokoknya.
Oiya, saat itu sekolahan dan pelatih yang biasanya, juga lagi kres. Akibatnya, kami ganti pelatih yang lebih professional katanya. Orang-orang PDBI (Persatuan Drum Band Indonesia) langsung. Hampir semua instrumen dirombak playernya. Aku? Aku yang kala itu coba ikut pindah ke trompet karena nggak ada temen di pit ternyata malah lolos ke T1 alias nada sopran tertinggi. Kami belajar lagi deh lagu-lagu baru yang katanya mahal banget dapetinnya. Eh, tapi beberapa bulan sebelum kejurkab, orang-orang PDBI itu pada ngilang. Aku nggak tahu sih apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, pelatih yang lama balik. Lima lagu baru yang kami pelajari nggak kepake. Karena waktu yang mepet, akhirnya pelatih lama ngasih lagu lama juga.
Waktu itu rasanya seneng gitu. Meski di trompet aku harus belajar lagi dari awal lagu lama--kalo di pit kan udah hafal di luar kepala, tapi seneng karena keinginanku yang dulu kelaksana. Main UG dengan lagu-lagu lama. Fire Dance, Dust in The Wind sama Danza, tiga lagu utama selain lagu daerah dan perfom perkusi yang lebih banyak visual untuk brass (alat musik tiup).
Tahun ke tiga, harusnya kelas 12 udahan. Biasanya cuma beberapa yang bertahan. Bangsatnya, aku salah satunya yang masih exist. Saat itu aku kena buli anak-anak sekelas. Dikira maniak banget ke marching. Selain karena cinta, e ciye, lebih karena ngga ada lagi yang mau bertahan bantuin adik-adiknya yang sumpah, kala itu bandel banget. Sebandel-bandelnya mas-mas dulu, senakal-nalalnya anak-anak angkatanku, engga sebandel mereka. Kebanyakan anak baru itu udah pernah ikut marching di SMP mereka. Tapi, attitude-nya ga ada. Duh, nggak tahu deh kalo mereka ketemu ama senior yang dulu. Habis kali.
Apalagi, saat itu DSB makin diperbesar dengan menambah alat musik besar seperti Bariton dan Tuba. Weh, aku pernah tuh diminta main Trombon pas diesnat SMA aja, beratnya minta ampun. Bentar doang mainin lagu warkop udah kemeng tangan. Apalagi mouthpiece-nya yang besar banget. Haduhh.
Singkat cerita, kami ada even ke Madiun. Tapi, DSB kekurangan SDM. Pelatih mendaftar berbagai cabang. Jika biasanya hanya LUG, LBB dan Padarampak, saat itu mereka mengikutkan kami di dua lomba lain yang waw. Aku lupa apa penyebutannya, pokoknya kami harus berjalan jauh seperti kirab tapi dengan aturan-aturan tertentu. Juga, lari dengan memainkan alat dengan sangat cepat mengitari stadion belasan kali. Ah, lupa. Yang jelas kelas 12 yang hanya sedikit dan kesemuanya perempuan--ahaha de javu kan-- butuh laki-laki. Alhasil, dua temen cowo di bras yang udah keluar diminta gabung lagi. Player baru dari kelas dua direkrut dan langsung diikutkan lomba--ah, beruntung sekali mereka.
Hasilnya? Ah panjang sekali. Banyak hal terjadi selama di lomba itu. Kami memenangkan beberapa perlombaan tapi tidak jadi juara umum. Nama DSB tidak lagi tersohor. Bukan, bukan hanya karena prestasi. Sekolah yang tebang pilih dengan kegiatan ekstrakurikuler manjadi pikiran terkuatku. Sesuai kesukaan kepsek--ups, sepak bola dan futsal selalu didukung. DSB? Boro-boro. Mengeluarkan uang beberapa puluh juta aja dikoar-koarkan saat upacara. Itu juga kami masih harus patungan untuk dana lainnya. Memang, marching membutuhkan banyak modal. Alat, dan seragam, hal terumum itu saja tidak umum harganya. Ah, rindu kepsek sebelumnya yang bahkan mengeluarkan dana sampai ratusan tapi tidak perhitungan--untuk yang satu itu aku baru tahu di akhir masa sekolah. Ah, maaf julid. Tapi sekolah lebih julid. Bahkan, DSB nggak diikutkan di foto kalender buat data ekstrakurikuler. Daebak!
Setelah lulus SMA, aku sangat gatal ingin meniup trompet. Jika libur kerja dan ada teman, aku menyempatkan ke sekolah. Syukur-syukur pas ada yang lagi latinan. Sekali dua kali tiupuan sudah mengobati. Dan ya, ada kabar duka. Aku lupa kapan tepatnya. Kembaranku, adik kelas yang katanya mirip denganku, meninggal dunia. Fadil, satu-satunya pemain Queen setelah Mas Rois lulus sudah nggak ada. Hahh, sedih sih. Tapi, pernah kenal dia rasanya senang sekali. Ah, sudah lama ya.
Sebelum nulis ini, aku coba search nama DSB di google. Lalu, pencarian diarahkan ke Twiter sekolahku. Aku menemukan foto Almarum Fadil tengah bermain Queen ketika diesnat 2014. Ah, jadi rindu. Untung kerinduanku tadi nggak bikin aku ngeritweet foto Fadil. Ya gimana wong postingan itu hasil retweet sekolahku dari akun Pak kepsek wkwk. Love u Pak kepsek. Terimakasih telah menjadi orang baik. At least ke keluarga saya.
17 Mei 2020
23.32 WIB
23.32 WIB
Sabtu, 16 Mei 2020
Just About Love 3
Aku Hana Ayudyaningtyas. Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam di salah satu universitas swasta yang berada tak jauh dari rumah. Keseharianku disibukkan dengan rengek anak-anak kecil. Mulai dari bayi sampai anak yang hampir baligh berkeliaran di sekelilingku.
Lelah rasanya seharian bergelut dengan diskusi-diskusi yang tak berujung. Entah dalam organisasi 'ekstra'ku ataupun BEM di kampus, keduanya sama-sama menguras tenaga. Untung saja akhir semester ini teman-teman--kampus--ku berwacana liburan bersama. Ada sedikit ambisi untuk menuju hari itu. Meski sebenarnya ingin rasanya liburan kali ini kuhabiskan di tempat lain.
Bukan, bukan, aku bukan orang yang haus akan liburan sampai harus menyeberang dari Ketapang ke Gilimanuk hanya dalam rangka liburan. Lebih dari itu, ada seseorang yang telah mencuri hatiku dan membawanya ke pulau seberang. Bagaimana aku bisa terus hidup tanpa hati?
"Maunyah iyaik mburhh." Aku berhenti saat keponakan yang belum genap dua tahun menarik rok panjang bermotif bunga-bunga yang kukenakan dari belakang. Entah apa yang diucapkannya barusan.
"Kakak mau ke masjid dulu, Dik. Nanti aja ya mainnya." Seruku sambil menggendong dia yang memasang wajah cemberut penuh kelucuan. Kuserahkan dia kepada ibunya yang tersenyum manis beberapa langkah dariku.
"Oh iya Han, Ibu tadi bilang kalo pengajuan yang kamu kirim di SD 5 diterima." Kata kakak iparku sebelum aku berbalik. Darimana ibu tahu?
"Benarkah Kak?" Tanyaku tak percaya. Pasalnya aku telah mengirim banyak pengajuan magang di berbagai SD negeri dan tak ada satupun yang menerima kecuali Madrasah Ibtidaiyah yang dua minggu ini menjadi tempatku magang.
"Iya, Ibu kan sudah pernah bilang, kepala sekolah di SD 5 masih kerabat kita." Ah, alasan itu rupanya. Aku tersadar. SD 5? Benar, selama ini aku menghindari mengajar disana karena hal tersebut.
"Sekarang Ibu dimana?" Tanyaku yang menyadari belum melihat sosok beliau untuk sekedar mencium punggung tangannya.
"Masih di sawah." Benar dugaanku. Ibu terlalu rajin hingga sesore ini masih betah di sawah. Padahal Kak Gibran telah melarang Ibu untuk ke sawah.
Mataku tak sengaja berpapasan dengan jam persegi berwarn emas dan perak di dinding. Ups, aku lupa bahwa aku telah terlambat. Para ustadz dan ustadzah yang lain pasti memaklumi keterlambatanku karena sibuknya kegiatan kampus, tapi bagaimanapun ini tanggungjawabku.
Lelah rasanya seharian bergelut dengan diskusi-diskusi yang tak berujung. Entah dalam organisasi 'ekstra'ku ataupun BEM di kampus, keduanya sama-sama menguras tenaga. Untung saja akhir semester ini teman-teman--kampus--ku berwacana liburan bersama. Ada sedikit ambisi untuk menuju hari itu. Meski sebenarnya ingin rasanya liburan kali ini kuhabiskan di tempat lain.
Bukan, bukan, aku bukan orang yang haus akan liburan sampai harus menyeberang dari Ketapang ke Gilimanuk hanya dalam rangka liburan. Lebih dari itu, ada seseorang yang telah mencuri hatiku dan membawanya ke pulau seberang. Bagaimana aku bisa terus hidup tanpa hati?
"Maunyah iyaik mburhh." Aku berhenti saat keponakan yang belum genap dua tahun menarik rok panjang bermotif bunga-bunga yang kukenakan dari belakang. Entah apa yang diucapkannya barusan.
"Kakak mau ke masjid dulu, Dik. Nanti aja ya mainnya." Seruku sambil menggendong dia yang memasang wajah cemberut penuh kelucuan. Kuserahkan dia kepada ibunya yang tersenyum manis beberapa langkah dariku.
"Oh iya Han, Ibu tadi bilang kalo pengajuan yang kamu kirim di SD 5 diterima." Kata kakak iparku sebelum aku berbalik. Darimana ibu tahu?
"Benarkah Kak?" Tanyaku tak percaya. Pasalnya aku telah mengirim banyak pengajuan magang di berbagai SD negeri dan tak ada satupun yang menerima kecuali Madrasah Ibtidaiyah yang dua minggu ini menjadi tempatku magang.
"Iya, Ibu kan sudah pernah bilang, kepala sekolah di SD 5 masih kerabat kita." Ah, alasan itu rupanya. Aku tersadar. SD 5? Benar, selama ini aku menghindari mengajar disana karena hal tersebut.
"Sekarang Ibu dimana?" Tanyaku yang menyadari belum melihat sosok beliau untuk sekedar mencium punggung tangannya.
"Masih di sawah." Benar dugaanku. Ibu terlalu rajin hingga sesore ini masih betah di sawah. Padahal Kak Gibran telah melarang Ibu untuk ke sawah.
Mataku tak sengaja berpapasan dengan jam persegi berwarn emas dan perak di dinding. Ups, aku lupa bahwa aku telah terlambat. Para ustadz dan ustadzah yang lain pasti memaklumi keterlambatanku karena sibuknya kegiatan kampus, tapi bagaimanapun ini tanggungjawabku.
Jumat, 15 Mei 2020
80-an: Nakal!
Halo!
Malam ini, suasana hati sendang tidak baik. Tapi, kalo nggak dipaksa nulis malah anxiety gak ketulungan.
Hm, mau bahas apa ya? Lanjut tentang Reply 1988 kemarin? Nggak deh. Aku juga belum selesai nonton. Sebagai gantinya aku akan cerita tentang obrolanku dengan ibu kemarin setelah nonton Reply 1988. Mengenai apa-apa yang kukepoi tentang tahun sekian.
Awal nonton series Reply, aku udah ngira-ngira. Di Indonesia, di sini, seperti apa ya? Kalo dalam film sih, latar yang disajikan udah top. Tapi, apa perbedaan perkembangan teknologi dan informasi bikin Indonesia cenderung primitif?
Ketika aku bercerita betapa aku takjub melihat di Korea pada masa itu sudah ada berbagai alat rumah tangga yang canggih, ibu tidak begitu banyak merespon. Tentang briket yang ditanam di suatu tempat untuk penghangat atau kompor gas, aku bercerita juga.
"Ya di sini juga sudah ada kompor gas! Apa ya merknya dulu? Hm Hitachi?" ibu menanggapiku sambil mengingat-ingat. Cabai, tomat, bawang, trasi, gula dan garam pada cobek di depannya sudah lumat jadi sambal trasi.
"Itu tahun 1988. Emang sampean umur berapa itu? Sudah di Surabaya?" ibu hanya mengiyakan pertanyaanku. "Apa di sini sudah ada alat untuk ngerekam gitu? Kayak kaset terus dimasukan di tape."
"Loh, ya ada dong." Kali itu ibu bersemangat. "Dulu, ibu sering rekaman-rekaman gitu. Bikin sandiwara radio."
Aku takjub ketika ibu menjelaskan lebih banyak. Ibu sudah sering bikin rekaman seperti yang kumaksud ketika masih duduk di bangku SMA. Itu artinya jauh sebelum tahun 1988. Sebentar, tahun berapa ya tepatnya? Mungkin sekitar awal tahun 80an. Pada saat itu, beliau membikin semacam rekaman teater. Katanya, ibu selalu berperan sebagai ibu-ibu. Haha, aku sedikit geli.
Cerita melebar. Meski aku banyak bertanya tentang bagaimana pemerintahan Suharto, ibu tidak dapat banyak menjelaskan. Meski lahir dan besar selama masa Suharto, ibu sepertinya tidak memiliki kesan yang bisa diceritakan--atau belum.
"Masa sampean nggak pernah ikut demo buk?"
"Yo nggak beranilah. Dulu itu, kalo ada orang dianggap jahat dikit langsung hilang."
What?
"Kalo demo demo ke sekolahan sih ibu berani. Malah ibu dulu yang mimpin." Lanjut ibu sambil beranjak dari tempatnya, berjalan menuju kompor. Aku terus menyimak sambil terus memarut singkong. "Sampai sekarang ini kalo teman-teman ibu telpon gitu, selalu bilang kalo ibu dicari kepala sekolah."
"Masa sih buk?"
"Iya, itu kebetulan guru Kimia. Ibu sering nggak masuk."
"Ha?" aku terkejut. "Ibu kenapa bolos?"
"Pulang."
"Yek, ibu dulu bolosan? Ya udah kalo aku bolos kelas jangan dimarahi." Dalam hati, aku mengingat-ingat jika selama ini pun ketika aku bilang sedang bolos, ibu emang nggak pernah marah. Cuma ngingetin aja.
"Ya dulu kan ibu masih SMA, kamu sudah kuliah. Beda dong. Lagian ibu bolos karena pelajaran Kimia hari Sabtu sore, bareng sama jadwal ibu pulang." Maksud ibu pulang adalah pulang kampung ke rumah. SMA ibu ada di kota tetangga, sekota sama kampusku saat ini.
"Lha aku dulu SMA nggak pernah bolos sama sekali. Sampean masih SMA sudah bolos. Kalo misal sampean dulu kuliah gimana nakalnya?"
"Ya nggak gitu dong, kan beda kondisi. Lagian kalo ngomongin nakal, temen ibu dulu nakal-nakal tapi ibu enggak terpengaruh. Mabuk dan main perempuan banyak. Cuma ibu bergaul ya seperlunya. Kalo cuma nolongin mereka pas mendem gitu, ibu sudah biasa. Tapi, nggak pernah ikutan."
"Nah, iya Buk. Temen-temenku sebenernya juga banyak yang kayak gitu. Apalagi pas teater." Setelah berpikir panjang sambil mendengarkan ibu bercerita, akhirnya aku menceritakan tentang sesuatu yang belum pernah aku ceritakan, hehe.
"Lha itu. Ibu sudah menyangka kayak gitu." Aku sedikit lega dengan jawaban ibu. "Temen-temen ibu yang ibu ceritakan tadi kebanyakan anak teater juga. Sandiwara radio tadi."
Ah.
Selanjutnya kami saling berbagi cerita. Dariku, tidak seluruhnya. Pintar-pintar aku menjelaskan tanpa celah dan sejujur mungkin. Tentang kenakalanku selama Teater 2 yang--ah! Sudahlah.
15 Mei 2020
Langganan:
Postingan (Atom)